[3] Full Stop | truwita

req.fullstop

Full Stop by truwita

[EXO] Park Chanyeol, Oh Sehun, and [OC] Kim Jira
Genres Romance, Drama, Family, Hurt/Comfort
Length Chapter | Rating PG-15
Preview [0] [1] [2]

Ia enggan pulang, enggan beranjak dan enggan menjadi saksi waktu yang berputar.

Chanyeol tak bisa memejamkan mata. Kejadian sore tadi masih terus terbayang di benak. Otaknya lamban sekali mencerna apa yang terjadi. Hingga sampai saat ini ia masih kesulitan memahami keadaan.

Sore tadi, dua gadis dengan wajah serupa muncul di hadapannya. Wajah mereka familiar, tentu saja. Karena salah satu dari mereka menyandang status kekasihnya. Kim Jina dan Kim Jira. Sial, berapa banyak yang tak Chanyeol ketahui? Ia benar-benar kecewa sekaligus malu. Karena hal kecil seperti itu saja ia tak tahu. Yang lebih membuat Chanyeol kecewa adalah ekspresi Jira saat menatapnya tadi. Apa gadis itu pikir ia benar-benar mencium bibir saudarinya? Lagi pula, itu bukan sepenuhnya salah Chanyeol. Ia sama sekali tidak tahu menahu.

Untuk ke sekian, Chanyeol menatap layar gelap ponselnya. Ia sedang menunggu. Menunggu sebuah panggilan atau pesan dari orang yang tengah ia pikirkan. Namun sepertinya sia-sia. Waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Gadis itu mungkin tengah terlelap di bawah selimut hangatnya.

Chanyeol menyerah untuk menunggu. Meletakan ponsel, lalu mencoba untuk memejamkan mata. Jika ia tidak tidur juga, ia akan dalam bahaya. Ada kelas guru Yoon besok. Jika tidak tidur sekarang, ia pasti akan tertidur di kelas. Tidur normal saja sudah membuatnya ngantuk dan nyaris terlelap saat pelajaran. Bagaimana jika ia sampai tidak tidur semalaman. Kacau!

Jalja, Park Chanyeol.”

***

Jira hanya memandang langit-langit tanpa minat. Tubuhnya lelah, matanya juga menuntut minta diistirahatkan. Tapi otaknya enggan. Kepalanya berdenyut karena terlalu sering memikirkan hal sama secara berulang: Apa yang Chanyeol pikirkan? Bagaimana ia harus bersikap besok?

Tenggorokannya terasa kering. Segelas mineral yang di letakan atas nakaspun sudah ludes beberapa saat yang lalu. Jira mendesah, mengalahkan rasa malas untuk hilangkan dahaga. Sepanjang langkahnya ke dapur, Jira masih terus berpikir. Sebenarnya, Jira hanya perlu mengkonfirmasi kebenaran. Kalau selama ini ia memang punya saudara kembar. Alasan kenapa ia tak pernah membicarakannya karena berpikir itu bukanlah hal yang penting, juga tak menguntungkan untuk hubungan keduanya. Hanya sederhana itu. tapi… rasanya sesuatu terasa mengganjal. Jira tak suka harus membahas keluarganya bersama Chanyeol.

“Oh, Kim Jira.”

“Oh!” Jira terkejut, pikirannya buyar. “Jina! kau membuatku takut!”

Saudarinya itu hanya terkikik, lalu kembali fokus pada pensil dan buku gambar di tangannya. Menorehkan setiap goresan indah di sana. “Apa yang kau lakukan di dapur?”

“Menggambar.”

“Astaga, Jina. jam berapa sekarang? kau harus tidur. Ibu akan marah kalau tahu.”

“Ibu takkan tahu kalau kau diam dan tak berisik.” Gadis itu mengedipkan sebelah mata.

Jira mendengus. Jina sama sekali tak memerdulikan tegurannya. Gadis itu malah kembali tenggelam dalam sketsa miliknya. “Kenapa tidak menggambar di kamarmu saja?”

“Cahaya bulan terlihat cantik dari sini. Membuat gambarku semakin terlihat indah.” Jina tersenyum, mengamati gambarnya yang terpapar cahaya bulan dari jendela. Ribuan kali, Jira sudah menyaksikan Jina tersenyum sepanjang waktu. Namun agaknya kali ini berbeda. itu adalah senyum yang muncul dari hatinya. Bukan sebuah senyum dibuat-buat seperti yang selalu ia lakukan. Kau akan mengerti dan bisa membedakannya jika kau telah bersama dengan seseorang seumur hidupmu. Semua terlihat jelas, karena tak hanya bibir, mata Jina juga ikut tersenyum saat memandang.

“Memangnya apa yang kau gambar?”

Jina segera menutup buku gambarnya saat Jira bermaksud melihat. Meski sekilas, Jira sudah melihatnya dengan cukup jelas. “Park… Chanyeol?”

“Ah!”Jina memasang wajah kekanakan. Seperti seorang balita yang mainannya baru saja direbut. “Kau melihatnya? yah, Kim Jira!”

“Ma-maaf.”

***

Jira nyaris saja tertidur di dalam bus jika tidak tersenggol oleh seorang siswa yang turun secara buru-buru. Ia segera bangkit, merapihkan seragam lalu ikut turun di pemberhentian tak jauh dari sekolah. Kepala dan matanya terasa berat, akibat tak tidur semalaman. Bagaimana ia bisa tidur setelah banyak hal terjadi. Oh, sungguh sial.

Setelah berjalan kurang lebih 10 menit lamanya, Jira sampai di kelas. Ia langsung dikerubuti Soohye,Yerin, dan Minhee. Ketiga gadis itu berisik sekali mengeluarkan beberapa pertanyaan secara bergantian, membuat telinga Jira mau pecah saja. Tanpa memerdulikan ketiga gadis itu, Jira berjalan lesu ke tempat duduknya dan merebahkan kepala di atas meja.

