[EXOFFI FREELANCE] My Lady (Chapter 10)

MY LADY - CHAPTER 10

Title : MY LADY

Author : Azalea

Main Cast :

Byun Baekhyun (EXO), Lee Sena/Kim Jisoo (BLACK PINK), Oh Sehun (EXO)

Support Cast :

Shannon Williams, Lee Miju (Lovelyz), Kim Kai (EXO), Park Chanyeol (EXO), Do Kyungsoo (EXO), etc.

Genre : Romance, Sadnes, Adult

Rating : NC-17

Length : Chapter

Disclaimer : Cerita ini murni dari otakku sendiri. Tidak ada unsur kesengajaan apabila ada ff yang memiliki cerita serupa. Kalaupun ada yang serupa, aku akan berusaha membawakan cerita milikku sendiri ini dengan gaya penulisanku sendiri. Kalian juga bisa membacanya di wattpad. Nama id ku @mongmongngi_b, dengan judul cerita MY LADY.

Cerita sebelumnya :  Cast Introduce -> CHAPTER 1 -> CHAPTER 2 -> CHAPTER 3 -> CHAPTER 4 -> CHAPTER 5 -> CHAPTER 6 -> CHAPTER 7 -> CHAPTER 8 -> CHAPTER 9

~ Flashback ~

“Jaga dirimu baik-baik di sana. Jaga kesehatan. Jangan sampai kau melewatkan waktu makanmu hanya karena berbagai aktifitas yang kau jalani di sana. Jangan lupa kabari eomma jika kau sudah sampai di asramamu. Arrachi?” nasehat ibu Sena sesaat sebelum Sena memasuki pesawat yang akan membawanya ke Zurich.

Nde, eomma.” Jawab Sena sambil memeluk tubuh ibunya sebelum dia pergi ke tempat yang sangat jauh dari keluarganya.

Aigoo…kenapa kau tumbuh dengan cepatnya, eoh?” ucapnya sedih sambil berusaha menahan air matanya.

Eomma, aku akan baik-baik saja di sana. Kau tidak perlu khawatir.”

Eomma arra. Eomma hanya terlalu berat melepaskanmu pergi jauh.”

Eomma dan Semi bisa mengunjungiku kapan pun kalian mau.” Ucap Sena menenangkan ibunya agar tidak terlalu khawatir akan dirinya.

“Baiklah. Lain kali eomma dan Semi akan mengunjungimu ke Zurich.” Ucapnya pada akhirnya menyerah. Kemudian mereka melepaskan pelukannya. Sena pun beralih untuk menatap adiknya yang berbeda tujuh tahun di bawahnya.

“Aku akan merindukanmu, eonni.” Ucapnya sambil memberikan pelukan perpisahan untuk kakaknya itu.

Eonni, juga akan merindukanmu. Jaga eomma selama eonni tidak ada, eoh?”

“Hm, tanpa diminta pun akan aku lakukan. Cepat selesaikan sekolahmu, dan segera pulang kembali ke Korea.” Ucap Semi setelah pelukan mereka terlepas.

“Kau ini.” Ucap Sena sambil mencubit hidung adiknya gemas. “Belum juga berangkat, kau sudah menyuruh eonnimu pulang, eoh?” Lanjutnya yang pura-pura kesal.

Eoh.” Jawab Semi yang membuat Sena berdecak kesal. Saling melemparkan tatapan kesal ke arah satu sama lain. Tapi tidak lama kemudian mereka pun tersenyum menikmati moment di saat-saat terakhir mereka bertemu.

“Pergilah, pesawatnya sebentar lagi akan lepas landas.” Ucap ibunya membuat perhatian Sena dan Semi teralih untuk menatap ibu mereka itu.

“Hm, aku pergi.” Jawab Sena dengan nada yang sedikit bergetar karena menahan tangisannya. Di peluk dan diciumnya kedua pipi dari dua orang yang sangat dicintainya itu secara bergantian. “Jaga kesehatan kalian.” Ucapnya untuk yang terakhir kalinya sebelum melangkah untuk menuju meja pemeriksaan tiket.

