If I Could See You Again

Author : Pingkan Anjar
Genre : Piece of life
Rating : Teenage
Lenght : Drabble
Cast :
– Park Soo Ji
– Xi Luhan
Songs : Kiss the Rain (Yiruma) dan White Love Story (As One)

Anyyeong haseyo chingudeul, ini FF pertamaku di blog ini, ditulis pas lagi galau, jadi mungkin jadinya malah kayak curhatan. FF pendek ini (drabble ne’e) juga pernah dipost di blog author yang lama terbengkelai –” RCL ne? Gamshahamnida… *bow 90’

 

 

Di bawah payung hitam besar miliknya namja itu menerobos jalanan yang berangsur sepi karena rintik-rintik air hujan masih mengguyur kota Seoul sore itu. Langkah ringan sepatunya menciptakan percikan air tatkala bertemu dengan genangan air di jalan. Xi Luhan -nama namja itu- berjalan menepi di trotoar jembatan Banpo, dimana di sebelah kanan kirinya mengalir sungai Han.

Pandangan matanya menyisir sepanjang tepian sungai Han itu dan kemudian berhenti ketika matanya menangkap ada seorang yeoja duduk di bangku panjang yang terletak tepat di tepi sungai. Dahi Luhan mengernyit. Beberapa pertanyaan timbul di benaknya, untuk apa yeoja itu justru membiarkan tubuhnya basah di bawah hujan begini?

Rasa penasaran membawa langkah Luhan untuk mendekati yeoja itu, yang hanya memakai kaos lengan panjang berwarna merah tua dan celana jeans hitam. Luhan berdiri di belakang yeoja itu dengan gelisah, merasa ragu untuk menyapa. Namun tangannya yang memegang payung bergerak ke depan dan memayungi yeoja itu.

Yeoja itu sedikit tersentak dan menengadahkan kepalanya. Kedua matanya mengerjap mendapati namja asing di belakangnya.

“Chogi, agasshi. Kenapa kau berada disini dan hujan-hujanan?” tanya Luhan, yang sebelumnya mencoba menyaring kata-katanya agar tidak terkesan terlalu ingin tahu dan mencurigakan.

Yeoja itu tidak langsung menjawab. Dia masih menatap heran ke arah Luhan dan payungnya. “Aku sedang….berpikir,” sahutnya sambil menyeka buliran air di dekat alisnya dengan sedikit canggung, tidak menduga ada orang asing yang datang dan mengganggu acara merenungnya.

Luhan kembali mengernyitkan dahinya mendengar jawaban aneh yeoja di depannya itu. Kemudian dia berjalan memutar dan duduk di samping yeoja itu, sambil terus memayunginya.

“Mianhae jika aku bersikap sok akrab, tapi kau sudah sangat basah, bagaimana jika nanti sakit?” tanya Luhan hati-hati, lagi-lagi tidak ingin dianggap terlalu sok. Pasalnya biasanya dia tidak terlalu peduli pada hal-hal yang bukan urusannya. Tapi yeoja ini perlahan membuatnya penasaran dan mungkin juga membuatnya merasa kasihan.

“Tidak apa-apa,” ujar yeoja itu, mencoba tersenyum ramah. Dia melirik sekilas ke school identity name tag di seragam sekolah Luhan: SMA Kyunghee. Paling tidak itu memberi sedikit informasi kalau namja di sebelahnya ini masih sebaya dengannya, seorang pelajar sekolah, dan bukan penjahat atau bahkan penculik.

Luhan mengangguk. Dia merasa kakinya dingin. Terang saja, air hujan yang jatuh di bangku itu membuat celananya basah.

“Kau juga basah,” ujar yeoja itu.

“Tidak apa-apa,” jawab Luhan, menirukan jawaban yeoja itu. Keduanya tertawa kecil.

Derai hujan mengetuk pelan payung hitam itu. Luhan mencuri pandang ke arah yeoja itu, yang kini tengah menatap lurus ke arah sungai Han.

“Kenapa kau berpikir disini?”

Yeoja itu menoleh. “Sebenarnya aku sedang membuang ingatan,”

“Maksudmu?”

“Ada beberapa hal tentang seseorang yang ingin aku lupakan. Jadi, jika aku duduk disini mungkin hujan akan membantuku menghapus hal-hal yang tidak boleh aku ingat-ingat lagi,” jawab yeoja itu jujur.

Luhan mengangkat sebelah alisnya lantas tersenyum samar, lagi-lagi yeoja ini memberikan jawaban yang ajaib. Dan anehnya jawaban-jawaban yeoja itu semakin mengundang rasa penasarannya. “Memangnya kenapa harus dilupakan?”

Yeoja itu memangku dagunya, sedikit merasa aneh dengan sikap Luhan yang menurutnya seperti seorang wartawan. Tapi dia sama sekali tidak keberatan untuk menjawab. “Tahu kan, terkadang kita harus meninggalkan hal-hal yang bisa membuat semakin kita terpuruk,”

“Kau benar,” ujar Luhan sambil sedikit menggeser payungnya ke arah yeoja itu agar tidak kehujanan. Meski ia tahu hal itu percuma, karena yeoja itu telah benar-benar basah kuyup.

“Gamshahamnida,” ucap yeoja itu, Luhan hanya mengangguk.