“Oi, Kim Jira. Kau mengabaikan kami? Yah! Kau tega sekali pada sahabat-sahabatmu ini.”

“Jira. Sekali lagi saja, yaa? Setelah itu kami akan berusaha sendiri. Ya ya ya?”

“Kau tahu, semalam aku sudah mencoba mengerjakannya. Tapi hanya beberapa yang kubisa.”

“Ambil saja.” Jira menjawab tanpa menoleh, ia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak peduli ketiga gadis itu merusuh, bersorak dan berebut buku latihan miliknya.

***

Jira duduk sendirian. Di sebuah kursi kayu panjang yang terletak di depan kelas. Saat ini, istirahat makan siang tengah berlangsung. Jadi, hanya beberapa siswa saja yang terlihat berkeliaran di koridor. Mayoritas siswa tengah berbondong-bondong menuju kantin. Mengisi perut mereka yang sudah meronta-ronta.

Sepasang kaki jenjang berhenti di depannya. Menutup pandangan Jira. Sebenarnya tidak juga sih, karena gadis itu hanya menatap tanpa fokus. Tanpa benar-benar menikmati pemandangan di depannya.

“Perutmu perlu diisi.”

Itu Chanyeol. Ketika Jira mendongak, lelaki itu tersenyum. Menyodorkan sepotong roti dan sekaleng jus. Jira tak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. semuanya terasa canggung, entahlah. Mereka seperti bukan sepasang kekasih saja. Setidaknya begitu yang si gadis rasakan. Tapi sepertinya, si lelaki tidak merasa begitu. Chanyeol tetaplah Chanyeol.

Mereka duduk bersisian. Melahap makanan masing-masing yang diiringi oleh celotehan Chanyeol yang bercerita tentang kekonyolan Baekhyun saat kelas Yoon saem berlangsung. Bahkan sesekali lelaki itu memeragakan tingkah Baekhyun dengan mulut penuh makanan.

“Yah, Park Chanyeol! Makanlah dengan benar!”

Nde!

Rasanya benar-benar menyenangkan bisa melihat Chanyeol tersenyum, tertawa, bicara sembarangan dan melakukan hal-hal konyol. Jira selalu bersyukur akan hal itu. Hari ini ia masih bisa melewati hari dengannya seperti biasa. Namun, tentu saja sebuah pertanyaan tak pernah luput dari kepala. Sampai kapan semua ini akan tetap berlangsung?

Jira berhenti tersenyum. Wajahnya seketika menyendu. Kepalanya tertunduk menatap lantai. “Yeol.”

“Hm.”

“Tentang Jina…”

Jira tak tahu bagaimana harus menjelaskannya pada Chanyeol agar tak ada kesahapahaman yang terjadi. Jira tahu, Yeol pasti kecewa karena ia tak pernah membahas tentang saudara juga keluarganya. Demi apapun, Jira tak pernah bermaksud menyembunyikan hal itu. ia hanya berpikir untuk mengatakannya di waktu yang tepat. Mungkin seharusnya ia memang mengatakannya lebih awal. Sebelum hal seperti kemarin terjadi.

“Oh, saudarimu? Aku juga memikirkannya semalaman.” Chanyeol masih berkata dengan nada santainya. Menoleh, mengamati ekspresi Jira dari samping. “Aku khawatir padamu semalam. Ingin sekali aku menelepon atau mengirim pesan singkat, tapi aku tak bisa berpikir jernih. Aku bingung harus mengatakan hal apa.”

Reflek, Jira menoleh. Mereka bertatapan satu sama lain. Chanyeol memiringkan kepala dan mengendikkan bahu. Ia lebih dulu melepas kontak, menatap ke depan.

Jira selalu merasa Chanyeol itu beruntung. Ia benar-benar iri dengan kepribadian Chanyeol yang selalu apa adanya dan berterus terang dalam segala keadaan. Menurutnya, itu adalah bakat alami yang luar biasa! Chanyeol selalu berkata apa yang ia rasakan. Ia tak pernah menyembunyikan apapun dibalik sikapnya. Ia bersedih karena ia memang sedang sedih, ia tertawa karena memang ia ingin tertawa karena bahagia dan ia bilang kalau dia bingung karena dia memang sedang bigung. Hidup selalu terlihat mudah jika dilihat dari sudut pandangya.

“Waktu itu… ah, bagaimana aku menjelaskannya? Apa kau akan percaya?”

“Eh?”

“Jira,” Chanyeol berlutut di depannya. Menggenggam kedua tangan dan menatap gadis itu lamat-lamat. “Kau harus tahu. Ah tidak. kau harus percaya! Aku bicara yang sesungguhnya, bahwa saat itu aku belum mencium bibir Jina. aku berani jamin!”

“Aku melakukannya karena kupikir itu kau.”

Ye?

“Kumohon, jangan salah paham.”

***

Bell pulang sekolah berbunyi 5 menit yang lalu. Ruang kelas sudah kosong. Para siswa berhamburan keluar sejak tadi. Semangat menyambut akhir pekan. Ya, hari ini adalah hari Sabtu, dan kegiatan pembejaran selesai lebih cepat dari biasanya.

Tidak seperti siswa umumnya yang nampak antusias, Jira malah sebaliknya. Ia duduk terdiam, menatap papan tulis dengan perasaan enggan. Ia enggan pulang, enggan beranjak dan enggan menjadi saksi waktu yang berputar.

Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Itu dari Jina. Setelah beberapa saat berpikir, pada panggilan kedua ia mengangkatnya.

