[TWOSHOT] MARRIAGE: 14 WEEKS — IRISH’s Tale

Marriage: 14 Weeks  |

|  EXO`s Kai   x  Red Velvet`s Seulgi  |

|   Marriage  x  Slice of Life x Romance   |  Twoshot  |  Teenagers  |

2017 © Little Tale Created by IRISH

standart disclaimer applied

‘ ada yang tidak orang-orang tahu tentang sebuah pernikahan, yaitu apa yang akan dihadapi setelah pernikahan tersebut dijalani ’

Show List:

[PLAYING] Marriage: 14 weeks

♫ ♪ ♫ ♪

In Author’s Eyes…

Banyak orang menganggap remeh sebuah pernikahan. Sebagian besar, menganggapnya sebagai momok yang kerapkali dihindari hingga usia meninggi dan akhirnya menikah jadi suatu keharusan.

Bagi Jongin dan Seulgi, pernikahan adalah sebuah penyatuan janji yang mereka lakukan dengan terlalu terburu-buru. Usia mereka masih sembilan belas tahun, saat mereka putuskan untuk menjadi sepasang suami istri.

Seulgi baru lulus sekolah kala itu, begitu pula dengan Jongin. Masa depan mereka sama-sama belum jelas saat keduanya berdiri di altar, mengucap janji sehidup semati di depan semua orang.

Belum lagi, mereka tidak benar-benar mendapatkan restu dari kedua orang tua masing-masingnya. Bagi orang tua Seulgi, Jongin adalah seorang pemuda urakan yang merenggut kebahagiaan masa remaja putri sulungnya. Dan bagi orang tua Jongin, Seulgi adalah gadis perusak masa depan Jongin.

Tapi mereka sama-sama tidak peduli. Mereka punya cinta untuk dibagi, mereka punya kasih untuk saling melindungi, dan setidaknya… mereka sama-sama bahagia. Sayang, tidak semua orang berpikir kalau mereka bahagia.

“Ini sudah tahun kedua sejak kau dan Seulgi menikah, tapi kalian tidak juga mendapat seorang keturunan. Ibu sudah katakan kalau dia itu bukan wanita baik-baik. Ada yang aneh dengannya. Kalau tidak, mengapa dia tidak kunjung hamil?”

Hari minggu jadi satu-satunya hari yang Jongin luangkan bersama dengan keluarganya, tanpa Seulgi, tentu saja, karena keluarga kecil Jongin tampak enggan menerima kehadiran wanita-nya itu.

“Kami memang belum merencanakannya.” Jongin berucap setelah terdiam beberapa saat.

Alasan klise, tentu saja. Karena sebenarnya dia dan Seulgi sudah sama-sama menginginkan kehadiran seorang bayi juga.

“Nah, lalu untuk apa kalian menikah di usia muda?” pertanyaan berikutnya menohok Jongin. Bukannya dia menyesal karena telah memutuskan untuk menikahi Seulgi daripada masuk ke universitas, tapi dia pikir sekarang dia telah salah berargumen.

“Urusan rumah tanggaku biar aku yang mengurusnya, Bu.” setenang mungkin Jongin berusaha menenangkan kekacauan yang juga dihadapinya.

Sudah berulang kali Seulgi terlambat datang bulan, belasan test-pack juga sudah dibelinya, tapi hasilnya nihil. Jongin beberapa kali harus menahan kesedihan karena melihat Seulgi yang menangis lantaran satu garis tegas yang test-pack pamerkan padanya.

Seulgi tidak bahagia, Jongin tahu itu. Mungkin, Seulgi pikir dirinya tidak sempurna lagi di mata Jongin karena kekurangannya, tapi Jongin tahu, dia hanya perlu bersabar.

“Kau bicara seolah bisa mengurus rumah tanggamu saja. Untuk mencari pekerjaan saja kau sudah kesulitan. Coba saja kau tidak menikah dengan gadis itu, sekarang kau pasti sudah bersiap-siap jadi seorang sarjana.”

Tidak. Bukan itu yang Jongin inginkan. Apa gunanya menjadi sarjana jika Seulgi tidak ada di sisinya?

“Kakakmu temukan satu bangku kosong di universitasnya. Pergilah daftarkan dirimu dan tempuh pendidikan lagi. Ibu dan Ayah yang akan mengurus semua biayanya. Kau bahkan tidak harus susah-susah mengurangi uang yang kau sisihkan untuk memberi makan istrimu.”

Rahang Jongin kini terkatup rapat. Dia ingin marah, tapi berdebat dengan kedua orang tuanya tidak akan membuatnya memenangkan apapun selain pulang dengan kemarahan yang masih tersisa.

“Akan kubicarakan dengan Seulgi dulu.” akhirnya Jongin berucap.

“Bicara padanya? Untuk apa? Dia bahkan tidak memberi bantuan apapun.”

“Dia yang setiap hari ada di sisiku, Bu. Dia adalah separuh hidupku sekarang.” Jongin menegaskan, bahwa tiap tindakan yang diambilnya tidak akan ia lakukan tanpa persetujuan dari Seulgi, wanita sempurna yang begitu dicintainya itu.

