TRUE LIES – Slice #7 — IRISH’s Tale

   TRUE LIES  

  EXO`s D.O & Chen with Lovelyz`s Kei 

   supported VIXX`s Ken & A-Pink`s Eunji  

   additional cast will be revealed as the story flew away  

  crime, dark, hurt-comfort, marriage-life, sci-fi, slight!thriller, slight!suspense story rated by PG-17 served in chapterred length  

Disclaim: this is a work of fiction. I don’t own the cast. Every real ones belong to their real life and every fake ones belong to their fake appearance. Any similarity incidents, location, identification, name, character, or history of any person, product, or entity potrayed herein are fictious, coincidental, and unintentional. Any unauthorized duplication and/or distribution of this art and/or story without permission are totally restricted.

2016 © IRISH Art & Story all rights reserved


I lied when I said that I loved you.

Reading list:

〉〉 PrologueSlice #1: PlanSlice #2: AcceptanceSlice #3: TruthSlice #4: Truth (2)Slice #5: HopeSlice #6: Hurt Truth 〈〈

Slice #7: Hurt Truth (2)

In Author’s Eyes…

“Apa… ucapanku terdengar klise?” tanya Jiyeon saat Jongdae tidak kunjung memberinya sahutan apapun.

Untuk pertama kalinya, senyum muncul di wajah Jongdae. Bukan senyum yang ia tujukan untuk meledek Jiyeon, bukan pula senyum mengancam yang biasa dia tunjukkan pada si gadis. Kali ini ada ketulusan dalam senyum itu.

Meskipun pertemuan dan kebersamaan mereka ini diawali dengan cara yang tidak begitu mengenakkan dan tidak pantas, rupanya Jongdae sadar bahwa kali ini dia tidak salah memilih. Dia telah bersama dengan seseorang yang berdiri tegap untuk memberinya bantuan sekaligus menghentikannya.

“Tidak, sama sekali tidak. Mengapa… aku malah mendengar ketulusan dari kalimatmu, Kim Jiyeon? Apa kau tidak akan menyesali pilihanmu ini, meski aku tidak mengancammu?” pertanyaan Jongdae kemudian dijawab Jiyeon dengan sebuah gelengan pelan.

“Hidupku sudah terlampau penuh oleh penyesalan. Dan bertemu denganmu adalah perkara lain yang hidup tawarkan padaku. Aku pikir, pada akhirnya aku tidak akan menyesal. Meskipun aku harus hidup berselimut kebenaran pahit semacam ini.”

██│█ ║▌Chapter 7: Hurt Truth (2) │█ ║▌║██

PLAK!

“Jadi, kau gadis tidak tahu diri itu?”

Kehidupan Jiyeon agaknya baru saja terasa menyenangkan selama beberapa hari ketika tiba-tiba saja sore ini seorang wanita tahu-tahu menghadangnya, dengan bonus: memberinya sebuah tamparan saat pertama kali mereka bertemu.

“Sekarang, apa lagi? Siapa kau?” sontak Jiyeon berkoar, dia sudah cukup sabar menghadapi kekacauan yang Jongdae ciptakan, dan rasanya dia sudah kehabisan stok kesabarannya untuk hari ini.

Bagaimana tidak, Jongdae sudah berbuat kekacauan hari ini di laboratorium Kyungsoo saat Jiyeon membawa pria itu ke sana. Alasan Jiyeon, dia ingin mengunjungi Kyungsoo. Alasan Jongdae, dia harus mencari informasi di tempat itu.

Tapi yang ada Jongdae malah terdeteksi oleh pemindai mutan, dan Jiyeon harus sekuat tenaga menyembunyikan Jongdae begitu alarm emergency berbunyi.

Nah, hari ini saat dia hendak mengakhiri pekerjaan beratnya di perpustakaan—karena sekelompok murid sekolah yang berbuat kekacauan dengan mengambil buku sebanyak mungkin dan meletakkannya berserakan begitu saja di meja perpustakaan tanpa membacanya—keadaan seperti ini saja sudah cukup membuat Jiyeon naik pitam.

