Pathetic

csm

 

Tittle : Pathetic

Author : chabaronim

Length : Ficlet

Genre : Angst, Kekerasan

Rating : PG 15

Main Cast : Kim Haeyon (OC), Kim Joonmyun, Kim Jongin, Xi Lu Han, Choi Jun Hee (OC)

 

a/n: ahhh~~~ baru sempet ngepost /sigh. mian ne~~ okay then~~~

 

RCL yaaaawwwsss~

 

ENJOY IT~~~

“Akkhhh!!!!” Pekik seorang wanita paruh baya dari dalam rumah mewah.

Seorang gadis yang menangkap suara itu mempercepat langkahnya. Ia berlari seperti cheetah yang menemukan buruannya. Ia benci suara ini. Ia benci.

Blam.

Pintu terbuka lebar, menampakkan nafas gadis itu yang tersenggal senggal. Gadis itu melemparkan tas punggungnya ke sembarang tempat kemudian ia berlari menuju suara itu berasal.

Pyar.

Sebuah guci antik mendarat di salah satu bagian wanita paruh baya itu. Darah segar mengalir melalui tempurung kepalanya. Gadis itu menutup mulutnya tak percaya. Air mata mengalir begitu saja dari ekor matanya.

“Brengsek! Kau apakan eommaku?! Urusi urusanmu sendiri! Untuk apa kau kembali HAH?!” Gadis itu mendorong orang itu dan memeriksa bagian kepala eommanya. Ia mulai terisak dan mengerang menyebut nama ibunya.

Plak.

Sebuah tamparan, mulus mendarat di pipinya. Gadis itu menatap tajam pria paruh baya di hadapannya dan meraung geram.

Gadis itu mengambil stick golf di dekatnya, kemudian ia bangkit berdiri dan memukulkannya tepat seperti apa yang baru saja dilakukan pria paruh baya itu tadi.

Brak.

Pria itu tersungkur di samping istrinya dengan darah yang sama mengalirnya di bagian tengkorak kepalanya.

Gadis itu melemparkan stick golfnya dan berlutut. Ia menyentuh darah segar yang tak berhenti mengalir di lantai marmer rumahnya. Air mata kembali mengaliri pipinya.

“Eomma~ Haeyon~ oppa pulang.” Pekik seorang pria yang baru saja muncul dari pintu yang sama.

Ia menangkap suara isakan tangis tak jauh dari sana. Matanya membulat sempurna melihat apa yang ada di hadapannya. Wajahnya memucat, pandangannya kabur, semuanya terlihat ganda di matanya. Seperti sebuah efek cellophane, ia tak dapat berjalan lurus. Ia berusaha mengalahkan phobianya untuk mendekati dan mendekap adiknya seperti yang biasa ia lakukan.

Ia berhasil, ia melangkahi sosok eommanya yang terkapar tak bernyawa. Ia mendekap adiknya menenangkan, gadis kecilnya yang terisak menangis dalam keterpurukan.

“gwaenchana, apa yang kau lakukan benar. Kita pindah sekarang.” Lirih pria itu sambil menutup matanya, mencoba menormalkan deru nafasnya yang memburu karna phobianya.

***

“Joonmyun oppa! Aku pulang!” Gadis itu membuka kenop pintu apartemen kecilnya dengan senyuman yang tergambar jelas di wajahnya.

Dor.

“OPPA!!!” Pekik gadis itu setelah melihat pria berpakaian serba hitam melompat dari atas jendela apartemennya. Tak peduli apapun di pikirannya tentang pencuri atau siapapun orang tadi, ia langsung berlari menuju kamar kakak lelakinya.

Blak.

Pintu kayu kamar itu  terbuka. Seseorang dengan wajah malaikat tengah tertidur dengan pulasnya. Tertidur, bukan untuk sementara, tapi untuk selamanya. Selotip hitam membekap bibirnya dan tangannya yang terikat di belakang. Ia terkapar miring di ranjangnya dengan mata tertutup dan keringat yang masih berbekas. Sungguh sangat nampak bahwa ia sehabis disekap. Bukan hanya itu, peluru berhasil menembus jantungnya tanpa hambatan hingga berhasil mengukir lubang di bagian ranjangnya. Gadis itu menutup mulutnya dengan jemarinya. Ia tak tau harus berbuat apa, ia terlalu kalut. Ia mendekati kakak lelakinya itu dan menarik selotip itu perlahan. Bibir kakak lelakinya sudah mulai membiru tanda akan jantungnya yang berhenti memompa dan mengedarkan darahnya.