“Kim Jira, kelasmu sudah selesai bukan? Kau tidak lupa acara kita, ‘kan? Aku dan ibu akan pergi ke salon. Datanglah, aku akan mengirimkan alamatnya. ohya, aku juga sudah membawa keperluanmu, jadi kau tak perlu pulang ke rumah dulu. Sampai nanti, Dah.”

Telepon terputus begitu saja. Jira bahkan belum mengatakan sepatah katapun. Ia menghela napas. Jira memang tak pernah punya kesempatan untuk memutuskan. Ia hanya perlu menuruti apa yang sudah direncanakan. Menyebalkan, tapi inilah hidupnya.

Jira bangkit, memutuskan untuk segera pergi. Saat berbalik, Chanyeol sudah berdiri di bibir pintu. Melambai dan tersenyum. “Yo!”

“Sejak kapan?”

“Ehm… sejak kau diam saja di sana. Padahal yang lain sudah bergegas pergi.”

“Kenapa tidak—”

“Hanya ingin,” Chanyeol memotong cepat. “Menunggumu bukan hal yang sulit.”

Jira benar-benar berharap bahwa kalimat terakhir Chanyeol hanya sebatas kalimat manis yang biasa orang katakan sebagai omong kosong. Lelaki itu hanya mengumbar kata, menggodanya. Lagi pula siapa yang senang menunggu?

Berkali-kali Jira menyugestikan diri. Tapi bukan itu, seolah seseuatu yang jauh lebih dalam tersembunyi di baliknya. Jira tak menyukai misteri. Terutama tentang Chanyeol. Ya, lelaki itu tak pernah menyembukan apapun ‘kan? Jadi, seharusnya Jira tak perlu mengkhawatirkan itu.

Kajja!

“Hm.” Jira mengangguk, Chanyeol menyisipkan jemari, mereka berjalan beriringan dengan tangan yang saling bertaut.

“Maaf, karena pekan ini aku juga belum bisa pergi berkencan denganmu. Kemarin juga, aku malah membatalkan lagi secara sepihak. Aku benar-benar minta maaf.”

Chanyeol menggeleng. Mengeratkan genggamannya lalu memasukan tangan yang bertaut itu kedalam saku jas sekolahnya. “Tak apa, masih banyak waktu.”

“Aku harap begitu.” Jira berdoa dalam hati.

***

“Kau yakin, tak perlu diantar?”

“Hm.” Jira mengangguk mantap.

Sekarang mereka berada di sebuah persimpangan tak jauh dari sekolah. Chanyeol baru saja hendak mengambil sepeda motor yang dititipkan. Berniat mengantar pacarnya ke tempat tujuan. Namun si gadis menolak tiba-tiba setelah sebelumnya setuju untuk diantar. Heran, namun akhirnya ia memutuskan untuk tak memaksa.

Bukan maksud Jira untuk menolak kebaikan pacarnya, ia bahkan sudah menyetujui tawaran lelaki itu. Hanya saja kilasan kejadian semalam tiba-tiba teringat. Ia belum bisa memastikan alasan kenapa Jina membuat sketsa wajah Chanyeol. Jira khawatir jika Chanyeol mengantarnya, Jina melihat dan bertanya banyak hal. Berhubung ia juga belum mengatakan apa-apa tentang siapa dan apa hubungannya dengan Chanyeol.

“Baiklah, hati-hati kalau begitu.”

Mereka berpisah. Mengambil langkah yang saling bertolak. Sesekali Chanyeol menengok ke belakang, akan tetapi yang ia lihat hanya punggung sempit Jira yang terus menjauh. Gadis itu tak penah sekalipun menoleh padanya.

Perasaannya tiba-tiba saja jadi aneh. Melihat punggung gadis itu menjauh, bukan hal yang termasuk dalam daftar favorit Chanyeol sepertinya. Kendati segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu adalah hal yang disukainya, namun kali ini berbeda. Punggung yang menjauh… Chanyeol menggeleng.

***

Sebuah mobil menepi. Jira berhenti melangkah. Si pengemudi menurunkan kaca jendela mobil. Itu Sehun. Buru-buru Jira mengalihkan pandangan dan kembali berjalan. Tapi mobil itu terus saja mengikuti bahkan membunyikan klakson yang memekakkan telinga.

Jira menghentak. Menyipitkan mata menatap Sehun lewat sudutnya.

“Naiklah, atau aku hancurkan acara malam ini.”

“Mengancam jadi gayamu akhir-akhir ini, ya?”

Jira membuka pintu dan duduk samping kemudi. Tanpa mengatakan apapun, ia duduk bersidekap. Membiarkan keheningan mengambil alih. Bukannya tak ada bahasan yang bisa dibicarakan, justru karena banyaknya hal yang harus dibahas, rasanya diam menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

***

Waktu berlalu cepat. Malam tiba begitu saja. Semua sudah berkumpul di sebuah meja yang ada di dalam restoran ternama. Membicarakan topik-topik ringan sesaat setelah mereka duduk dengan nyaman.

“Kudengar kau tadi diantar Sehun pergi ke salon?” dokter Oh kembali melempar topik pembicaraan. Kali ini ia bermaksud memancing Sehun dan Jira, yang sedari tadi memang diam seribu bahasa. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Berpura-pura menikmati hidangan yang tersaji.

“Hm.” Jira yang menjawab. “Sehun melihatku sedang berjalan menuju halte, dan dia menawarkan tumpangan. Kebetulan tujuanku satu arah dengan tempatnya tinggal.”

“Aku senang kalian sudah menjalin kedekatan.” Dokter Oh menepuk punggung Sehun yang duduk di sebelahnya. “Mungkin agak mudah karena kalian teman satu sekolah. Ayah harap, kau bisa demikian juga dengan Jina.”

Jina mengangguk dan tersenyum saat arah pandang Sehun tertuju padanya. tapi bukan sebuah senyum yang didapatnya kembali. Malah sebuah dengusan dan ekspresi mengejek.