“Kau bilang ‘apa lagi’ seolah kau tidak salah apa-apa, huh?” tanya si wanita yang baru saja menyarangkan tamparan tersebut. Suaranya terdengar begitu lantang menggema di koridor panjang bernuansa biru muda yang sekarang jadi tempat Jiyeon berdiri.

Sementara, orang-orang memandangi mereka. Well, mereka memang tidak lagi hidup di zaman smartphone berkuasa, itu dulu, saat sebuah pertengkaran bisa jadi rekaman yang begitu berarti untuk disebar luaskan.

Tempat Jiyeon hidup sekarang sudah jauh lebih baik. Segala jenis tindak kekerasan yang terjadi akan bisa dideteksi melalui penyadap suara yang ada di setiap elemen penyusun sebuah bangunan.

Artinya, seluruh dunia ini diawasi. Karena lantai, dinding, bahkan langit-langit, bisa mendengar. Pemerintahan mendengarnya. Dan mereka menyalurkan bantuan bagi orang-orang yang memerlukan bantuan.

“Kau tiba-tiba saja datang dan menamparku tanpa alasan. Kau pikir tindakanmu sekarang masuk akal?” tanya Jiyeon, sekuat tenaga gadis itu menahan diri. Dia tentu tidak mungkin membalas perbuatan wanita tersebut, karena sekarang meski samar-samar, Jiyeon bisa mendengar suara sirine mobil polisi yang berdengung di luar gedung.

“Memangnya tindakanmu sendiri masuk akal!?” balas si wanita tak kalah berang.

Sungguh, Jiyeon tidak mengerti. Apa gerangan yang sudah dia lakukan hari ini sehingga membuat si wanita terdengar begitu marah? Jiyeon ingat dia bahkan tidak berbuat apapun pada si wanita. Mengenalnya saja tidak.

“Apa tindakanku yang sudah begitu mengganggumu?” tanya Jiyeon kemudian.

“Nona, kau sudah menikah dengan calon suamiku!” jeritan bernada tinggi si wanita mengejutkan Jiyeon. Tak hanya Jiyeon saja, tapi juga orang-orang di sekitar mereka. Semuanya sama-sama terkejut karena ucapan wanita itu.

Terlebih, karena wanita itu baru saja menyebut istilah ‘suami’ yang bahkan belum melekat pada Jiyeon. Hey! Dia dan Jongdae belum menikah.

“Apa?” tanpa sadar Jiyeon berkata, tanpa bisa berbohong, lutut gadis itu mulai goyah. Tatapan mengintimidasi dari orang-orang yang sekarang menatapnya seolah dia benar-benar jadi wanita perusak hubungan orang lain sudah jadi sebuah teror bagi Jiyeon.

Tapi, ada hal yang lebih membuat Jiyeon merasa terintimidasi lagi. Sebuah seringai samar yang wanita itu pamerkan di wajahnya, seolah menyadarkan Jiyeon dan memberitahunya kalau wanita di hadapannya ini… akan membuatnya menderita.

“Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan!” dengan lantang Jiyeon balik memberontak. Dia sudah cukup menderita saat ini, dan dia tak ingin menambah penderitaannya lagi.

Jiyeon sudah banyak berkorban. Dan dia rasa dia sudah cukup banyak berkorban hari ini. Setidaknya, Jiyeon harus mengendalikan dirinya agar tidak meluapkan amarahnya begitu saja di tempat umum begini.

Jadi, dengan tegas Jiyeon menatap wanita di hadapannya dengan pandang menantang. Seolah dia tidak merasa takut pada intimidasi sosial yang mungkin akan diterimanya esok hari.

“Jongdae mencintaiku, kau tahu itu? Kalau dia memang calon suamimu, mengapa dia repot-repot menikahi wanita lain? Itu artinya, dia tidak mencintaimu.” Jiyeon dengan cukup tajam mengutarakan untaian kalimat yang sudah disusunnya dengan hati-hati di dalam benak.