“Terserah padamu. Meski dia berkata tidak, kau tetap harus mengikuti ujian itu. Aku dan Ayahmu sudah sama-sama setuju.”

Akhirnya, Jongin menghela nafas panjang. Ia bangkit dari sofa—tempat ia sedari tadi duduk berdampingan dengan ibunya sambil meminum secangkir kopi dan memakan beberapa keping kue kering buatan ibunya seolah mereka masih jadi keluarga seutuhnya—dan tersenyum pada wanita paruh baya itu.

“Aku akan bicara pada Seulgi dulu, Bu.”

Satu kalimat singkat Jongin berikan sebagai akhir dari perdebatannya dengan sang ibu. Sebelum pria Kim itu membungkukkan tubuh dan melangkah pergi.

Berat, tiap langkah yang Jongin untai ketika ia keluar dari kediaman orang tuanya kini lagi-lagi menjadi beban di bahunya.

Pendidikan. Ya, Jongin ingat benar bagaimana kata itu pernah jadi kata paling penting di dalam hidupnya beberapa tahun lalu. Ketika Jongin menjadi seorang murid sekolah yang hanya tahu tentang belajar, dan belajar.

Pertemuannya dengan Seulgi adalah sebuah kebetulan. Lantaran dia mendapati gadis itu menggambarnya di sketch book milik si gadis. Kisah cinta mereka juga diawali dari sebuah kebencian yang berubah menjadi cinta.

Seulgi, adalah si gadis periang yang membawa Jongin keluar dari zona nyaman kehidupannya kala itu. Karena Seulgi, Jongin tahu dunia luar yang selama ini tidak pernah disentuhnya.

Semua perhatian dan kasih sayang yang Seulgi berikan padanya adalah hal yang membuat Jongin dengan yakin mengajukan sebuah lamaran di hari kelulusan mereka.

Keduanya menikah tanpa pernah menyandang status ‘berkencan’ selama masa sekolah.

Singkatnya, mereka saling menyukai, tapi sama-sama enggan menunjukkan perasaan tersebut karena alasan yang sampai detik ini pun tidak Jongin tahu.

Tapi setidaknya mereka bahagia.

Ya, Jongin berusaha menyemangati dirinya sekarang. Kalau dia bahagia bersama dengan Seulgi. Meski sekarang ia berdiri di tengah bus yang penuh sesak dengan orang-orang, meski beban di bahunya karena tuntutan ‘pendidikan’ yang diberikan ibunya tadi adalah hal yang membuat Jongin merasa muak, tapi dia bahagia.

Jongin tahu benar, Seulgi, di rumah kecil mereka, pasti tengah menyiapkan makan malam dengan aroma masakan yang selalu Jongin rindukan. Jongin tahu, ketika dia masuk ke dalam rumah, Seulgi akan menyambutnya dengan sapaan penuh kasih dan sebuah pelukan yang bisa membuat Jongin melepaskan separuh beban di bahunya.

Lantas, kemana perginya separuh beban yang lain? Beban itu terlepas begitu saja ketika Jongin berikan sebuah kecupan di kening Seulgi. Ah… bahkan saat Jongin berdiri di tengah bus seperti ini, rasanya dia sudah bisa membayangkan bagaimana sepasang lengan Seulgi memeluknya dengan erat.

Kadang, Jongin tidak habis pikir, bagaimana bisa keluarganya tidak menyukai Seulgi sementara wanita itu begitu sempurna di mata Jongin?

██║ ♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ ║██

“Aku pulang.”

Jongin berkata saat ia masuk ke dalam rumah. Diam-diam dia menghitung dalam hati, berapa detik yang ia perlukan untuk mendengar vokal Seulgi menyapa?

“Sayang? Kau pulang?” senyum tanpa sadar mengembang di wajah Jongin saat suara Seulgi terdengar, diikuti dengan suara langkah mendekat sementara ia masih berdiri di tempat yang sama.

Dua detik berselang, Seulgi muncul dari balik tembok, dengan celemek membalut tubuh dan sepasang sarung tangan memasak di kedua tangannya.

“Ah, kau pulang tepat waktu, sayang. Aku baru saja selesai memasak.” Seulgi berkata, cepat-cepat ia lepaskan kedua sarung tangannya sementara ia melangkah mendekati Jongin.

Paham dengan apa yang akan istrinya lakukan, Jongin merentangkan kedua tangannya, menyambut sang istri yang kemudian menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.

“Kau terlihat lelah, apa sesuatu terjadi? Apa Ibu bicara sesuatu?” pertanyaan Seulgi terdengar sementara Jongin menenggelamkan wanita itu dalam pelukannya.

Nah, bagaimana bisa Jongin tidak jatuh cinta pada Seulgi sementara wanita itu bisa tahu segalanya tentang Jongin dan pemikirannya meski ia tidak mengatakan apapun?

“Kita bisa bicarakan itu sambil makan,” Jongin berbisik, dikecupnya lembut puncak kepala Seulgi, dihirupnya aroma strawberry yang selalu jadi aroma favorit dari shampoo yang Seulgi gunakan seakan aroma itu menjadi penyemangat Jongin juga.

