[Vignette] Moxie by bluesheano

f220c6320937d7d23918567ad0eb9652

(n.) courage; nerve; determination

bluesheano‘s present

Xiumin (Kim Minseok) x OC

WordPress : bluesheano || Wattpad : @Ikhsaniaty

Kopi tanpa gula dalam cangkir itu baru saja diaduknya. Kim Minseok selalu mengawali pagi harinya dengan cairan hitam pahit tersebut, sebelum ia pergi ke kantor demi menunaikan pekerjaannya seperti biasa. Terkadang, jika ia bosan dengan rasa pahit kopi yang menyelubungi seisi mulutnya, ia akan menambahkan sedikit gula―seperti yang disarankan Son Dohee, sahabatnya―lantaran terlalu banyak mengonsumsi gula dalam satu hari tidak baik untuk kesehatan.

Ya, Minseok memang tak meragukan nasihat sahabatnya, lagi pula Minseok ingat betul bagaimana dirinya dulu saat berperawakan gemuk dan hanya Dohee satu-satunya teman yang ia punya di semasa SMP-nya. Yah, kau tahu sendiri, banyak yang bilang bahwa orang gemuk itu tidak pantas berteman dengan siapa pun kecuali dengan perkumpulan babi dan kerbau. Menyebalkan sekali, bukan?

Maka sejak saat itu, Minseok bertekad untuk menurunkan berat badannya agar ia tidak terus menerus menjadi bahan rundungan mereka. Son Dohee sebenarnya sudah memberi tahu Minseok untuk tak mengindahkan omongan sampah mereka, tetapi Minseok berlagak tuli dan menyahut kesal, “Aku tidak mau kau berteman dengan babi sepertiku!” kala itu, yang membuat Dohee menangis sejenak sebelum ia turut membantu Minseok menjalankan program penurunan berat badannya dengan benar.

Dicobanya sedikit kopi yang telah diaduknya, dan Minseok tersenyum puas; rasanya pas. Kim Minseok hendak beranjak meninggalkan pantri dapur, tatkala ia mendengar bel apartemennya berbunyi. Ah, itu pasti Son Dohee.

Minseok meletakkan cangkirnya di atas meja kopi, kemudian melangkah menuju pintu apartemen dan membukakannya untuk si gadis bersurai kemerahan yang seketika memberinya cengiran lebar. “Halooo, Minseok-ie!” sapanya kelewat ceria. “Pagiku semakin manis saat aku melihatmu semenggemaskan ini!”

Minseok memutar bola matanya, malas.

“Tidak bisakah kau berhenti bicara begitu? Aku ini tampan, bukan menggemaskan!” protes Minseok seraya membiarkan Dohee memasuki apartemennya dan menjinjing kantung kertas di tangan kanannya.

“Apa salahnya, Seok-ie? Lagi pula, jarang sekali aku menemukan pria di zaman sekarang yang bertampang imut dan menggemaskan sepertimu. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk memperbaiki penampilan agar terlihat lebih seksi, tampan dan menggoda yang, sungguh, aku sudah terlalu bosan melihatnya,” tutur Son Dohee panjang lebar sambil terus berjalan ke pantri dapur untuk meletakkan bawaannya di meja makan.

“Apa itu?” tanya Minseok, memilih mengabaikan ucapan Dohee, sebab ia enggan memperpanjang obrolan tak berguna itu.

Jujur saja, Minseok tetap benci disebut menggemaskan! Terlebih itu keluar dari mulut Son Dohee!

Dohee tersenyum lebar. “Ini bubur ayam buatanku dan pangsit yang kubeli saat hendak kemari,” sahutnya. “Kau belum sarapan, kan? Baru meminum kopi saja?”

“Kopiku belum kuminum,” kata Minseok, mengedik dagu ke arah meja kopinya.

“Bagus kalau begitu.” Son Dohee mulai mengambil dua mangkuk dari dalam lemari perabotan, lalu menuangkan isi termos mini berisi bubur ayam buatannya. Kepulan asap serta merta membumbung tinggi dan menghantarkan wangi makanan lembek itu ke penciuman Minseok. “Kita sarapan bersama sebelum pergi berangkat bersama juga menuju kantor.”

“Apa?”

“Apanya yang apa?”

“Maksudku, kenapa? Perjalanan yang kita tempuh, kan, jelas berbeda.”

Dohee mendesah kecil, selanjutnya ia berujar setengah menggebu, “Aku sedang ngambek pada Minho karena ia selalu membatalkan acara kencan kami dengan mudah. Aku ingin membalasnya! Aku ingin bilang padanya bahwa aku masih punya kau, aku tidak terlalu membutuhkannya! Dan aku akan memilih untuk pergi ke mana saja bersamamu!”

“O-oh… wow.” Minseok tertawa kering. “Jadi, maksudmu, kau mau menjadikanku sebagai pelarianmu?”

“Oh? Kau mau aku melakukannya?” Dohee mengerjap heboh, ekspresinya mendadak secerah mentari pagi. “Kau mau jadi kekasihku juga?”

“Sinting,” gerutu Minseok, tak habis pikir dengan pemikiran karibnya itu.

Oh, tunggu sebentar! Kenapa jantungnya mendadak menggila begini? Apa-apaan ini? Ini tidak mungkin karena ucapan asal Dohee barusan, bukan? Yang benar saja!