Gadis itu bingung. Ia menutup pintu kamar kakak lelakinya itu dan menguncinya dengan double lock kemudian ia segera membereskan barang barangnya dan keluar dari apartemennya. Ia lari, kabur dari masalahnya. Ia tak peduli apa yang akan terjadi kemarin atau besok. Hari ini adalah hari ini, ia tak akan tau bahwa masih ada atau tidaknya waktu di hari esok.

***

Tok.Tok.Tok.

“Jun Hee, bolehkah aku tinggal di rumahmu untuk sementara, hingga aku menerima hasil akhir sekolahku?” Beruntung gadis itu adalah murid beasiswa abadi di sekolahnya dan memiliki sahabat karib sebaik Choi Jun Hee.

“Tentu saja, aku akan dengan senang hati menerimamu.” Ucap Jun Hee dengan tersenyum. Senyumannya sungguh menenangkan, membuatnya mengingat sosok kakak lelakinya yang baru saja ia tinggalkan, ia tau, raga kakaknya itu hanya sementara dan akan membusuk seiring berjalannya waktu. Tapi ia tak peduli, ia tau kakaknya disana akan baik baik saja walau raganya secara nyata telah terbuang.

***

“Ngomong ngomong, untuk apa kau ingin tinggal di rumahku? Bukankah ada kakak lelakimu itu?” Tanya JunHee hati hati.

“Kakakku baru saja mati tertembak dan aku tak peduli.” Pandangan gadis itu mulai kosong. Jun Hee menutup mulutnya tak percaya.

“Mianhae…” lirih JunHee.

“haha. Aku tak butuh belas kasihan.” Gadis itu tertawa, ia meratapi nasibnya. Ia tertawa pahit. Ia tau ia rapuh, tapi ia munafik. Ia butuh semuanya, kasih sayang, cinta dan sekarang ia butuh belas kasihan akan takdirnya. Semua itu ia dapat dari sosok kakak lelakinya, tapi semuanya hilang hanya karena secuil timah panas yang menembus jantung kakak lelakinya.

“Kau masih punya aku dan Kai.” Lirih JunHee lagi.

“Aku tahu itu. Aku akan meninggalkannya esok. Aku tak butuh siapa siapa lagi, hanya kau. Itu sudah cukup.” Gadis itu tersenyum memaksakan aura gembiranya, tapi itu hanya sebuah paksaan. Di matanya hanya ada guratan kesedihan. Guratan kekecewaan mendalam dari sosoknya. Gadis itu penipu. Penipu dirinya sendiri.

***

“Kau melihat Kkamjong?”

“Kau melihat Jongin?”

“Kau melihat Kai?”

Tanya gadis itu pada sekian banyak murid yang berada di sepanjang koridor sekolahnya dan hanya di balas dengan gelengan takut takut dari mereka. Mereka tau semua yang terjadi pada gadis itu dan seperti tidak ingin menyakiti lebih dalam gadis itu akan jawaban mereka.

“Luhan! Kau melihat Kai?” tanyanya pada Luhan, orang terakhir yang berdiri di penghujung lorong itu.

“An-Aniyeo.” Luhan menggeleng gelengkan kepalanya takut.

“Aku tau. Kau berbohong! Katakan padaku. Aku tak tega menyakitimu karna kau adalah kekasih Jun Hee, tapi kau tau sendiri apa yang akan kulakukan jika kau berbohong.” Gadis itu mengangkat kepalan tangannya di hadapan Luhan dan Luhan meneguk ludahnya.

“a-arraseo, akan ku antar.” Jawab Luhan terbatah.

“Itu mereka.” Gadis itu membulatkan matanya tak percaya akan apa yang dilihatnya. Kai dengan ganasnya melumat bibir seorang Jung Soo Jung idola sekolah yang selama ini ia sebut sebut sebagai tipe idealnya di depan gadis itu.

Gadis itu menghampiri kedua orang itu, seperti kedua orang terdakwa pelaku kriminalitas.

Bruk.

Gadis itu mendorong Kai dengan sekian banyak tenaganya.

Plak.

Tamparan gadis itu mendarat sempurna dan membekas di pipi Kai.

“Brengsek! Semua lelaki sama saja! Cuh.” Gadis itu membuang ludahnya tepat di wajah Kai. Soojung yang melihatnya hanya menatap ironi Kai dan melirik tajam gadis itu dengan ekor matanya.

“Kajja Luhan, kita pergi” Luhan yang membeku karna melihat kejadian itu akhirnya tersadar dan mengikuti langkah gadis itu.

***

Grep.