Setelah itu, tanpa menunggu sahutan apapun dari wanita yang sekarang berdiri terperangah karena ucapannya, Jiyeon melenggang pergi. Meski tanpa bisa berbohong, lutut Jiyeon masih gemetar saat mengambil langkah tersebut.

Sementara si wanita yang ditinggalkan Jiyeon—dia adalah Jung Eunji, kini mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Perkataan Jiyeon barusan sungguh bisa diingatnya dengan jelas, dan bahkan bisa dia dengar kembali saat ingin.

Tapi rasa sakit hati juga kemarahan yang sekarang telah disulut Jiyeon seolah jadi sebuah pembangkit emosi bagi Eunji. Lantas, Eunji membalik tubuh, menatap ke arah punggung Jiyeon yang sudah melangkah menjauh sebelum dia menyunggingkan sebuah senyum sarkatis di wajahnya.

“Katamu Jongdae mencintaimu? Kita lihat saja… sampai sejauh mana kau akan kuat menghadapiku, Kim Jiyeon.”

██║ ♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ ║██

“Aku pulang.”

Satu kalimat Jiyeon utarakan begitu dia masuk ke dalam rumah. Ya, Jongdae memintanya untuk mulai membiasakan diri tinggal di rumah itu mengingat beberapa pekan lagi mereka akan menikah.

“Kau tak perlu melaporkan kepulanganmu padaku.” Jongdae menyahuti dari ruang baca yang ada di sebelah ruang tengah.

Jiyeon hanya menjawab dengan sebuah helaan nafas panjang. Pipi kiri gadis itu masih memerah dan sedikit membengkak karena tamparan keras dari Eunji. Dan tentu saja, nyeri yang ada di hati Jiyeon justru belasan kali terasa lebih menyakitkan meski tidak meninggalkan memar apapun.

“Aku tahu, aku hanya terbiasa melakukannya.” sahut Jiyeon tidak peduli.

Gadis itu lantas meletakkan tas jinjingnya di atas meja ruang belajar, dipandanginya Jongdae yang sibuk dengan buku tebal di tangan, sebelum akhirnya Jiyeon putuskan untuk bicara.

“Aku bertemu dengan seseorang hari ini.” kata Jiyeon, tidak berhasil merenggut atensi Jongdae karena pria itu tampak masih serius dengan buku tebalnya.

“Dia bilang dia calon istrimu, Jongdae.”

Bisa Jiyeon lihat bagaimana ekspresi Jongdae sekarang mengeras. Jongdae bahkan sempat tidak berkedip selama beberapa sekon, sebelum akhirnya dia mengembuskan nafas panjang.

“Siapa yang kau temui itu?” tanya Jongdae.

“Aku tidak tahu. Maksudku, aku tidak mengenalnya, tidak juga tahu namanya. Dia datang ke perpustakaan dan kemudian menamparku. Lalu dengan lantang dia berteriak kalau aku merebut calon suaminya.” tutur Jiyeon, tidak jelas darimana dia harus memulai segala cerita tentang kekacauan yang hari ini dia hadapi.

Padahal, jelas sekali senja tadi Jiyeon berniat untuk mengabaikan Jongdae karena kekacauan yang telah pria itu ciptakan. Tapi Jiyeon juga tidak punya pilihan, dia tak bisa bercerita pada siapapun selain Jongdae.

“Lalu? Apa masalahnya?”

Sungguh, Jiyeon tidak lagi bisa berkata-kata begitu ditemukannya reaksi Jongdae justru berlawanan dengan yang dia harapkan. Tapi hey, memangnya apa yang diharapkan Jiyeon? Jongdae akan berubah jadi tuan baik hati?

“Tentu saja jadi masalah. Bagaimana bisa kau menikah denganku sementara kau punya calon pengantin?” akhirnya, Jongdae lah yang jadi pelampiasan kemarahan Jiyeon. Gadis itu rupanya sudah menyimpan rapat-rapat kemarahannya sejak tadi.

“Pernikahan kita palsu, kau lupa?”

Ucapan Jongdae sekarang berhasil membungkam Jiyeon. Tak hanya bungkam, gadis itu bahkan menahan tangisnya. Ketidak pedulian yang Jongdae tunjukkan padanya adalah sebuah pukulan.