Dengan berat hati, Sena pun melangkah. Setelah melewati meja pemeriksaan, Sena pun membalikkan badannya menatap ibu dan adiknya untuk yang terakhir kalinya. Dapat dilihatnya kedua orang tersebut sedang menitikan air matanya karena kepergian Sena. Sambil tersenyum, Sena pun melambaikan tangannya, meyakinkan mereka berdua bahwa dia akan baik-baik saja.

Setelah itu, Sena menaiki pesawat yang akan membawanya ke tempat yang sangat jauh. Berharap dengan jauhnya tempat tersebut akan mengubur rasa sakit yang dirasakannya saat ini. Perjalanan yang ditempuh dari Korea ke Swiss tidaklah sebentar mengingat jarak antar kedua negara yang sangat jauh karena dipisahkan oleh dua benua berbeda. Hingga pada akhirnya Sena pun tiba di bandara internasional Zurich atau Zurich International Airport yang termasuk ke dalam sepuluh bandara terbaik di dunia di bawah bandara internasional Incheon yang dimiliki oleh Korea Selatan.

Sena berjalan keluar dari bandara untuk mencari transfortasi lainnya yang akan membawanya ke asrama Universitas Zurich. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Sena pun sampai di tempat yang ditujunya. Segera melapor ke petugas asrama, lalu Sena diberikan sebuah kunci kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya selama menimba ilmu di unversitas tersebut.

Sebenarnya Sena bisa saja membeli sebuah apartemen di kawasan tersebut, namun karena ingin mencoba untuk menjadi seorang mahasiswa biasa, maka Sena memutuskan untuk tinggal di asrama mahasiswa. Setelah melewati beberapa gedung asrama lainnya, menaiki lift untuk ke lantai 6, Sena pun sudah berada tepat di depan pintu kamar asramanya.

Sena memasukkan kunci kamar, dan pintu pun terbuka. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar tapi muat untuk dua orang terpampang jelas di hadapannya. Sena menyeret koper besarnya untuk memasuki kamar tersebut. Di sana terdapat dua buah ranjang single untuk dua orang, dua buah meja belajar lengkap dengan rak bukunya yang tidak terlalu tinggi tapi masih kosong, dua buah lemari berukuran sedang, dan sebuah kamar mandi dalam.

Sena meletakkan koper yang dibawanya di samping sebuah ranjang yang seprainya masih terlipat rapi dan terlihat kosong, karena ranjang yang satunya sudah ada barang-barang di atasnya yang menandakan  ada orang lain juga yang berada di dalam kamar tersebut. Perhatian Sena tertuju pada pintu kamar mandi saat dirasanya suara gemericik air telah berhenti. Dengan perasaan cemas, Sena menunggu teman sekamarnya yang entah itu siapa yang akan keluar sebentar lagi dari dalam kamar mandi tersebut.

Omonaa….” ucapnya terkejut saat melihat seseorang sedang memperhatikannya sambil duduk di ranjang yang beberapa menit lalu saat ditinggalkannya mandi masih kosong.

“Hai…” ucap Sena sambil tersenyum ramah saat suasana canggung menyelimuti mereka selama beberapa menit.

“H-hai…” balasnya kaku. “Kau orang Korea?” tanyanya sedikit ragu karena takut Sena bukan berasal dari negara yang sama dengannya walaupun sama-sama berasal dari Asia.

“Hm…aku orang Korea.” jawab Sena sambil menganggukkan kepalanya semangat karena memiliki teman sekamar orang Korea juga. “Lee Sena. Kau bisa memanggilku Sena.” Tambahnya mencoba seramah mungkin karena tidak mungkin Sena terus bersikap anti sosial di negara yang tidak dikenalnya.

“Ah…syukurlah.” jawabnya sambil membuang napas lega sebelum melanjutkan perkataannya. “Soojung, Jung Soojung. Kau bisa memanggilku Soojung atau Krystal. Terserah.” Ucapnya sambil membalas jabatan tangan Sena.

“Senang bisa sekamar denganmu.”

“Tentu. Senang bisa sekamar denganmu juga.”

Lalu mereka melepaskan jabatan tangan tersebut. Sena kembali duduk di tepi ranjangnya, dan Soojung juga duduk di tepi ranjangnya sambil mengeringkan rambut basahnya.

“Kau berasal dari kota mana?” tanya Sena begitu penasaran karena dialek Soojung yang agak sedikit aneh saat berbicara bahasa Korea.