“Aku sangat merindukanmu.” kalimat berikutnya yang Jongin katakan berhasil membuat Seulgi menyarangkan sebuah tinjuan kecil di dada pria itu.

“Kau selalu mengatakan itu setiap hari, Kim Jongin-ssi.” sindir Seulgi, mengingatkan Jongin kalau tiap hari pria itu selalu mengatakan hal yang sama. Bahwa dia merindukan Seulgi, bahwa dia mencintai Seulgi.

“Tapi aku tidak berbohong.” Jongin berucap.

“Aku tahu, aku juga merindukanmu. Sangat, sangat merindukanmu.” Seulgi terkekeh pelan. Dikecupnya kedua pipi Jongin bergiliran sebelum dia bergerak melepaskan jaket tebal yang Jongin kenakan.

“Mandilah dulu, aku sudah siapkan air hangat. Pakaianmu ada di atas tempat tidur…” Seulgi mulai berceloteh, rentetan kalimat yang sudah sangat Jongin hafal karena hampir tiap hari Seulgi mengatakannya.

“…Bagaimana kau bisa begitu jorok? Membiarkan celana-celanamu ada di gantungan pakaian begitu saja? Aku sudah mencuci semuanya. Dompet, dan beberapa kertas kecil yang ada di sakumu sudah kutaruh di meja rias milikku…”

Lagi-lagi, Jongin hanya bisa tersenyum. Inilah yang begitu disukainya pada Seulgi. Meski Seulgi bisa jadi setara engan burung beo yang terus berceloteh, tapi tiap untaian kalimat yang keluar dari bibir Seulgi sudah jadi sebuah lagu di benak Jongin.

Semua kalimat yang istrinya ucapkan adalah wujud perhatian dan cinta untuk pria itu.

“…Dompetmu juga berantakan, jadi aku sedikit merapikannya. Tidak masalah, kan? Aku tidak membuang selembar pun kertas yang kau simpan, sungguh. Oh, kemeja-kemeja dan kaos yang kau gunakan seminggu kemarin juga sudah aku cuci bersih.” Seulgi menghentikan kalimatnya, diliriknya Jongin dengan sebelah alis terangkat, membuat pria Kim itu menatap tidak mengerti.

“Ada apa? Aku tidak marah karena kau membuka dompetku.” Jongin berkata, mungkin saja Seulgi pikir dia keberatan kalau wanita itu membuka dompet—yang notabene menjadi privasi seseorang—milik Jongin.

“Tidak, aku tahu kau tidak marah. Aku tidak sedang bicara tentang dompet sekarang. Tapi jaket yang kau gunakan tadi. Sudah berapa lama kau memakainya? Kemarikan, biar aku cuci sekalian. Ada jaket blue navy favoritmu di lemari, kenakan jaket itu saja besok.”

Jongin tertawa pelan mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Seulgi. Wanita itu masih sempat memikirkan apa yang Jongin kenakan saat Jongin tahu, seharian ini wanita itu pasti lelah karena mengerjakan semua pekerjaan rumah.

“Kau yang tahu benar tentang apa yang kukenakan dan berapa lama aku mengenakannya, Nyonya Kim.” Jongin menyerah, ia biarkan Seulgi mengambil jaket yang tadi sudah ia sampirkan di gantungan yang ada di dekat pintu masuk.

“Sudah seminggu lebih kau gunakan ini.” Seulgi bergumam, lagi-lagi dipandanginya Jongin yang masih berdiri di tempat yang sama.

“Apa yang kau lakukan? Cepat mandi. Makan malam kita sudah siap, memangnya kau suka memakan makanan yang tidak hangat, huh?”

“Ya, ya. Aku akan segera mandi.” Jongin akhirnya melangkah ke kamarnya, meninggalkan Seulgi yang sibuk berceloteh sendiri lantaran hal-hal kecil yang dianggapnya mengganggu.

Sementara itu, Jongin kini terdiam melihat bagaimana Seulgi telah menata pakaian Jongin dengan rapi di atas tempat tidur. Jongin ingat benar, Seulgi adalah seorang yang sangat berantakan saat mereka sama-sama sekolah, dulu.

Seulgi adalah wujud mini dari kekacauan. Jangankan menyiapkan pakaian seperti yang sekarang dia lakukan, seringkali, dulu Jongin pikir seragam Seulgi tidak disetrika karena kusutnya pakaian gadis itu.

Gadis itu juga tidak bisa memasak, seingat Jongin. Dan di awal pernikahan mereka, Seulgi juga selalu membeli makanan siap saji. Tapi setahun belakangan, Seulgi memasak sendiri semua makanan yang mereka santap.

Apa Jongin yang kurang peduli? Sejak kapan Seulgi bisa memasak? Sejak kapan Seulgi berubah jadi begitu rapi dan pembersih? Mengapa Jongin bahkan baru sadar semua perubahan itu?

Pikirnya, bagaimana seseorang bisa berubah begitu banyak hanya karena pernikahan?