Gadis itu tertarik ke sebuah dekapan nyaman seseorang.

“Tidak ada yang bisa kau pikirkan. Tidak ada yang peduli. Menangislah.” Hanya suara itu yang bisa ditangkap sosok gadis itu. Suara Luhan.

Air mata mulai membasahi almamater Luhan. Gadis itu mengerang dan meraung seperti hanya ia satu satunya yang hidup di dunia itu. Pathetic. Menyedihkan. Itu kata kata yang pantas untuknya.

“Ini saat yang aku tunggu, saat dimana kau memang ditakdirkan untukku, selama ini tujuanku mendekati Jun Hee hanya untuk bisa dekat denganmu. Saranghae Kim Haeyon.” Ujar Luhan tiba tiba.

“Lu…” Gadis itu menangkap suara lirih di dekatnya. Ia melepas paksa dekapan erat Luhan membulatkan matanya seketika. Choi Jun Hee, sedari tadi ia berdiri di sana. Jun Hee berlari tanpa arah.

“Jun Hee! Aniyeo! Aku bisa jelaskan!” Pekik gadis itu sembari mengejar Jun Hee. Jun Hee berlari dengan menyeka air matanya. Pandangan Jun Hee kabur, semuanya terlihat blur di matanya. Air mata Jun Hee menggenang sempurna menutupi pupilnya.

“Jun Hee!!! AWAS!!!!!!”

Brak.

Badan Jun Hee menggelinding mengikuti alur aspal. Sebuah skuter yang baru saja menabraknya, pergi begitu saja.

***

“Uisa-nim! Eotthokkaeyo?” Ujar gadis itu khawatir.

“Mianhae, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi, diduga kakinya terlindas roda skuter yang menabraknya. Sehingga, kami tak yakin kedua kaki itu dapat berfungsi lagi dengan baik. Dan beberapa kali bagian tenggorokannya terbentur benda keras dan itu membuat pita suaranya rusak yang membuat Nona Choi Jun Hee bisu permanen. Tapi jika sebelum 24 jam dia siuman, ia sudah melalui masa kritisnya.” Dokter itu tersenyum ramah pada gadis itu kemudian menepuk nepuk belikat gadis itu untuk menenangkannya karna matanya yang mulai memerah menahan air mata.

“Kau bisa temui dia.” Sambung dokter itu.

***

“Mianhae Jun Hee, Mianhae…” Lirih gadis itu. Ia menggenggam erat tangan Jun Hee berkali kali.

Berjam jam ia menunggu Jun Hee siuman, tapi hingga sekarang mata Jun Hee tak kunjung terbuka.

“Mungkin ini saatnya.” Lirih gadis itu. Ini saatnya, saatnya bagi gadis itu lari dari masalah untuk yang terakhir kalinya. Kali ini ia benar benar harus kabur. Ia terlalu banyak menghancurkan apa yang ia sayang dan tak ingin daftar nama itu semakin bertambah.

Matanya menangkap sebuah vas rumah sakit yang terpajang indah di samping ruangan.

Pyar.

Mata Jun Hee terkejap kaget akan apa yang ia dengarkan, ia siuman. Jun Hee melihat gadis itu meraih pecahan keramik terbesar dan mendekatkannya pada jaringan arterinya.

Sret.

Darah memuncrat dari pembuluh nadi terdalam gadis itu. Ia sama sekali tak menjerit karna ia tau, rasa sakitnya akan mengakhiri penderitaan orang yang di sayanginya.

Jun Hee membulatkan matanya. Ia mencoba bangkit dari tempatnya, tapi ia tak bisa. Ia mencoba meronta dan berteriak, tapi hanya dengungan yang ia dengan di telinganya sendiri.

Gadis itu limbung dengan tersenyum. Ini adalah akhir dari masalahnya. Ini adalah akhir.

***

Dan disinilah aku, di atas kursi roda berkarat tak berdaya.  Lumpuh, bisu, tak berguna. semua orang membenciku, akupun begitu. Kuraih vas bunga di dekatku

Pyar.

Vas itu, ia cacat, ia sudah tak berguna, sama sepertiku.

Karnanya, bunga di dalamnya akan mati.

Bagian tubuhnya telah hancur dan tak akan adalagi yang memungut.

Sret.

Berhasil. Dengan cara yang sama aku menyayat nadiku. Aku pantas untuk ini.

Aku hancur dan takkan pernah ada siapapun yang memungutku.

-THE END-

a/n: thanks udah baca~ jangan bosen bosen sama author ini ne~

15 tanggapan untuk “Pathetic”

Pip~ Pip~ Pip~