Tes. Tes.

Sehun berdiri tiba-tiba. Membuat tiga pasang mata lainnya tertuju padanya. tapi tidak dengan si pemeran utama. “Ji-Jira.”

Sehun mencabut beberapa lembar tissue kotak di dekatnya. Menyeka tetesan darah yang mengucur dari hidung Jira. “Jira, apa kau baik-baik saja?” kali ini Nyonya Jin, sang ibunda yang bertanya dan ikut bangkit dari duduknya.

“Jira, kau berdarah.” Jina ikut penimpali dan menatap terkesima.

“Kau sakit? wajahmu pucat.” Sehun adalah orang yang paling terlihat khawatir dari yang lainnya. Lelaki itu tak membiarkan siapapun selain dirinya menyeka tetesan darah yang belum berhenti mengucur.

Jira mengerjap. Entah apa yang sedang dipikirkannya tadi. Ia juga baru sadar kalau semua orang kini menatap khawatir padanya. Ia mengambil alih tissue yang Sehun pegang. Dan menyeka darahnya sendiri. “Aku baik-baik saja. Mungkin karena lelah.”

“Aku ke toilet sebentar.”

Sepeninggalan Jira, Sehun kembali duduk di kursinya. Masih terlihat jelas gurat kekhawatiran di sana. Hal itu tak luput dari pengawasan ayahnya, doketr Oh. Menurut pria paruh baya itu, reaksi Sehun terbilang agak berlebihan.

“Dokter Oh, apa menurutmu Jira baik-baik saja?” Nyonya Jin bertanya, mengalihkan fokus sang dokter yang tengah memerhatikan putranya.

“Aku tak bisa memastikan. Berdoa saja bahwa ia hanya kelelahan biasa.” Dokter Oh tersenyum dan menggenggam tangan nyonya Jin. Berusaha menyalurkan ketenangan.

Tak berapa lama Jira kembali. Sehun bangkit dan mendekat. Sambil menyentuh bahunya, Sehun berkata, “Kita pulang. Kau bisa beristirahat di apartemenku. Jaraknya lebih dekat dari sini.” Sehun melepas jas yang ia kenakan, menyampirkan di bahu Jira yang sedikit terbuka. “Aboeji, Ahjumma dan Jina-ssi lanjutkan saja makan malam kalian. Aku akan memastikan bahwa Jira baik-baik saja bersamaku. Selamat malam.”

Sebelum siapapun merespon tindakannya, Sehun sudah menyeret Jira pergi. Meninggalakan tiga orang lainnya yang termangu. Sikap yang semakin mencurigakan itu membuat dokter Oh mencium sesuatu yang tidak beres dengan putranya. Namun segera ia tepis, tak lama kemudian. Sehun hanya mencari alasan untuk pergi dari sini.

***

“Aku baik-baik saja. Aku bisa pulang sendiri.” Jira melepaskan diri dari rengkuhan Sehun. Si lelaki merenggut tak suka.

“Diam dan turuti saja kata-kataku.” Sehun tak menerima bantahan apapun. Pada dasarnya ia tak suka dibantah.

Jira yang memang sudah tak memiliki banyak tenaga untuk melawan hanya mampu diam menuruti perkataan Sehun. Gadis itu sudah tidak peduli lagi ke mana Sehun akan membawanya. Tubuhnya benar-benar terasa lemas. Pun kepalanya yang tak berhenti berdenyut. Jira memutuskan untuk memejamkan mata setelah mendapatkan posisi yang nyaman di dalam mobil. Membiarkan Sehun mengemudi dengan tenang.

15 menit kemudian mereka sampai si basement apartemen Sehun. Halus sekali, Sehun menepikan mobil. Tak mau membangunkan gadis yang terlelap di sisinya. Remang-remang cahaya lampu menerpa wajah Jira. Sehun tersenyum sekilas, melepas sabuk pengaman lalu turun dari mobil.

Perlahan, sangat perlahan. Sehun menggendong Jira. Menyelipkan kedua tangannya di antara tengkuk dan lutut si gadis. Menyandarkan kepala si gadis pada dada bidangnya. Berusaha membuat nyaman posisi gendongan.

Sepanjang jalan, fokus Sehun tersedot pada paras Jira yang terlelap. Cantik. Wajah si gadis berkilau diterpa cahaya lampu koridor. Seseuatu membuncah di dada. Sehun mengumpat, masihkah ia diizinkan untuk mengangumi setiap inci dari gadis itu? rasanya benar-benar menyakitkan mengingat kenyataan yang terpapar di hadapannya.

Tinggal beberapa langkah lagi sampai di depan pintu apartemennya, Sehun berhenti melangkah. Menggelengkan kepala lalu berbalik, kembali menuju mobilnya.

Ini tidak akan berhasil.

Setelah menempatkan Jira yang masih terlelap di kursi penumpang, Sehun mengambil ponsel gadis itu dari dalam tas selempangnya. Mencari sebuah kontak yang kira-kira bisa dihubungi dan andalkan di saat seperti ini.

Park Soohye.

Sesaat ia ragu, ketika menemukan nama itu dideretan daftar kontak yang ada. Namun pada akhirnya ia tak punya pilihan lagi. Hanya Soohye yang ia tahu dan bisa ia andalkan diantara semua teman Jira.

“Jira?” sapa suara di sebrang setelah beberapa kali nada tunggu terdengar.

“Kau ada di rumah?”

“Si—Sehun?!” Soohye memekik, “Apa yang… tidak, kenapa ponsel Jira ada padamu?”

“Sepertinya kau ada di rumah. Aku akan ke sana sekarang.”

“Hah? Apa—tuut.” Sehun memutuskan panggilan sepihak. Bergegas masuk ke mobil dan menancap gas menuju rumah Soohye.