Dia tak pernah diperlakukan serendah ini selama hidupnya. Dan Jongdae adalah orang pertama yang bersikap seolah Jiyeon tidak lebih berharga daripada seonggok sampah yang sudah membusuk.

Pria itu bahkan tidak menatap Jiyeon saat keduanya bicara. Seolah, menatap Jiyeon saat bicara adalah hal yang tidak layak dia lakukan. Jiyeon tidak lagi cukup baik untuk menghadapi situasi seperti ini.

“Aku berubah pikiran.” ucapan Jiyeon kali ini berhasil mendapatkan atensi Jongdae, meski hanya berupa lirikan tajam saja.

“Apa maksudmu?” tanya Jongdae. Sementara Jiyeon hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sungguh, Jiyeon sudah menahan keinginan menangisnya kuat-kuat.

“Kutunggu undangan pernikahan kita.” tandas Jiyeon, dibalikkannya tubuh sembari melangkah pergi meninggalkan Jongdae. Masih menyimpan dongkol, Jiyeon meraih tas jinjingnya sebelum gadis itu kemudian melangkah keluar dari rumah Jongdae.

Masa bodoh dengan kemarahan Jongdae, Jiyeon bisa menghadapinya nanti. Masalahnya harga diri Jiyeon yang jadi taruhan. Mana mau gadis itu menelan bulat-bulat hinaan yang sudah wanita tadi lontarkan padanya—terutama karena hinaan itu diutarakannya di depan umum—kemudian di tempat ini kembali mengalah pada Jongdae?

Bahkan, melihat Jiyeon yang melenggang pergi, Jongdae sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya. Memang, yang Jiyeon tahu pria itu membiarkannya pergi begitu saja. Tapi tentu saja Jiyeon tidak tahu bagaimana ekspresi Jongdae sekarang.

Pria itu terlihat seperti bisa memangsa seseorang bulat-bulat.

“Jung Eunji, wanita satu itu selalu saja membuat masalah.”

██║ ♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ ║██

Pencahayaan minim memang sudah jadi sahabat bagi Jongdae, tapi tidak dengan malam ini. Karena cahaya minim tersebut berasal dari ruangan tempat selama ini Eunji tinggal. Well, Jongdae memutuskan untuk kembali dari Earth, dia harus bicara pada Eunji, untuk setidaknya mencegah wanita itu melakukan hal-hal di luar nalar.

KRIET!

Begitu pintu tempat tinggal Eunji terbuka, Jongdae beranjak berdiri. Pria itu lantas merajut langkah ke ruang depan, tempat Eunji sekarang dengan santainya melepaskan mantel yang membalut tubuh.

“Ada perlu apa kau menemuiku?” tanya Eunji tanpa basa-basi, rupanya dia sudah mengetahui keberadaan Jongdae di kediamannya.

“Masalah apa lagi yang kali ini kau ciptakan?” tanya Jongdae, tentu dia juga bukan tipikal yang suka berbasa-basi.

“Masalah, katamu?” nada bicara Eunji meninggi. “Kau pergi ke Earth tanpa sepengetahuanku. Kemudian, tiba-tiba saja kau hendak menikah dengan orang lain, manusia, pula. Pikirmu aku bisa menerimanya begitu saja?” tanya Eunji, menyudutkan Jongdae yang memang selama ini telah menyembunyikan penelitannya ini rapat-rapat dari Eunji.

“Dia adalah bagian dari rencanaku.” tandas Jongdae.

“Wah, rencana, katamu. Rencana luar biasa apa yang harus mewajibkan seorang manusia menikah dengan mutan sepertimu?” cecar Eunji.

“Kau tidak mengerti, Eunji. Dia hanya tamengku selama aku berada di sana. Untuk bisa memanfaatkannya, aku harus selalu berada di dekatnya dan memberikan satu-dua ancaman yang akan membuatnya menurutiku.