“Aku? Sebenarnya aku berasal dari California, tapi masih tetap orang Korea.” Jawab Soojung santai tapi berhasil membuat Sena mengernyit heran. “Aku lahir dan besar di sana.”

“Kenapa kau tidak kuliah di sana saja? Bukankah di Amerika banyak universitas yang termasuk Ivy League?” tanya Sena begitu penasaran dengan jalan pikiran teman sekamarnya itu.

“Kau tahu, terlalu lama tinggal di sana membuat negara itu menjadi tidak menarik lagi buatku. Pada akhirnya aku terdampar di sini.” Ucap Soojung yang membuat Sena terkekeh geli saat melihat ekspresinya. “Kau sendiri?”

“Alasannya karena Swiss negara yang sangat indah dan damai. Aku suka kedamaian. Dan aku juga ingin masuk ke organisasi kesehatan dunia, WHO.” Jawab Sena sambil menerawang saat memikirkan alasan kenapa dia bisa kuliah di Swiss. Dan alasan utamanya adalah agar aku bisa jauh dari jangkauan pria itu. Tambah Sena dalam hati.

“Wow…kau seorang mahasiswa fakultas kedokteran?” tanya Soojung yang tidak bisa menyembunyikan perasaan takjubnya dan dijawab dengan anggukkan kepala oleh Sena. “Daebak!!”

“Kau sendiri?” tanya Sena mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Sama. Aku juga dari fakultas kedokteran, tapi aku bukan calon dokter sepertimu. Kecintaanku pada binatang membuatku ingin jadi dokter hewan. ”

“Aku tidak menyangka kalau kau adalah seorang penyayang binatang.” Ucap Sena sedikit menggoda Soojung, yang berhasil membuatnya mendelik ke arah Sena tidak suka.

“Wah…kau meragukan kemampuanku. Walaupun wajahku terlihat dingin dan terkesan acuh, aku itu sangat menyayangi binatang. Aku selalu tidak tega jika melihat seekor anjing atau kucing liar kelaparan di jalanan.” Jelasnya membuat perasaan Sena tidak enak telah meragukan Soojung.

“Baiklah, baiklah. Aku percaya padamu. Mianhae, tadi aku hanya bercanda. Kau mau memaafkanku, kan?”

“Tsk,” decak Soojung pura-pura menatap kesal ke arah Sena, tapi sedetik kemudian, dia pun tersenyum ke arah Sena. “Tentu. Aku memaafkanmu. Lagipula sindiran itu sudah sering aku dapatkan. Kau tidak usah khawatir, eoh.” Sena yang mendengarnya pun langsung tersenyum lega ke arah Soojung.

Perbincangan mereka tidak hanya sampai disitu saja. Bahkan hampir selamaman itu mereka berbincang-bincang untuk lebih mengenal satu sama lain, dan ternyata mereka memiliki banyak kesamaan. Tidak terasa mereka pun sudah tinggal di Zurich selama dua bulan dan selama itu pula hubungan Sena dan Soojung pun semakin dekat saja walaupun mereka berbeda jurusan.

Hingga suatu hari, Soojung dikagetkan dengan Sena yang terus muntah-muntah di pagi hari. Pada awalnya mereka mengira Sena hanya masuk angin biasa, namun kejadian itu terus berulang-ulang selama hampir seminggu lamanya.

“Kau tidak ingin memeriksakannya ke dokter? Aku khawatir kau mengidap penyakit yang tidak biasa.” Ucap Soojung khawatir dari ambang pintu kamar mandi saat melihat wajah Sena yang semakin pucat karena tidak berhenti memuntahkan makanannya.

Gwaenchana. Nanti juga baikkan.” Jawabnya begitu lemah karena hampir semua nutrisinya dia keluarkan lagi.

“Kau yakin?”

“Hm, pergilah. Bukankah kau ada kelas pagi? Kalau kau tidak berangkat sekarang kau akan terlambat.” Ucap Sena sambil mencoba untuk tersenyum menenangkan walaupun gagal di mata Soojung.

“Aku bisa bolos, dan menemanimu ke dokter.”

“Tidak. Kau tidak boleh membolos. Aku akan beristirahat sebentar, nanti juga baikkan. Sebaiknya kau cepat berangkat.”