***

Jira sudah terlelap dengan nyaman di atas tempat tidur Soohye. Si empunya melipat kedua tangan di depan dada, bersandar di bibir pintu. Masih tak habis pikir dengan apa yang terjadi.

“Jantungku hampir copot saat kaubilang kau akan datang ke mari.”

Sehun masih betah berdiri memunggungi Soohye, menatap lamat-lamat paras Jira yang terlelap. “Dia terlihat lemah sekali. Tubuhnya jauh lebih ringan. Pipinya juga semakin tirus.”

“Dan kau masih sama brengseknya. Sial!”

“Jika terjadi seseuatu, kau bisa menghubungiku.” Sehun mengabaikan perkataan Soohye. “Jika tengah malam nanti tiba-tiba dia demam atau butuh sesuatu, kau jangan sungkan, kau bisa bilang padaku.”

Soohye mendengus. “Kau pikir kau siapa? Seenaknya memerintah!”

“Park Soohye.”

“Aku tak tahu apa hubunganmu dengan Jira. Kau tahu, dia teman baikku. Dan yang lebih penting, dia sudah memiliki kekasih. Aku bisa menghubungi Chanyeol jika terjadi sesuatu nantinya.”

Sehun mengepalkan kedua tangan, menahan emosi. “Terserah, lakukan sesukamu.” Sehun beranjak pergi. Sebelum benar-benar pergi, ia kembali menoleh. “Terima kasih, tolong jaga dia untukku.”

“Aku akan menjaganya karena dia teman baikku, bukan untukmu.”

***

Aboeji.”

“Oh, aku kemari karena kupikir kau butuh beberapa saran untuk merawat Jira. Tapi sepertinya kau tidak membawanya bersamamu.”

“Aku membawanya ke apartemen Soohye.”

“Oh, gadis itu ya? Bagaimana kabarnya?”

“Baik. Kau bisa pulang, aku lelah.”

“Sejak kapan kau mengenal Kim Jira?”

“Bukan urusanmu.”

“Memang bukan, hanya saja aku perlu tahu bagaimana anakku hidup selama ini.”

Sehun diam, menatap tanpa ekspresi pada ayahnya.

“Semenjak aku bercerai dengan ibumu, aku terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Maaf, kau jadi terabaikan. Aku bahkan jarang menengokmu ke mari. Atau bicara soal kehidupanmu. Aku memang ayah yang payah. Bahkan saat aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan wanita lain, aku tidak bertanya bagaimana pendapatmu.”

“Aku terlalu naif, menganggap kau sudah cukup dewasa untuk memahaminya.”

Sehun mencibir, memilih untuk tidak menanggapi. Tapi kalimat selanjutnya membuat lelaki itu terdiam, mematung.

“Apa hubunganmu dengan Jira?” sang ayah masih berkata dengan nada serupa, tak begitu memerhatikan ekspresi Sehun yang mengeras saat mendengarnya. “Aku pikir, aku telah membuat suatu kesalahan fatal yang memperbesar rasa bencimu padaku.”

***

“Oi, Jira!” Soohye berteriak, melambai saat gadis yang dipanggilnya berbalik. Soohye berlari, dan bertanya saat keduanya berjalan bersisian. “Kau baik-baik saja?”

“Seperti yang kau lihat.”

“Kau membuatku takut saat menghilang dari rumah tiba-tiba dan hanya meninggalkan catatan kecil. kau bahkan tidak bisa kuhubungi. Menyebalkan.”

“Maaf, ponselku kehabisan baterai, dan bodohnya aku tidak menyadarinya.”

“Aku pikir si brengsek itu menculikmu. Aku bahkan memaki-makinya selama hampir satu jam!”

“Brengsek?”

“Ya, lelaki yang ‘menitipkanmu’ kemarin malam.”

Jira mengerutkan kening. Ia tak pernah tahu hubungan Soohye dan Sehun yang sepertinya tak begitu baik, sehingga memanggil Sehun dengan sebutan seperti itu. Memangnya apa yang terjadi? Meski ingin tahu, Jira tak berani menanyakannya, ia pikir itu adalah masalah pribadi Soohye dengan Sehun. Kalaupun gadis itu ingin, ia pasti akan menceritakannya pada Jira tanpa diminta suatu saat nanti.

“Aku tak akan bertanya apa yang terjadi hingga Sehun mengantarmu ke rumahku. Aku bersyukur kau tidak dibawa kerumahnya. Ingat, Kim Jira. Kau harus berhati-hati dengan bajingan satu itu, mengerti?”

Selebihnya, tak ada hal yang terjadi di sekolah. Semua berjalan seperti biasa. Sehun masih menghabiskan banyak waktu di ruang OSIS dan bersikap dingin padanya. Jira juga melewatkan istirahat makan siang dengan teman dan pulang bersama Chanyeol.

Hari ini begitu normal. Rasanya aneh, setelah sekian lama dan banyak hal terjadi. Pada akhirnya, Jira bisa menghirup napas lega untuk sesaat. Ya, sesaat. Karena hidup tanpa masalah itu bukan hidup namanya.

Malam hari saat Jira hendak mengambil air minum, ia mendapati ibunya mabuk-mabukan seorang diri. Dalam gelap dan keheningan. Tak ada suara yang terdengar, selain dentingan botol soju dan bibir gelas. Ini pertama kalinya Jira memergoki sang ibu menengak cairan racun itu. Saat ayah meninggalpun, ibunya hanya menenggelamkan diri pada setumpuk pekerjaan bukan pada botol-botol soju. Itu bukan gaya ibunya. Jadi, seberat apa masalah yang kini ia hadapi?

“Ibu,” Jira memanggil pelan.

“Oh, Ji…ra. Kau belum tidur?”

“Kenapa ibu mabuk-mabukan? Ini rumah, bukan bar.”