“Ini juga demi kebaikan kita, Eunji. Kau tidak mau terjadi apa-apa pada kita setelah pernikahan kita dilangsungkan, bukan? Aku juga tidak mau begitu.” tutur Jongdae, sudah jelas Eunji seharusnya masih mengingat masalah apa yang mereka hadapi di tempat ini sehingga memaksa Jongdae melakukan penelitian sekaligus aksi teror di Earth.

“Dan apa hubungannya itu dengan pernikahan? Kau akan menjadi suami orang lain, Jongdae! Tidakkah kau sadar apa yang sudah kau lakukan!?” teriakan Eunji sekarang memenuhi ruangan, sudah tidak mengejutkan lagi bagi Jongdae, mengingat Eunji memang seringkali berada dalam situasi histeris ketika menghadapi masalah.

“Pernikahan palsu, catat itu. Kau pikir aku menaruh ketertarikan padanya, begitu? Jangan bercanda. Memangnya ada wanita yang lebih sempurna daripada kau, Eunji?” perkataan tenang Jongdae sekarang berhasil sedikit membungkam Eunji.

Setidaknya, gadis itu masih menjadi prioritas dalam pandangan Jongdae. Dan sedikit demi sedikit, kemarahan yang Eunji simpan rapat sejak tadi meluruh. Tentu saja, Jongdae memang selalu berhasil menghancurkan pertahanan Eunji.

“Apa yang akan terjadi setelah kau selesai dengan penelitianmu?” tanya Eunji akhirnya.

“Kita akan bersama, apa lagi?” tanya Jongdae, seolah pertanyaan Eunji sekarang terdengar begitu konyol buatnya, padahal akhir dari semua ini sudah begitu jelas.

“Dan bagaimana dengan manusia itu?” tanya Eunji lagi.

Jongdae terdiam sejenak. Dia tahu benar karakter Eunji, mereka bukannya baru saling mengenal sore kemarin. Dan Jongdae tahu apa yang Eunji inginkan di balik pertanyaannya barusan.

“Apa yang harus kulakukan padanya supaya kau merasa puas?” pertanyaan yang lolos dari bibir Jongdae itu berhasil melebur sebuah senyum di wajah Eunji.

“Hancurkan dia, bisakah?” Eunji menantang.

“Perlukah dia kuhabisi di hadapanmu?” tanya Jongdae, ditatapnya Eunji tepat di kedua manik matanya, dia tunjukkan bagaimana seriusnya ucapan barusan agar Eunji tidak lagi ragu-ragu.

“Baiklah, hancurkan dia di hadapanku setelah semua ini berakhir.” Eunji menyetujui, gadis itu akhirnya bisa memasang ekspresi rileks yang sejak tadi tampak enggan dipasangnya di wajah.

“Kalau begitu, apa aku bisa membuatnya menderita selagi kau menyelesaikan tugasmu?” Eunji kemudian berkelakar dengan santai.

Jongdae, akhirnya bisa mengembuskan nafas lega. Kemarahan Eunji adalah satu masalah yang Jongdae ketahui selalu melahirkan masalah baru. Dan hilangnya kemarahan gadis itu untuk saat ini setidaknya sudah bisa mengurangi beban pikiran Jongdae.

“Terserah kau saja. Sudah kukatakan dia hanya tamengku, asal perbuatanmu tidak membuatnya terbunuh atau bunuh diri, tidak masalah. Lakukan saja sesuka hatimu.” kata Jongdae memutuskan.

Toh, dia memang bukannya peduli pada Jiyeon. Ada tidak adanya Eunji di kehidupan Jiyeon seolah bukanlah sebuah masalah bagi Jongdae. Selama gadis itu tidak mati, Jongdae masih bisa memanfaatkannya.

“Selama dia tetap hidup, baiklah, kalau begitu aku setuju.” Eunji kini tersenyum sumrigah.

“Dan ingat,” Jongdae mengingatkan, “Jangan ungkit soal hubungan kita di sana. Karena jika aku ketahuan, aku tidak ingin kau juga terlibat, Eunji-ah. Kau tahu keselamatanmu adalah prioritasku, bukan?”