Soojung hanya bisa menghela napas dalam setelah mendengar jawaban keras kepala dari sahabatnya itu. “Kau benar-benar keras kepala. Kau ingat nomorku kan jika terjadi sesuatu?”

“Hm, kau hanya terlalu berlebihan. Pergilah.”

“Baiklah, aku pergi. Jangan lupa makan sarapanmu.” Ucap Soojung sebelum pergi meninggalkan Sena sendirian di dalam kamar asrama itu.

Selepas kepergian Soojung, Sena pun kembali merebahkan tubuhnya yang terasa lemas di ranjangnya. Mata Sena menatap kosong langit-langit kamar asramanya saat memikirkan kemungkinan penyakit yang tidak diketahuinya.

Soojung benar, tidak mungkin aku hanya masuk angin terus- menerus seperti ini. Apakah telah terjadi sesuatu yang salah denganku? Apa jangan-jangan…? Tidak. Itu tidak mungkin terjadi .

Sebuah kilasan kejadian sekitar dua bulan yang lalu tiba-tiba terlintas di otak Sena. Sena langsung bangkit dari tidurnya saat memikirkan kemungkinan itu. Bagaimana dirinya bisa tidak tahu gejalanya padahal dia seorang mahasiswa jurusan kedokteran. Tanpa terasa keringat dingin pun mulai keluar dari tubuhnya saat memikirkannya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Sena segera menyambar jaket yang tergantung di dinding kamarnya tanpa mempedulikan apakah itu jaket miliknya atau jaket milik Soojung. Dengan langkah tergesa-gesa dia melangkahkan kakinya keluar dari gedung asrama untuk pergi ke sebuah apotek yang berada di seberang gedung asramanya. Sena langsung menghampiri seorang apoteker dan mengkatakan tujuannya datang ke sana.

Tidak butuh waktu lama, apoteker itupun membawa apa yang Sena minta. Sena pun langsung membayarnya dan melangkahkan kembali kakinya untuk menuju kamar asramanya. Hampir seperti berlari Sena memasuki gedung asrama itu hingga kadang dia tidak sengaja bertabrakan dengan mahasiswa lainnya, tapi dia tidak peduli karena dipikirannya hanya satu. Membuktikan perkiraannya selama ini.

Dengan perasaan cemas, Sena pun mengambil alat testpack yang dibelinya di apotek beberapa menit yang lalu. Tidak hanya satu, tapi Sena membeli empat buah alat testpack dengan berbagai merek yang berbeda. Sebelum melihat hasilnya, Sena menutup rapat matanya mencoba menenangkan detak jantungnya yang kian menggila saat memikirkan kemungkinan tersebut. Dengan tangan bergetar Sena mengambil salah satu dari keempat alat tersebut masih dengan menutup matanya.

Kumohon, jangan. Kumohon. Rapal Sena dalam hati semakin kencang saat alat tersebut sudah berada di depan wajahnya. Butuh beberapa menit bagi Sena untuk membuka matanya demi melihat hasilnya walaupun alat tersebut sudah berada tepat di depan matanya. Tarik napas. Keluarkan. Tarik napas. Keluarkan. Begitulah yang Sena lakukan selama tiga puluh menit terakhir itu.

Setelah cukup tenang, perlahan-lahan Sena pun membuka matanya untuk melihat hasilnya. Begitu matanya terbuka sempurna, Sena yang melihat hasilnya langsung jatuh terduduk dengan lemasnya di dalam kamar mandi tersebut. Segera diambilnya ketiga alat yang lainnya, berharap alat pertama memiliki kesalahan.

Namun, harapannya sirna saat melihat hasil yang sama ditunjukkan oleh tiga alat tersebut. Sena menatap kosong ke depan setelah mengetahui hasilnya. Air mata membasahi wajahnya begitu saja tanpa bisa dicegahnya. Perasaannya campur aduk. Dikatakan sedih, Sena tidak terlalu merasakannya. Dikatakan bahagia, Sena pun tidak merasakannya. Semuanya terasa hampa. Kosong.

Semuanya begitu mendadak, dan Sena tidak siap menerima itu semua. Tiba-tiba bayangan wajah Baekhyun melintas di otaknya. Entah kenapa perasaan bencinya semakin menjadi saat mengingat hasil testpack yang baru saja digunakannya. Tanpa Sena sadari, dia meraba perutnya yang masih rata. Kembali, dia mengingat kejadian yang telah terjadi dua bulan yang lalu antara dirinya dan Baekhyun.