“Ucapanmu… persis sepeti mendiang ayahmu. Kau… mewarisi banyak sifatnya.”

“Apa yang terjadi?”

“Kelak, saat kau sudah dewasa, kau harus memilih lelaki yang baik, yang bisa menjagamu sampai akhir hayat.”

***

 

“Kita perlu bicara.”

Sehun berhenti melangkah. Ia menoleh, Jira berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada.wajahnya terlihat serius. Sehun hanya mengerutkan kening sekilas, lalu kembali berjalan. Membimbing langkah menuju halaman belakang sekolah tanpa mengatakan sepatah katapun.

Tak perlu waktu lama untuk sampai ke halaman belakang. Di sana hanya ada mereka berdua. Sebenarnya, sekolah juga sudah cukup sepi. Tak perlu sampai ke tempat seperti ini untuk bicara. Jira mendesah, Sehun tak juga membalik tubuh. Lelaki itu berdiri membelakangi dengan jarak dua meter dari posisi Jira.

“Sehun, apa yang kau katakan pada ayahmu?”

“Bukan urusanmu.”

“Sekarang menjadi urusanku. Semalam, ibuku tiba-tiba mengatakan hal-hal aneh. Sinar matanya agak redup. Aku pikir terjadi sesuatu dengan hubungannya bersama dokter Oh. Dan benar saja, dokter Oh menunda pernikahan mereka atau mungkin membatalkannya? Entahlah. Aku tak tahu mana yang benar.”

“Aku tak peduli, itu bukan urusanku.” Sehun masih tak berbalik, ia juga menjawab dengan kalimat singkat nan dingin.

“Aku tahu kau mengatakan sesuatu pada ayahmu. Dan aku harap, itu bukan tentang hubungan kita di masa lalu.”

Lama, Jira menunggu respon balasan dari Sehun. Namun lelaki itu diam seribu bahasa. Enggan mengomentari ucapan sebelumnya

“Sehun, tak bisakah kau berhenti? Tak bisakah kita lupakan saja? Kau membuat langkahku semakin berat.”

“Jangan melangkah kalau begitu.”

“Kau gila? Kita sudah tak lagi punya harapan. Jangan membuatku sulit jika kau menyukaiku.”

“Perasaanku tak sedangkal itu, begitu juga denganmu.”

“Sehun!” kali ini Jira berteriak. Air mata luruh di kedua pipinya. Gadis itu benar-benar sudah tak tahu lagi harus bagaimana menyikapi kekeras kepalaan Sehun. Kenapa lelaki itu tak juga mau mengerti?

“Aku harus bagaimana? Aku harus bilang apa agar kaumengerti? Kau tahu lebih dari siapapun, Sehun. Siapa dan bagaimana aku hidup selama ini.”

Jira terisak, kilasan wajah ibunya yang tersenyum dengan sorot mata sedih semalam kembali melintas di kepala. “Kau tahu, hal yang paling ingin kulakukan di dunia ini adalah membahagiakan ibuku. Itu adalah satu-satunya mimpi yang kupunya.”

“Beliau tak pernah terlihat bahagia semenjak kematian ayah. Hidupnya ia habiskan untuk bekerja dan mengkhawatirkan kesehatan Jina.”

“Sekeras apapun aku belajar dan mengukir prestasi, aku tak pernah bisa menghidupkan cahaya yang berbinar di matanya. Cahaya yang selalu kurindukan saat menatap sepasang mata ibu.”

“Tapi akhirnya, aku bisa melihatnya lagi.”

“Dan alasan aku melihatnya adalah dokter Oh.”

Jira menghapus jejak air mata di pipi, “Sehun, ini bukan hanya tentang orang tua kita. Tapi ini juga tentangku, tentang mimpiku.”

Lama terdiam, yang terdengar hanya isakkan pilu Jira. Tanpa berniat mengatakan sepatah katapun, Sehun berbalik, mendekat, merangkum wajah Jira lalu melayangkan sebuah kecupan yang berujung pada sebuah ciuman yang panjang serta dalam. Kedua matanya tertutup, menuangkan semua emosi pada setiap gerakan bibir yang dilakoninya. Meski di awal Jira membelalak terkejut dan mencoba melepaskan diri, tapi pada akhirnya ia juga terseret gelombang emosi. Perasaan yang telah ia tekan ke dasar, kini naik ke permukaan.

Sungguh, ini di luar kendali Sehun. Ia sama sekali tidak berniat melakukannya. Hanya… terjadi begitu saja. Awalnya ia hanya ingin menyeka air mata Jira, tapi yang terjadi malah di luar rencana. Tiba-tiba saja kepalanya kosong. Ia tak bisa mengendalikan gerak tubuhnya. Semua tejadi atas dasar dorongan emosi dan perasaan yang tertekan selama ini.

PRAAK.

Sebuah suara menarik Jira kembali pada realita. Ia membuka mata dan mendorong tubuh Sehun. Mengusap bibir dengan punggung tangannya. Napas mereka memburu. Jira tak tahu harus berkata apa. Sehun benar-benar sudah kehilangan kewarasan. Dia bukan lagi Sehun yang lembut dan penuh kasih sayang. Di matanya, Sehun tak lebih dari seorang lelaki ambisius yang egois. Sebelum hal gila lainnya terjadi, Jira segera pergi meninggalkan Sehun begitu saja.

Sesaat sebelum menginjakan kaki di lantai koridor, Jira berhenti. Membungkuk memungut benda yang tergeletak di lantai. Sebuah ponsel. Perasaan tak nyaman mulai menyambangi, ponsel itu terlihat familiar. Tentu saja, karena ternyata si empunya adalah kekasihnya. Potret mereka terpasang sebagai wallpaper ketika layar menyala. “Chan… Yeol.”