Eunji mengangguk mantap sebelum dia merengkuh lengan Jongdae, pria yang selama berhari-hari ini telah dia rindukan karena eksistensinya yang tidak Eunji ketahui.

“Iya, iya aku mengerti. Aku hanya akan membuat gadis itu menderita. Aku buktikan kalau dia adalah manusia paling tidak beruntung di dunia, karena telah berurusan denganku.”

██║ ♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ ║██

Sudah satu jam berlalu, dan netra sipit Jiyeon sudah tenggelam di balik sembab, tapi gadis itu tidak tampak hendak berhenti menangis. Padahal, dia sedang berada di tempat umum. Sementara di hadapannya, Lee Jaehwan duduk bagai orang bodoh.

Lebih tepatnya, semua orang sekarang menatap Jaehwan dengan pandang menghakimi. Seolah pria itu baru saja melakukan hal yang akhirnya membuat Jiyeon menangis tanpa henti. Berselingkuh, misalnya. Atau hal lain yang bisa jadi alasan tangisan seorang wanita selama satu jam.

“Jiyeon, kau belum puas juga menangis?” Jaehwan akhirnya dengan hati-hati bertanya, pria itu sudah lelah datang ke meja resepsionis untuk meminta isi ulang tissue, sebab tissue di meja mereka sudah habis karena ulah Jiyeon.

Bahkan, Jaehwan sudah menerima tuduhan yang diberikan orang-orang melalui tatapan mereka. Biar saja, toh mereka tidak mengenal Jaehwan. Kalaupun kenal, mereka pasti tahu hubungan macam apa yang Jaehwan miliki dengan Jiyeon.

Untuk sementara ini, tatapan mengerikan yang orang-orang berikan bukanlah sebuah masalah.

“Jaehwan, aku benar-benar tidak mengerti.” betapa bersemangatnya Jaehwan begitu didengarnya Jiyeon akhirnya berhenti terisak. Satu gunung tumpukkan tissue bekas gadis itu sudah ada di meja, sehingga wajah Jiyeon pun di mata Jaehwan sekarang sudah tidak terlihat jelas.

“Kenapa?” tanya Jaehwan, takut bertanya tentang hal lain karena dia pikir Jiyeon akan menangis lebih keras lagi karena pertanyaannya yang keliru.

“Aku ini, bernasib buruk? Atau bernasib baik?”

Well, sebelum menangis, Jaehwan sudah mendengar semua keluh kesah Jiyeon. Semuanya, kecuali bagian bahwa Jongdae adalah seorang mutan, tentu saja. Setidaknya Jiyeon masih bisa berbohong dengan baik, dan dia sanggup menceritakan apa yang telah terjadi padanya dengan rinci pada Jaehwan.

Meskipun, inti dari penjelasan yang Jaehwan ambil adalah seorang wanita asing menampar Jiyeon dan mengatakan Jiyeon berusaha merebut calon suaminya di hari yang berat saat Jiyeon bahkan belum makan seharian.

Dan ya, Jaehwan juga tidak berani berkomentar macam-macam. Salah bicara, isakan samar Jiyeon bisa berubah menjadi tangisan. Tapi tingkah konyol Jiyeon sekarang rasanya sudah begitu keterlaluan bagi Jaehwan.

Sudah menangis tersedu-sedu begini, gadis itu masih menanyakan soal jenis nasib yang menimpanya?

“Astaga, kenapa kau menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah jelas?” sontak, begitu mendengar ucapan Jaehwan, tangisan Jiyeon kembali pecah.

Rupanya gadis itu sejak tadi sibuk berspekulasi, tentang keadaannya. Dan sekarang keadaan itu diperjelas oleh ucapan Jaehwan. Otomatis, Jiyeon merasa bahwa tidak seorang pun di tempat ini memihaknya.

Di dunia ini, tidak ada yang memihaknya.

“Aduh, hey, berhentilah menangis. Menangis tidak akan menyelesaikan masalahmu, kau tahu itu bukan?” Jaehwan akhirnya gemas juga.