Sapuan halus di perutnya pun berubah menjadi pukulan-pukulan ringan. Ini semua karenamu. Ini semua karenamu. Rutuk Sena sambil terus memukul perutnya. Aku membencimu. Aku sangat membencimu. Gumamnya yang membuat pukulan ringan itu semakin bertambah keras. Sena pun berteriak histeris mengeluarkan segala perasaan yang dirasakannya saat ini. Melempar apapun yang ada di dekatnya. Tangisan yang awalnya tidak ada suara, kini digantikan oleh suara tangisan putus asa. Sena begitu putus asa dengan keadaannya saat ini. Bagaimana caranya dia harus menghadapi dunia setelah semua ini terjadi? Pikirnya putus asa sambil menjambak rambutnya keras.

Setelah hampir sejam Sena menangis di kamar mandi, dengan kasar dia mengusap wajahnya dari air mata. Seperti orang gila, Sena pun melangkahkan kakinya menuju ke meja belajarnya. Dibukanya salah satu laci yang terdapat di meja tersebut. Tanpa pikir panjang, Sena langsung mengeluarkan kotak obatnya. Diambilnya salah satu botol obat yang di dalamnya berisi obat penenang.

Dengan tangan bergetar, Sena membuka tutup botol tersebut dan mengeluarkan isinya sebanyak mungkin. Saat obat itu sudah mendekati mulutnya, tiba-tiba Sena merasa ragu untuk melakukan tindakan gilanya itu. Katakanlah Sena gila karena memang Sena sudah merasa benar-benar jadi orang gila. Buliran air mata kembali menyeruak dari matanya, tapi saat Sena kembali terbayang wajah Baekhyun yang telah menghancurkan hidupnya, kebulatan tekadnya untuk meminum obat tersebut kembali Sena rasakan.

Sena langsung menegak semua butir kapsul obat yang ada di tangannya tanpa menghitung jumlahnya berapa. Dia tidak peduli jumlah dan dosis yang digunakannya sekarang, karena memang itulah tujuannya. Tidak butuh waktu lama bagi Sena untuk merasakan efek samping dari obat tersebut. Bukan rasa tenang yang didapatnya, tapi rasa sakit yang amat sangat hingga tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata.

Air mata Sena semakin mengalir deras saat rasa sakit itu semakin menyiksanya. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya. Napas Sena semakin memendek seperti tercekat, dan perutnya terasa seperti dililit sebuah kain dengan begitu kuatnya. Sena langsung tergeletak di lantai begitu tubuhnya tidak bisa lagi menahan rasa sakit itu. Sekuat tenaga Sena meremas perutnya berharap itu dapat mengurangi rasa sakitnya, tapi sayangnya itu tidak berarti apa-apa. Bahkan untuk sekedar berteriak meminta tolongpun Sena tidak bisa. Semuanya terlalu sakit. Tubuhnya terlalu sakit.

Perlahan-lahan kesadarannya semakin hilang tapi rasa sakit yang dirasakannya tidak menghilang sama sekali. Malah semakin menjadi-jadi. Sena masih bisa mendengar sebuah teriakan sesaat sebelum kegelapan menyergapnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi ringan tidak terasa sakit apapun saat kegelapan mengelilinginya. Hanya kegelapan yang dirasakannya, tidak ada yang lain. Dan Sena tidak bisa berbuat apa-apa akan hal itu. Entah kenapa tiba-tiba bayangan wajah Baekhyun kembali terlintas di pikirannya sebelum kesadarannya benar-benar hilang.

 

~ tbc ~

 

Seperti yang kalian tahu, ini chapter flasback. Tadinya mau aku buat jadi satu chapter aja, tapi saat ingat kejadiannya masih banyak, aku putuskan untuk buat jadi dua chapter.

Sampai ketemu di chapter selanjutnya

Bye-bye :-*

Regards, Azalea

 

                                                                                                                                                               

87 tanggapan untuk “[EXOFFI FREELANCE] My Lady (Chapter 10)”

Tinggalkan Balasan ke Byunnnnnnn Batalkan balasan