Alih-alih merasa bersalah karena terlambat mengetahui perubahan drastis pada istrinya, Jongin akhirnya memilih untuk membersihkan diri, membuang semua pikiran buruk yang sejak tadi hinggap dalam benaknya.

Soal konversasinya dengan sang ibu, tentu saja.

Sekarang masalahnya, bagaimana dia akan membicarakan hal itu pada Seulgi?

██║ ♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ ║██

“Kau sudah selesai?”

Jongin menoleh, menatap ke arah Seulgi yang berdiri di ujung pintu sementara dirinya tengah menyisir rambut di depan kaca. Tanpa sadar, hati Jongin mencelos. Melihat Seulgi berdiri dengan dandanan yang kacau membuatnya menarik kesimpulan kalau wanita itu belum sempat beristirahat dan mandi.

Sedangkan Jongin bahkan sudah rapi, siap untuk makan malam, menikmati sedikit waktu dengan menonton televisi sementara Seulgi akan membersihkan sisa makan malam mereka. Kemudian Jongin akan mengantuk dan membaringkan diri untuk tidur di kamar sementara Seulgi masih sibuk dengan pekerjaan rumah lainnya.

“Terima kasih, Seulgi-ah.” tanpa sadar Jongin berkata.

Merasa bingung karena ucapan suaminya, Seulgi menyernyit tak mengerti.

“Kenapa tiba-tiba berterima kasih?” tanya Seulgi.

Jongin menggeleng pelan, dan tersenyum. Ia lantas melangkah mendatangi Seulgi dan merengkuh wanita itu ke dalam pelukan.

Hey, Jongin-ah, aku belum mandi.” Seulgi menolak halus pelukan pria itu.

Benar dugaan Jongin, Seulgi belum sempat mandi karena sibuk membereskan semua kekacauan yang Jongin tinggalkan tiap hari.

“Terima kasih karena sudah menjadi pendamping hidupku.” Jongin berucap tulus. Tidak bisa ia utarakan berapa banyak kata terima kasih yang harus ia ucapkan untuk setiap hal indah yang Seulgi tinggalkan dalam benaknya.

Tidak juga Jongin bisa menggambarkan bagaimana rasa cintanya pada Seulgi. Meski ia ucapkan kata ‘aku mencintaimu’ setiap jam, agaknya kuantitas itu tidak cukup untuk mengungkapkan bagaimana berartinya Seulgi bagi pria Kim itu.

Seulgi adalah pelengkap bagi kehidupannya yang dulu kosong. Seulgi selalu berusaha untuk jadi seorang yang baik di mata Jongin, dan ya, meski Seulgi tidak berusaha seperti itu, Jongin akan tetap mencintainya.

Ada yang tidak orang-orang tahu tentang sebuah pernikahan, yaitu apa yang akan dihadapi setelah pernikahan tersebut dijalani. Pernikahan, bukan semata-mata tentang bersenang-senang di ranjang. Bukan juga sekedar tinggal bersama di bawah satu atap dan hidup senang.

Pernikahan itu berat. Bagi wanita, maupun pria.

Bagi Jongin, dia harus berubah jadi seorang yang benar-benar bisa melindungi Seulgi, selalu ada di sisi Seulgi dan mendukungnya, menjadi sandaran apabila wanita itu bersedih, tertawa bersamanya ketika wanita itu bahagia.

Sedangkan bagi Seulgi, dia harus jadi seorang wanita seutuhnya. Dia tak lagi bisa bermain-main seperti yang dulu dilakukannya. Ada Jongin, yang harus dirawatnya tiap hari. Dia tidak lagi bisa memikirkan kesehatannya, tapi juga kesehatan Jongin.

Pernikahan juga tidak semata-mata tentang uang, atau hidup berkecukupan. Dua tahun menjalin sebuah pernikahan tanpa adanya tanda-tanda akan diberi seorang keturunan, adalah sebuah duri yang menancap cukup dalam di bahtera pernikahan yang Jongin dan Seulgi tengah tempuh.

Keduanya sama-sama tersiksa secara batin, namun berusaha saling membahagiakan satu sama lain meski kekurangan itu begitu kentara.

“Ayo, kita makan malam dulu. Kau bilang ada yang ingin kau bicarakan denganku. Aku juga punya hal untuk dibicarakan.” Seulgi akhirnya memecah keheningan. Ia tak bisa membalas ucapan terima kasih yang Jongin ucapkan, tidak juga bisa mengatakan apapun sebagai balasannya.

“Baiklah.” Jongin menurut, keduanya kemudian melangkah ke ruang tengah rumah mereka, dimana sebuah meja makan melingkar dengan empat buah kursi ada di sana.

Mereka duduk berdampingan, dan mulai makan dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya, sama-sama ingin mengutarakan hal penting tapi tidak tahu bagaimana cara memulainya.

Akhirnya, Jongin berdeham setelah meneguk air putih dari gelasnya. Dia harus segera memberitahu Seulgi, karena membohongi Seulgi dan diam-diam mendaftarkan diri ke universitas adalah hal yang diketahuinya akan jadi kekeliruan dan penyesalan di kemudian hari.