“Aku tahu, tapi aku hanya bisa menangis. Aku harus bagaimana kalau yang bisa kulakukan hanya menangis dan meratapi apa yang sudah terjadi padaku?” balasan Jiyeon malah membuat Jaehwan melongo.

Pasalnya, dengan cara sangat tidak logis, gadis itu membuat Jaehwan selama satu sekon benar-benar percaya kalau Jiyeon tak bisa apa-apa kecuali menangis. Padahal, setelah dipikir-pikir lagi, perkataan gadis itu sangat irasional.

“Ya kau bisa saja membatalkan pernikahan itu, bukan? Memangnya dia pria sebaik apa? Sampai kau terlihat begitu tergila-gila padanya.” komentar Jaehwan, ada nada cemburu tidak kentara yang sebenarnya terselip dalam kalimat pria itu.

Entah, apa yang ada dalam benak Jiyeon tentang Jongdae, batin Jaehwan, sampai-sampai perasaan tulus yang sejak dulu sudah Jaehwan simpan untuk si gadis pun tak pernah mendapatkan atensi.

Yang ada, Jiyeon justru membiarkan dirinya dilukai oleh pria lain.

“Aku tidak bisa membatalkannya.” balas Jiyeon di tengah isakannya, sekarang dia sudah hampir menghabiskan kotak ke-empat tissue yang ada di meja mereka.

“Kenapa tidak bisa?” tanya Jaehwan.

Alih-alih mendapatkan jawaban yang rasional, Jaehwan justru disambut oleh sahutan tidak rasional lainnya. “Undangannya sudah jadi, dan undangan itu sangat cantik sampai aku begitu menyukai undangannya.”

Menyerah, Jaehwan tenggelamkan wajahnya di balik kedua siku yang dia lipat di atas meja. Sejak tadi Jiyeon selalu mengutarakan alasan-alasan tak masuk akal yang pada intinya tidak bisa menjadi jalan perpisahan bagi Jiyeon dengan calon pengantin pria yang rupanya saja tak pernah Jaehwan lihat.

Jangankan bertemu, mendengar namanya saja baru pertama kali ini.

Tapi Jaehwan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dari cerita yang Jiyeon ungkap hari ini saja, dia sudah tahu lebih dari cukup. Jelas, Jiyeon menggilai pria yang akan dinikahinya ini. sampai-sampai gadis itu berkeras hendak mempertahankan pernikahannya meski tahu pria itu sebenarnya sudah punya wanita lain yang hendak dinikahinya.

“Kalau kau begitu menginginkan pria ini, Jiyeon-ah, berjuanglah. Kau tidak seharusnya menangis dan menyerah seperti ini. Menangis tidak akan menyelesaikan masalahmu, tapi kau harus membuat wanita itu tahu kalau kau lah yang lebih pantas untuk bersanding dengan pria ini.

“Wanita itu mungkin menertawaimu karena sudah berhasil membuatmu malu. Tapi kau juga bisa membalasnya. Berbahagialah bersama pria ini, dan wanita itu akan merasakan sakit yang amat luar biasa. Bukankah, kau mencintai pria ini, Kim Jiyeon?”

Kini, Jiyeon terdiam. Bukannya dia mencintai Jongdae, bukan juga dia ingin bersama dengan pria itu. Jiyeon bahkan bukan seorang pendendam yang menyimpan kebencian pada wanita yang telah mempermalukannya.

Tapi, kenapa Jiyeon sekarang menangis? Hanya karena dia dipermalukan di depan umum? Atau, karena Jongdae sama sekali tidak tampak terusik pada hal memalukan yang sudah Jiyeon terima?

Benarkah begitu? Jiyeon menangis sedari tadi karena tahu Jongdae sama sekali tidak menaruh kepedulian sedikit pun padanya?

۩۞۩▬▬▬▬▬▬ε(• -̮ •)з To Be Continued ε(• -̮ •)з ▬▬▬▬▬▬▬۩۞۩

IRISH’s Fingernotes:

Ini berapa bulan sejak terakhir kali aku publish True Lies? Huhu, miane Jiyeon-ah. Aku perlu mood super melodrama buat menganiaya kamu dengan cerita melodrama dalem cerita ini. Berhubung aku sudah punya mood yang super jadi susah juga ngebuat cast menderita di dalem cerita.