End of part 3

Semoga fanfic ini masih berkenan buat dibaca.
meski banyak typo, aku yakin.
ceritanya jadi semakin lebay aku tahu,
aku juga bingung kenapa bisa begini. /dibakar
pokoknya, kritik dan saran jangan lupa.
buat kedepannya aku gak bisa janjiin, soalnya udah mulai masuk kuliah,
dan hari libur biasanya dipake buat nugas ini-itu.
aku bakal lanjutin kok, tenang aja J
dukungan kalian, kunanti. Hihi
-tata<3

70 tanggapan untuk “[3] Full Stop | truwita”

  1. Jira cuma kecapean aja apa sebenrnya dia juga punya penyakit? Ihh gasuka sama hubungan jira sehun abis ga tega sama chanyeol dia tulus bgt selalu ada buat jira selalu maafin jira kalo buat salah. Ibaratnya susah nemuin cowo kyk chanyeol. Aku sih lbh suka jira sama chanyeol drpd sm sehun. Biasanya kalo ada cewe yg nyia2in cowok yg tipenya kyk chanyeol ntr ujung2nya nyesel. Hahaha tp gatau terserah author aja deh jira bakal sm siapa

  2. Seketika blank. Campur aduk. Frozen.
    Aaaaaa keren bgt.. Begitu baca langsung bisa ngikutin alurnya..
    Akhirnya jelas hubungan mereka..
    Keep writing thor~

    1. Makasih udah baca dan komen sayang :*
      Terharu banget, aku yg nulis aja males baca karena suka merinding, lalu jijik sama diri sendiri /dibuang
      Yg gak jelas itu hubungan aku sama krystal setelah dia konfir sama kai /lah?

  3. sumpah keren banget, ceritanya misterius banget. aku pertama kali baca, makin penasaran sampai part3. eh part 3 makin bikin penasaran. aku harap jira sama park chanyeol. kasihan channie yang sangat mencintai jira. jina sembuh saja dan jadian sama sehun. jangan sampai jira sama sehun. chanyeol sangat mencintainya. saran ya author. poor channi aa.. di tunggu part selanjutnya ya.

    1. Part selanjutnya sudah update, :))
      Makasih yaa sudah baca dan komen ^^
      Semoga part selanjutnya bisa memuaskan. Hehe
      Keep read and comment juga♡♡♡

  4. please jgn sakitin sehun dan jira lagi…
    sudah cukup mreka brdua mnahan perasaannya selama ini.
    tata tolong buat sehun dan jira bersatu kmbali dong….
    please buat mereka brdua brsama.
    chanyoel biar sama jina aja.
    dan sehun biar bahagia ma jira…
    please tata 🙂
    ditunggu lanjutan ceritanya 🙂

  5. authornya mana plisss?? penasaran banget nih ama kelanjutannya
    chapter 4 nya kapan keluar? kalo bisa dikeluarin ampe chapter terakhirnya thor,, ini ff keren banget sumpahh..

    1. Hadiiiiiiiiirrrrrrr!
      Chap 4 udah kuupdate. Hehe maap lama,
      InsyaAllah aku usahain update sampe akhir.. mohon doa dan dukungannya juga. Hehe
      Makasih udah baca dan komen ♡♡♡

  6. Oh Jira sakit apa dan juga bagaimana itu Chanyeol malah salah paham. Sehun juga tidak bisa melupakan Jira dan Jina menyukai Chanyeol apa yang akan dilakukan Jira. Benarkah ia nanti akan membuat Chanyeol bersama dengan Jina karena penyakitnya itu . Next chapternya semoga Jira baik-baik saja

  7. Hallo aku reader baru disini maaf baru meninggalkan comment di chapt 3 😀 ceritanya seru bgt aku suka yeol yg selalu happy dan terus terang #teamyeol 😀
    Gak kerasa baca udah jadi baper aj😂😂 kasian yeol hiksss tata fighting!😘 aku menunggu kelanjutannya hhi

  8. Hai! Aku pembaca baru, secca imnida. Kak ini seru>< Wkwk, jangan salahkan aku kalo aku jadi team Sehun-Jira. Karna aku gak pengen Sehun-ku tersakiti wkwk, yg bikin aku nungguin ini adalah aku pengen tau bakal seberapa jauh Jira ngerelain kebahagiaan dia sendiri buat orang lain. Aku pengen dia berjuang buat bahagia sama Sehun wkwk, maafkan aku Chanyeol:') Haha. Tapi serius kak, aku lebih seneng Jira sama Sehun, mereka punya luka yg sama:') Udahlah aku tunggu kelanjutannya ya kak. Semangat nulisnya!!

    1. Hai, Secca ^^/
      Haha iya iya. Disini bebas rasis kok. XD
      Oke, kita liat sampe kapan Jira bisa berdiri diatas kakinya sendiri. Haha
      Chanyeol udah siap pegang linggis, loh… tiati😂😂😂
      Yo, makasih udah baca dan komen♡♡♡
      Salam kenal! Tata😆

  9. Apapun yang terjadi di chapter ini.. Tuk ka tata aku tinggalkan jejak duluan. Hahaha
    Jadi.. Sebenarnya aku gak tau persis apa yang terjadi sm mereka karena aku komen duluan haha
    Keep write kak
    Ditunggu ch next nya ^^

  10. Chanyeolㅠㅠㅠㅠㅠ thor kira-kira Chanyeol-Jira ntar bakalan putus gak sih setelah kejadian ini?
    Chanyeol kasiaaannnㅜㅜㅜㅜ

  11. Nahloh itu napa hp si chanyeol bisa disitu. Ka tataaaa bisa banget ngabu abuinnya(?) Konfliknya udah keliatan tapi masih belun jelaaas yaa. Tapi aku ngerasa kayanya disini bakalan Jira yang bakal banyak berkorban (eh iya ga si), dari keluarganya sampe cintanyaa. Keep writing kaaa fightinggg!