“Ibu memintaku untuk kuliah.” Jongin memulai pembicaraan. Well, dia bukan seorang yang pandai berbasa-basi, bicara to the point adalah keahliannya.

Sejenak, aktivitas makan Seulgi terhenti. Ia menghela nafas panjang sebelum akhirnya menatap Jongin.

“Dimana? Di universitas tempat kakakmu—professor itu—bekerja?” tanya Seulgi.

“Ya, ibu katakan kalau ada kursi kosong untukku di sana. Aku belum tahu pasti jurusan apa yang akan kuambil. Tapi terlambat dua tahun mungkin akan membuatku harus belajar dan mengejar ketertinggalanku.” Jongin menuturkan.

“Ah… Jadi, apa yang kau katakan pada ibu?”

Jongin, menatap wanitanya sejenak sebelum dia berucap.

“Kukatakan kalau aku akan membicarakannya dan meminta persetujuanmu dulu.”

Alis Seulgi terangkat sedikit saat mendengarnya. Senyum kecil bahkan terselip di wajah wanita itu saat mendengar kalimat Jongin.

“Tidak masalah, bagiku. Kau sudah pernah mengatakan padaku sebelumnya, kalau kau kesulitan mencari pekerjaan dengan pendidikan sekolah menengah atas saja. Jadi… kau akan tinggal di asrama universitas?” pertanyaan itu membuat Jongin terdiam.

Bagaimana bisa dia meninggalkan Seulgi sendirian di rumah sementara dia harus menempuh pendidikan?

“Tidak—kurasa tidak. Aku tidak mungkin membiarkanmu sendirian. Aku bisa naik bus, mungkin butuh waktu sekitar satu atau dua jam, tapi tidak masalah. Aku—”

“—Aku tidak apa-apa, Jongin-ah. Mengapa begitu mengkhawatirkanku? Kau bisa tinggal di asrama, kudengar di universitas mereka menyediakan makanan yang baik, jadi aku tidak akan khawatir. Di akhir pekan, aku bisa mengunjungimu—ah, apa tidak masalah jika orang-orang tahu kau sudah menikah?

“Sebaiknya aku tidak mengunjungimu. Kalau begitu, kau bisa pulang jika tidak disibukkan dengan tugas kuliah. Bagaimana?”

Jongin terdiam. Mendengar kalimat Seulgi sekarang ia merasa seolah Seulgi mengizinkan sekaligus tidak mengizinkannya. Dan ada apa dengan ucapan wanita itu tentang keadaan Jongin jika orang-orang tahu dia sudah menikah?

“Kenapa? Mereka justru harus tahu kalau aku sudah menikah dan memiliki istri secantik dirimu.” Jongin menegaskan. Ia tidak ingin di kemudian hari ada kecurigaan yang muncul antara dirinya dan Seulgi.

Siapa yang akan tahu kalau orang-orang pikir Jongin masih sendiri, dan lantas ada wanita yang mendekatinya? Dia tidak mau menyakiti Seulgi dengan membuat wanita itu berpikiran tidak-tidak tentangnya.

“Bila perlu, aku akan umumkan pada semua orang kalau aku sudah menikah.”

Seulgi terkekeh pelan. “Jangan, bodoh. Kau akan kesulitan saat kuliah kalau orang-orang tahu kau sudah menikah.” Seulgi berucap, dia pernah dengar cerita dari beberapa teman wanitanya—yang duduk di kursi universitas—tentang bagaimana pandangan mereka tentang mahasiswa yang sudah menikah.

Mereka bahkan kesulitan mendapat teman karena status yang tidak lagi lajang. Bagaimana mungkin Seulgi sanggup membayangkan Jongin akan hidup seperti itu?

“Aku percaya padamu, Jongin-ah. Aku tahu kau tidak ingin aku khawatir padamu, jadi aku juga tidak ingin khawatir padamu. Kau bisa belajar dengan tenang, seperti dulu saat kita ada di sekolah menengah.” Seulgi tersenyum kecil, senyum menenangkan yang mengatakan pada Jongin bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Tidak, tunggu. Jongin ingat Seulgi tidak seperti ini dulu. Seulgi tidak pernah berpikiran sedewasa ini. Apa Jongin harus merasa khawatir pada perubahan Seulgi, atau malah merasa senang?

“Baiklah, kalau begitu aku akan mulai belajar lagi, kau akan menemaniku, bukan?” Jongin bertanya, teringat pada kebiasaan Seulgi yang dulu selalu duduk di sisinya saat ia belajar di perpustakaan, atau malah lebih buruk lagi—tertidur di perpustakaan karena menunggui Jongin belajar.

Well, Seulgi memang mengakui kalau dirinya sangat buruk dalam belajar, tapi bisa membahagiakan orang lain dengan baik. Dan Jongin percaya itu. Buktinya, meski Seulgi dianggap ‘bodoh’ oleh semua orang, Jongin tetap mencintainya.

Seulgi terlampau membuatnya bahagia.