“Eiy, apa salahnya dicoba? Siapa tahu, kan, ternyata kita lebih nyaman memiliki hubungan lebih dari pertemanan, lalu berakhir menikah dan bahagia selama-lamanya?” celoteh Dohee lagi yang semakin menambah kinerja jantung Minseok, pun menimbulkan rasa panas di kedua pipi si pemuda.

“H-hei! Berhentilah bercanda tentang hal itu! Kaupikir aku mau melakukannya? Tentu saja tidak!”

Ucapan Minseok ditanggapi dengan tawa renyah si gadis bermata sipit tersebut. Geliginya nyaris terlihat semua, sementara rambut kemerahannya yang terurai bergerak ke sana-kemari mengikuti gerakan tubuh si pemilik.

Kalau sudah begitu, Minseok diam-diam mengakui bahwa Son Dohee memang… gadis yang menarik.

Maka, mungkin, tak salah apabila mendadak organ kehidupannya berdetak kelewat cepat saat Dohee menggodanya habis-habisan.

“Ya, ya, kau memang pria satu-satunya yang tidak berhasil terbuai godaanku. Jadi, selamat, Minseok, kau adalah satu-satunya pria yang paling kusayangi di dunia ini!” Son Dohee merentangkan tangan selebar mungkin, membentuk gestur seolah meminta Minseok untuk menghampirinya dan memeluknya, tetapi yang dilakukan Minseok justru mendorong pelan kening Dohee, mendengkus kecil melihat tingkah lucu si gadis sebelum ia mulai menyantap buburnya di atas meja.

Karena Minseok rupanya enggan memeluknya, Dohee lantas menurunkan kedua tangan, menatap Minseok sambil memajukan bibir bawah tanpa sepengetahuan si pemuda, dan ia ikut menyantap buburnya tanpa bertanya lebih dulu apakah Minseok menyukai bubur buatannya atau tidak.

Selepas acara sarapan yang kembali diikuti oleh godaan-godaan Dohee lainnya, si Gadis Son itu akhirnya mengantarkan Kim Minseok menuju ke kantor―setelah sebelumnya diawali drama-drama tak penting seperti Minseok yang bisa pergi sendiri menggunakan mobilnya, sebelum ia melajukan mobilnya menuju ke tempat kerjanya sendiri.

Mobil sedan si gadis rupanya sudah sampai di depan gedung kantor Kim Minseok. Minseok membuka sabuk pengamannya, merapikan sedikit jas serta dasinya, membenahi rambut pendeknya yang cukup berantakan, kemudian ia berkata pada Dohee sambil tersenyum berpura-pura terkesan, “Terima kasih, Dohee, sudah mengantarku kemari dengan selamat.”

Dohee ikut tersenyum, menepuk-nepuk pundak tegap Minseok. “Aku juga akan menjemputmu pulang, kok. Jadi, simpan dulu rasa terima kasihnya.”

“Aku tidak akan memberitahumu kapan aku pulang.”

“Hmm…. Mungkin kau lupa kalau temanmu di sini adalah temanku juga. Aku akan menanyakan kepada mereka kalau begitu,” ujar Dohee yang seketika membuat Minseok mendesah pendek.

“Dohee, kau tidak apa-apa?”

“Tidak.” Dohee tertawa. “Kenapa? Kau mulai tersentuh, ya, dengan perlakuanku ini?”

“Masa bodoh.” Minseok mendengkus, membuka pintu mobil, membiarkan Dohee menatap punggungnya dalam diam, lalu ketika Minseok menunduk demi menatap Dohee dari luar mobil, ia melanjutkan, “Hati-hati di jalan. Kau juga tidak perlu menjemputku. Jangan biarkan aku terlihat seperti perempuannya di sini, kau paham?”

Mau tak mau, Dohee tertawa atas ucapan Minseok. “Ini menyenangkan, kau tahu?”

“Tidak. Tidak sama sekali.” Minseok mengernyit tak nyaman membayangkannya. “Baiklah, sampai bertemu nanti, Dohee-ya.”

Pintu mobil ditutup, Minseok berbalik melangkah menuju gedung kantornya, sementara Dohee masih bergeming di tempatnya demi menatap punggung kokoh si pemuda yang baru saja pergi dan meninggalkan aroma parfum maskulin di dalam mobilnya.

“Aku tidak bercanda soal tawaranku tadi, Seok-ie,” gumam Dohee, menyadari adanya air mata yang menggenang dan hendak jatuh menyusuri pipi. Dohee menyeka air matanya, lalu bersiap meninggalkan gedung kantor Minseok menuju ke tempat kerjanya.

Dohee-ya, ada di mana kau? Kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Kau sudah berangkat bekerja? Kita perlu bicara. Please, aku tidak mau putus denganmu. Sungguh, aku sama sekali tidak mengenal siapa itu Krystal!

Pesan obrolan itu dibaca Son Dohee saat lampu merah menyala. Dia berdecak beberapa kali, dan menghempaskan ponsel pintarnya ke kursi penumpang di sampingnya.

“Memang cuma Kim Minseok saja pria paling baik dan menggemaskan yang kukenal,” monolognya kemudian.[]

Satu komentar pada “[Vignette] Moxie by bluesheano”

Pip~ Pip~ Pip~