    1. Sesuatu telah terjadi :’)
      Iyakah? Aku pikir aku udah sampe di konflik. Hehe
      Duh, maapkan masih amatir bgt soalnya.
      Jira, she’s main character. Semua berpusat padanya. Haha
      Makasih udah baca dan komen sayang, ♡♡♡

  12. Aduuh keren bgt ffnya jadi baper klo baca pas yg bagian chanyeol *tepokjidat ,dia ceria bgt gk rela klo nanti dia pisah sama Jira huhuhu…..semoga happy ending dehh jangan lama2 ya thor chapter selanjutnya, fighting!

    1. Baper (uhuk) baper.
      Yg baca baper, gimana sama yg bikin? /dibuang
      Karakter Yeol emang favoritku disini, hihi
      Well, semua akan indah pada waktunya XD
      Makasih udah baca dan komen :))
      Panggil aja tata, salam kenal!

  13. halo tataaa *maaf manggilnya begitu krn kaya umurnya jauh dibwahku heheheheh
    sebenarnya jira perasaannya ke siapa sih ke sehun apa chan kalo sehun entah knp jd aku gk rela chan terluka *gubraakk kalo milih chan tp kesannya nnti chan cinta sepihak sm jira aaahhh jgn,aku jg blm rela klo chan sm jina krn chan uda cinta mati *alah sm jira aahh pokoknya ending semoga bahagia deh wkwkwk

    1. Holaaa kak. Iya aku emang lagi lucu2nya nih, /dibuang
      Gimana yaa? Jira masih golongan anak labil kak. Suatu waktu bakal banyak hal yg berubah. Haha
      Ockay, makasih udah baca dan komen ;))

  14. Thor-nim kayanya aku sama seperti komen pertama diatas. Maaf baru meninggalkan jejak sekarang. Karena aku akhir tahun kemarin suka sama exo dan baru tertarik untuk baca ff. Jadilah aku hanya mencari dan membaca sampai habis. Dan aku menyukai ff ini! Suka gimana chanyeol masih tetep dengan happy virusnya, suka sama sehun yg dingin kaya dia di atas panggung. Suka sama karakter merekaaaaa. Dan memang bias ku sehun. Dan aku juga mulai melirik chanyeol. Ah atau mungkin sedang menggilainya saat ini hehehe.
    Aku suka jalan ceritanya. Aku suka karakternya. Aku suka semua! Hehe.
    Semangat kuliahnya yaa thor-nim. Kalo lagi bosen sama tugas kuliah seenggaknya dialihkan ke ff ini juga gapapa kokk hahahah /maksa/
    semangat thor-nim! Ditunggu next chaptnyah!

    1. Panggil aja tata :))
      Wah, sayang sekali baru jadi exo-L, gak ngerasain galaunya pas kris, lulu, tao keluar :”’ /digilass
      Makasih udah baca, komen dan suka sama cerita lebay dan gak jelas ini. Haha
      Iya makasih udah nyemangatin 😄😄😄
      Muehehe, iya pasti, karena aku gak cuma repot kuliah, tp jg kerja, tiap setres aku usahain buat nulis lanjutannya. XD
      Ohya, salam kenal ^^

    2. Hehehe baru diracunin sama temen taaa makanyah baru suka hehe. Tapi sekarang juga galau kok. Sedih karena lay jarang keliatan sejak sibuk di cina. Yah walaupun sekarang udah mulai muncul lagih. Tapi tetep khawatir :’
      engga lebay kok ceritanyaaahhhh. Aku sukaak hehe.
      Daebak! Kuliah sambil kerja? Wah wah semangat yaahhhh. Ganuntut banyak dehh. Yg penting lanjut ffnyaaa. Ditunggu kok! Hehehe.
      Ah iyaaah salam kenal juga chinggu-yaaa. Eh atau kamu eonni? Hihi. Aku line 94 btw /gananya/ 😀

    3. Wah. Aku yg harusnya panggil eonni nih. XD
      Aku masih ciwi2 gitu kak. 96L 😀
      Ini kisah pembaperan, haha
      Aku gak ngerti napa bikin beginian. Aslinya aku gak begitu suka sama genrenya, makanya butuh banyak referensi pas ngetik. Hihi #curcol
      Iya aku usahain update tiap minggu, (aamiin)

  15. duuhh kenapa cinta tu musti ribet c,,sebel sebel,,bisakah bahagia tanpa menyakiti hati yg lain,,,,/wlopun ku tau,,slalu ada yg d korbankan tuk dapatkan hal lainya,,tp sampe skrng aku ga suka perasaan itu,,menyedihkan,,dan sakit,, hikssssss!!!
    ***yg smangat Kak Tata,,Fighthing*!!!!

  16. Akhirnyaa yg ditunggu2 dtg juga huhuhu…
    Tataaaa *sok kenal.. terimakasih tlah mmbuatku penasaran sm klanjutan crita ini wkwk dan bkin aku makin suka sm ff 😝😜
    Aku haraap chap slanjutnyaa segera mungkin yaa.. sngat dintunggu sekali.. ssmangaaaaaat ❤❤❤❤

    1. Terimakasih juga udh obrak abrik hati dan pikiran aku krna ff kamu hahaha…
      Aku bakal nodong trs chap slanjutnya 😂😂
      Semangaaaat author keceee!! ❤❤
      Jgn kelamaan yaa hehehe

  17. Halooo maafkan aku baru komen di chapter 3, soalnya baru baca dr awal dlm satu waktu hehe.
    Aku ga sabar sm cerita selanjutnya.
    Jangan terlalu lama update chapter selanjutnya yaa.
    Fighting!

Tinggalkan Balasan ke ulfi Batalkan balasan