“Tentu saja. Aku akan siapkan buah untukmu tiap kali kau belajar. Buah-buahan baik untuk tubuh, dan tidak akan membuatmu mengantuk. Jadi—”

Ucapan Seulgi terhenti kala Jongin mendaratkan sebuah ciuman di bibirnya. Wanita itu mengerjap terkejut—Jongin melakukannya dengan begitu tiba-tiba.

“Terima kasih, Seulgi-ah.”

Lagi-lagi, Jongin ucapkan satu terima kasih untuk ratusan alasan yang membuatnya semakin mencintai Seulgi.

██║ ♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ ║██

“Jongin-ah…”

“Hmm?”

Jongin menyahuti pelan gumaman Seulgi. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, dan Jongin masih sibuk dengan tumpukan buku di meja—ingatkan Jongin kalau dia sudah menjadikan meja rias Seulgi sebagai meja belajar sekarang—dan tiba-tiba saja Seulgi terbangun.

Strawberry,” Seulgi bergumam lagi.

“Apa?” Jongin menoleh, menatap bingung wanitanya yang sekarang bangun dari tidurnya, duduk dan menatap Jongin dengan kedua mata hampir tertutup karena mengantuk.

“Ambilkan aku susu strawberry yang ada di kulkas.” pinta Seulgi.

“Kenapa tiba-tiba?” Jongin bertanya tidak mengerti, tapi toh dia berdiri juga, berpikir jika istrinya tengah kehausan di tengah malam, atau malah lapar, karena memilih susu sebagai minumannya.

Pria itu melangkah keluar dari kamar, mengambil botol kecil berisi susu strawberry yang tiap pagi selalu Seulgi tuangkan ke dalam gelas milik Jongin, dan melangkah lagi ke dalam kamar.

“Ini, apa kau lapar? Kupikir kau tidak pernah suka susu—” ucapan Jongin terhenti saat dilihatnya Seulgi sudah berbaring tidur. Dengkur halus bahkan terdengar dengan jelas di telinga Jongin sekarang.

“Ada apa dengannya…” Jongin menggumam, pikirnya Seulgi tadi mungkin hanya setengah tertidur, sampai-sampai sempat terbangun dan meminta hal aneh padanya.

Jongin akhirnya meletakkan botol susu itu di meja yang ada di dekat tempat tidur, sebelum dia melangkah ke meja belajarnya dan lagi-lagi menenggelamkan diri dalam barisan kata.

“Jongin-ah…” lagi-lagi suara Seulgi terdengar.

“Ya, Seulgi-ah?” Jongin menyahuti.

“Matikan lampunya,”

Jongin berbalik, dipandanginya Seulgi yang menatapnya dengan sepasang mata mengantuk, meski wanita itu masih berbaring di tempat yang sama, Jongin tentu tahu Seulgi tengah memandangnya.

“Aku sedang belajar,” Jongin berkata, “Dan juga, aku sudah ambilkan susu strawberry, minumlah sebelum kau terbangun karena haus lagi.” sambungnya.

“Aku tidak suka susu.” Seulgi menyernyit.

Nah, sekarang Jongin pikir dirinya sudah gila. Apa tadi Seulgi tiba-tiba saja kesurupan atau semacamnya?

“Tidak bisakah kau pakai lampu meja riasku saja? Aku tidak bisa tidur karena lampunya menyala.” Seulgi bicara setengah merengek.

Duh, kalau Seulgi sudah merengek begini, mana bisa Jongin bertahan dengan argumennya? Meski dia tahu, Seulgi biasanya merasa lebih aman jika tidur dengan lampu menyala—takut jika tiba-tiba ada hantu kalau kamar mereka gelap, alasannya—tapi mau bagaimana lagi, Jongin paling pantang menolak keinginan wanitanya.

Setelah menghela nafas cukup panjang, Jongin akhirnya menyerah.

“Baiklah,” ia berkata, berdiri dari tempat duduknya dan mematikan lampu utama kamar mereka, menyisakan cahaya remang yang entah bagaimana membuat Seulgi bisa tertidur dengan tenang.

Sedangkan Jongin sendiri tahu, memaksakan netranya untuk belajar di tengah pencahayaan minim seperti ini hanya akan jadi sebuah siksaan.

Mungkin, Jongin harus belajar di tempat lain supaya tidak mengganggu Seulgi.

Kesimpulan itu Jongin ambil pada akhirnya. Pelan-pelan, ia bereskan tumpukan buku di atas meja, berniat untuk pindah ke ruang tamu untuk belajar saat lagi-lagi didengarnya pergerakan Seulgi di tempat tidur.

“Jongin-ah…”

“Ya?” lekas Jongin menyahut. Sekarang, apa lagi yang akan diminta Seulgi? Menyalakan lampu? Susu strawberry lagi? Atau apa?

“Duduklah dan belajar di sini,” Seulgi menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya.

“Apa?” Jongin berucap tak mengerti.

“Aku tidak suka tidur sendirian…” Seulgi menggumam.

Jongin bisa saja mengira kalau Seulgi sedang setengah tidur saat mengucapkannya, tapi netra Seulgi jelas terbuka, dan menatap ke arahnya—yang sedang bersiap-siap untuk pindah tempat.