Stok lagu mellow di playlist juga lagi menipis, akibat banyaknya lagu-lagu bergenre astral yang akhir-akhir ini aku dengerin. Jadi moodku pun berubah random. Begitu juga dengan cerita yang aku ketik.

True Lies salah satu cerita yang membutuhkan mood melodrama ekstra, dan susah banget buat dapet mood semacem itu T.T kalo pas keinget mantan mungkin iya bisa jadi galau, tapi aku tuh udah lupa alasan yang dulu bikin nangis pas keinget mantan itu apa, LOLOL.

Nah, berhubung udah sampe sini jadi aku cuma perlu prepare wedding mereka di chapter depan, sama prepare kejutan-kejutan melodrama lainnya buat Jiyeon dong ya. Udah enggak perlu nyiapin adegan bahagia.

Perlu gak sih dia dibuat nangis juga pas wedding day, aduhai… semangat nian aku bikin dia menderita ini, wkwkwkwk. Ya sudahlah, selagi aku bertapa nyari inspirasi buat ngebikin Jiyeon makin menderita, aku sudahi saja fingernotes ini.

Sekian dariku, salam kecup dan sampai ketemu di chapter berikutnya! Irish.

Ps: Selamat Hari Pemuda!

hold me on: Instagram | Wattpad | WordPress

 

9 tanggapan untuk “TRUE LIES – Slice #7 — IRISH’s Tale”

  1. Miane mianeeee beb ane telat komen XD
    BTW PAS LIAT POSTERNYA ANE SALFOK SAMA KEI YAWLA KENAPA DIA CANTIK PISAN????? SUKAAAKKKKK SAMA POSTER BARUNYA WKWKWKWKWK EUNJI SUDAH SEMAKIN MENAMPAKKAN DIRI DISINI, DAN JONGDAE KENAPA NYEBELIN ABIS DI CHAPTER INI HAHAHAHAHAHA AKU YG BACANYA AJA KESEL GIMANA JIYEON YG SELALU DIHUJAT2 SECARA LANGSUNG SAMA JONGDAE XD XD GREGET BANGET SAMA SIKAP JONGDAE, TAPI DIA COCOK JADI ANTAGONIS GITU MASA XD ANE GA NGERTI LAGI TERBUAT DARI APA HATI DAN PERASAANNYA JIYEON SAMPE DIA TAHAN BANGET DIBUAT MENDERITA SECARA BATIN KAYA GITU WUAKAKAKAKAK MESKIPUN ANE SENENG DIA DISIKSA DAN MENDERITA TAPI YA KADANG GREGET JUGA KENAPA DIA MESTI LEMAH BANGET KAYA GITU XD XD XD TAPI DIA CUCOK YA BEB DAPET PERAN YG TERANIAYA KAYA GINI XD XD KELIATANNYA DIA PASRAH-PASRAH AJA DISAKITIN JUGA WKWKWK TERUS JIYEON INI UDAH MULAI ADA GETARAN-GETARAN(?) RASA KAH KE JONGDAE? DIA TIPE2 YG GAMPANG NAKSIR KE ORANG KAYANYA. MESKIPUN UDAH JELAS2 ORANG YG DIA SUKA MALAH NYAKITIN DIA TAPI KAYANYA DIA FINE2 AJA. JIYEON INI MASOKIS YA? /DITENDANG/
    OKEH ANE LANJUT KE CHAPTER 8~!

  2. akhirnya, akang Jongdae di up jg.
    btw aq salah nginget jdul saat comment minggu kmrin, driku nyebut love lies hohoho…
    pdhal true lies,Irish bnran dpt pencerahan deh…
    wkwkwkwk

  3. nyesek ya jadi jiyeon. tapi ya emang jiyeonnya yang kebawa perasaan sih…
    tapi jongdae juga terlalu ga peduli
    tapi tapi
    ah taulah

Pip~ Pip~ Pip~