“Terlalu gelap, Seulgi-ah. Aku tidak akan bisa membaca dengan jelas.” Jongin beralasan. Sungguh, dia tidak mau merusak mata hanya karena menuruti keinginan Seulgi satu ini.

“Kalau begitu nyalakan saja lampunya.”

Jongin baru saja akan membuka mulut dan mengajukan protes tentang bagaimana tadi Seulgi meminta dirinya untuk mematikan lampu, dan sekarang wanita itu memintanya untuk menyalakan lampu?

“Baiklah,” lagi-lagi Jongin mengalah.

Entah mengapa, berdebat dengan Seulgi disadarinya tidak akan berujung baik. Pertama, Seulgi kelewat sensitif, dan kalau dia kalah berdebat dengan Jongin, dia akan menangis. Kedua, Jongin bukan pria tidak dewasa yang hobi berdebat dengan wanita. Ketiga, Seulgi sedang bersikap aneh, jadi daripada memancing sebuah perdebatan, lebih baik dituruti saja keinginannya.

Akhirnya, Jongin menyalakan lampu yang beberapa sekon lalu dimatikannya. Dibawanya dua buah buku ke tempat tidur, tanpa komentar apapun dia duduk di sebelah Seulgi yang berbaring dan mengawasi.

“Sudah, aku akan belajar di sini. Jadi kau tidurlah lagi.” Jongin berucap.

“Hmm,” Seulgi mengangguk, tersenyum kecil sementara tangannya bergerak mengelus lengan Jongin yang berada di dekatnya.

Jongin tidak bisa berbohong, meski dia merasa sedikit kesal karena sikap Seulgi, tapi melihat senyum wanita itu, dan bagaimana sekarang wanita itu menyentuhnya dengan penuh kasih, entah kenapa justru membuat pria itu tersenyum.

Akhirnya, Jongin kembali belajar, menghafalkan barisan-barisan kata yang bertahun-tahun dilupakannya karena sibuk membangun rumah tangga bersama Seulgi, sementara dengkur halus Seulgi jadi nada yang menemaninya.

Beberapa menit berselang, dengkuran Seulgi tidak lagi terdengar. Membuat Jongin tanpa sadar jadi was-was, jangan-jangan setelah ini Seulgi akan—

“Jongin-ah…”

—memanggilnya lagi.

“Ya… Seulgi-ah…” Jongin menggumam sebagai jawaban.

Pikirannya sekarang sibuk berkecamuk, apa lagi yang akan keluar dari bibir Seulgi?

“Mulai besok kau yang memasak sarapan.”

“Apa?” Jongin berjengit terkejut, dipandanginya Seulgi—yang tidur menghadapnya tapi bicara dengan kedua mata terpejam.

“Kau yang masak sarapan, Jongin-ah… Aku terus-terusan merasa mual beberapa hari ini. Jadi aku akan bangun siang untuk beberapa hari.” Seulgi berkata pelan, meski Jongin pikir kalimat ini adalah bagian dari tingkah aneh Seulgi yang sejak tadi terbangun-tertidur dan bicara aneh, tapi kali ini Jongin merasa terkejut.

“Tapi, kenapa? Apa kau sakit?” tanyanya khawatir, siapa tahu kalau Seulgi sakit tanpa memberitahunya.

“Aku hamil,” jawab Seulgi, masih dengan mata terpejam.

Kali ini, Jongin benar-benar terkejut. Dipandanginya Seulgi yang masih terpejam, sementara dadanya bergemuruh. Apa Seulgi sedang bicara aneh lagi?

“Kau hamil?” ulang Jongin, memastikan kalau dia tidak salah dengar.

“Hmm.” hanya gumaman yang Jongin dapatkan sebagai jawaban.

“Seulgi? Seulgi-ah? Kau benar-benar hamil? Sejak kapan—maksudku, kenapa kau tidak memberitahuku? Kau hamil?” kembali, Jongin menguji pendengarannya.

Ia tidak ingin esok hari Seulgi berkata kalau semalam dia hanya bicara sembarangan seperti yang beberapa waktu lalu pernah terjadi—saat di tengah malam Seulgi tiba-tiba terbangun dan meminta cerai pada Jongin, hal yang membuat Jongin berpikir dia mungkin bisa terkena serangan jantung saat itu.

Kali ini, Jongin rasanya seolah akan mendapatkan serangan jantung sungguhan.

“Hmm. Hamil empat belas minggu, kata dokter. Bagaimana bisa kau tidak tahu kalau aku hamil?”

Nah, kenapa sekarang Seulgi menyalahkan Jongin?

“Aku? Kenapa aku? Bukankah seharusnya kau yang memberitahuku? Dan juga, mengapa memberitahuku sekarang? Hey, Seulgi-ah. Bangunlah.” Jongin mengguncang pelan tubuh Seulgi, berniat membangunkan wanita itu untuk memastikan soal perkataannya.

 “Aku mengantuk, Kim Jongin! Kita bicara besok pagi.”

Kalau benar Seulgi hamil, kenapa dia baru mengatakannya sekarang? Apa jangan-jangan, perkataan Seulgi sekarang sama seperti waktu itu saat dia tiba-tiba terbangun dan meminta cerai?

Tapi tunggu dulu, kalau Seulgi benar-benar hamil, bagaimana bisa dia mengatakannya dalam situasi seperti ini? Setahu Jongin, dimana-mana sang istri akan menceritakan tentang kehamilannya dengan cara yang dramatis, jadi dia dan suaminya bisa sama-sama tertawa bahagia.

Sikap Seulgi sekarang justru lebih aneh lagi.

Bagaimana bisa dia mengatakan kalau dia hamil, dalam keadaan setengah tertidur?

♫ ♪ ♫ ♪

♫ ♪ ♫ ♪

♫ ♪ ♫ ♪

IRISH’s Fingernotes:

Mianek buat semua typo yang mungkin ada… ngetiknya sambil setengah merem karena ngantuk, huhu. Ini twoshot btw, besok malem atunya menyusul, LOLOLOL. Niatnya semua adegan yang ada di otak mau dituangin di bagian pertama tapi ini mata udah enggak sanggup buat melek T.T

Huhu, ini rikues Al btw, gatau kenapa seminggu ini dia semacem emak-emak ngidam, kepengen epep KaiSeul yang Seulginya hamil, gitu. Anggep aja sebagai bidan yang baik ane masukin cerita kecil rumah tangga yang unyu ke dalem cerita ini.

Yaamsyong ini mata ngantuk tapi ngetik fingernotes masih semangat aja, WKWK. YA LORD BEBERAPA MENIT LAGI SENIN! KUSEDIH!

Selamat hari senin btw :”)

[    IRISH SHOW    ]

22 tanggapan untuk “[TWOSHOT] MARRIAGE: 14 WEEKS — IRISH’s Tale”

  1. Huwaaaaa daebak seulgi hamil…semoga itu bisa jadi berita bahagia biar mertua nya gk mandang dy negatif trs kasia deh unnie seulgi selamat jongin.keren thorrr ff nya.izin lanjut baca ya…

  2. AWW PACARAN HALAL ALA SEULKAI :””””)))
    Duh kopel kaporit ini..daku berpikir kenapa tumben amat kak irish bikin seulkai bukan kaistal ternyata ada yg rikues toh…..wkwkwkwkwkwkkk :v

    1. Mbb ya sayangs :* BUAKAKAKAKAKAKA PACARAN HALAL, INI HARUSNYA DICERITAIN MEREKA TAARUF GITU KAN MAKIN GREGET YA XD

  3. OMG!! KaiSeul tp aku lbih suka nyebutnya SeulKai, udah kebiasaan. Finally, bisa baca ff SeulKai by Irish. Udah lama banget ngidam baca ff SeulKai ciptaan Irish. Mereka nge-gemesin plus sweet banget dsini, bikin aku kena diabetes akut.

  4. Jarang baca fiksinya KaiSeul, tapi entah kenapa ini bikin gemes sendiri HUHU Seulginya manis banget disini kak XD senyum2 sendiri liat interaksinya mereka berdua. Duh nikah muda ya yaampun. Suka sama deskripsinya yang ringan tapi tetep kerasa detail~
    Oiya aku sudah berkenalan sama kak irish belom ya. Baru beberapa kali sih menyambangi fiksinya karish, pat disini, 99liners. Salam kenal senpai~

    1. Mbb ya sayangs :* alhamdulillah kalo ada yang demen sama kopel ini XD wkwkwkwkkarena orang2 keknya cinta KaiStal (termasuk aku sih ya) wkwkwkwkwkwk XD haloooo ~ salken yah ~ adek baru inihh wkwkwk

  5. Trnyt 14days’ny usia hml muda’ny 😅 kirain krn nkh muda jd umur pernikahan’ny cm 14hr 😂 as always karya irish pasti bgs. Couple muda ni dewasa bgt, kai sbg anak bs kontrol emosi dg baik ngadepin ortu yg ngeselin. Sbg suami pngertian & perhatian ke istri. Seulgi jg penuh perhatian ke suami, bnyk perubahan positif dr sblm nkh sm stlh jd istri ☺
    Udah feeling sih yg mo seulgi omongin tu klo dy gi hml. Trus gmn ntar kai kuliah tinggal di dorm? Ga mgkn dy tega ninggalin istri yg sngt dy cintain (lg hml pula) u/ tinggal sndirian kan?! Bgs sih mrk stlh nkh lngsng tinggal bdua (ga sm mertua), cz pasti bkl bnyk konflik n intrik klasik dg campur tngn ortu yg ga rela anak’ny nkh dg plhn yg mrk ga restuin. Si professor kk’ny jongin sp tuh, jongdae kah? Klo so2k kai sgini perhatian n cinta’ny sih yg kbayang jd istri’ny krystal fx 😄 ㅋㅋㅋㅋㅋ

    1. Kak plis XD jauh bedanya 14 minggu sama 14 hari itu XD kek hanimun dong kalo 14 hari XD wkwkwkwkwkwk aduh sebenernya diriku udah lupa2 inget ini cerita XD efek ngetiknya ngebut T.T

Pip~ Pip~ Pip~