“Chogi, bolehkah aku bertanya?” tanya yeoja itu, sementara Luhan mengangguk. “Apa kau pernah berbuat baik dan peduli kepada seseorang, tetapi orang itu tidak pernah baik kepadamu?”

Luhan memutar bola matanya seperti orang yang sedang mengingat-ingat. “Pernah,” jawabnya pelan. “Waeyo?”

“Apa yang kau rasakan?” tanya yeoja itu hati-hati, sama seperti Luhan, dia juga tidak ingin dianggap sok kenal.

Luhan menatap wajah dan mata bening yeoja itu. Mencoba menebak apakah yeoja itu sedang sedih atau tidak. Karena menurutnya yeoja yang sedang sedih biasanya akan melakukan hal yan aneh, seperti melontarkan pertanyaan yang juga aneh.

“Kecewa, sedih, dan sedikit marah. Tetapi meskipun aku marah aku tidak bisa membenci orang itu, karena aku sudah terlanjur peduli tentangnya. Yah, tidak ada yang salah dalam kita menunjukkan kepedulian kepada seseorang, yang salah adalah mengharapkan mereka melakukan hal yang sama,” jawab Luhan panjang lebar. Sedetik kemudian Luhan dengan cepat membuang muka, merasa dirinya sudah bicara terlalu banyak.

“Lalu apa yang kaulakukan? Apa kau berhenti peduli pada orang itu?”

“Tidak,” Luhan menggeleng. “Aku akan selalu baik dan menyayanginya, karena dia adalah appaku,” Luhan kembali terdiam. Rupanya selain bicara terlalu banyak aku juga jadi curhat, batinnya.

Yeoja itu tersenyum, sedikit merasa lucu dengan tingkah Luhan. “Maksudmu orang yang tidak peduli, err maaf, tidak merespon kepedulianmu adalah appamu?” tanyanya hati-hati, takut menyinggung perasaan namja itu.

“Bisa dibilang begitu,” angguk Luhan enggan, seperti tidak mau membahas masalah pribadinya. “Kalau kau, siapa? Kenapa justru mau melupakannya?”

Yeoja itu menundukkan kepalanya dan Luhan merasa tadi dia melihat semburat kemerahan di pipi yeoja itu. “Seorang namja, ya?” tebak Luhan tepat sasaran.

“Ne…”

‘Oh, jadi yeoja ini sedang patah hati,’ batin Luhan. “Memangnya apa yang terjadi?” tanya Luhan, perlahan dia merasa kalau atmosfer asing dan kecanggungan mulai lenyap di antara mereka.

“Tidak ada. Mungkin aku yang salah mengartikan keadaan dan terlalu banyak berharap,”

Luhan mengangguk, walau sebenarnya dia tidak mengerti maksud perkataan yeoja itu. “Lalu apakah kau menangis?”
“Sedikit,” yeoja itu tersenyum. “Karena jika aku menangis terus, dia juga tidak akan kembali atau berubah pikiran,”

“Jika kau tidak bersamanya, mungkin ada orang lain yang lebih baik yang Tuhan akan berikan untukmu,” ujar Luhan tulus, lagi-lagi sambil berharap agar perkataannya tidak terdengar sok.

“Ne, jeongmal gamshahamnida,” sahut yeoja itu sambil tersenyum, lalu menengadah dan menatap ke arah payung yang memayungi mereka. “Mau aku gantikan?” tanyanya, memberi isyarat pada Luhan yang sejak tadi memegang payung itu.

“Tidak perlu, tidak apa-apa,” jawab Luhan.
Hujan sudah agak mereda, gemericiknya berbaur dengan suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya di belakang mereka.
“Lalu apa rencanamu?’

Yeoja itu menghela nafas sejenak. “Hidup lebih baik, menjadi orang yang lebih baik, menjadi siswa, anak, dan teman yang lebih baik,” jawab yeoja itu. “Lihat, hujannya sudah tidak deras,”

Luhan menengadah ke langit. Benar, rintik-rintik hujan yang tadi deras berubah menjadi titik-titik air yang lebih kecil. Dia menurunkan payungnya dan melipatnya.

Luhan kembali menoleh ke yeoja itu, rambut hitamnya benar-benar basah dan wajahnya sedikit memucat. Mungkin karena terlalu lama kehujanan. Luhan membuka tasnya, buku-buku dan barang-barangnya tidak basah karena tasnya kedap air. Dia menarik keluar jaket olahraganya dan memberikannya pada yeoja itu.

“Untuk apa?” tanya yeoja itu heran.

“Kalau kau ingin lebih baik dan memulai dari awal, pertama-tama kau harus kuat dan menjaga kesehatanmu. Pakailah,” Luhan menutup kembali tasnya dan menyampirkan di bahunya, lalu bangkit dari duduknya. “Ini sudah sore, aku pulang dulu ne,” ujarnya seraya tersenyum.

“Tapi bagaimana aku mengembalikan jaketmu?”

“Hari Minggu jam empat sore, datanglah kesini,” jawab Luhan kemudian mulai berjalan meninggalkan yeoja itu.

“Gamshahamnida,” yeoja itu bangkit dan membungkuk sopan. “Jeongmal bangapseumnida,” ucapnya, tersenyum.

Luhan juga tersenyum. “Nado..” Dan dia pun kembali berjalan.

Baru beberapa langkah, Luhan berhenti dan berbalik. “Err… Siapa namamu?”

“Park Soo Ji imnida. Kalau kau siapa?”

“Luhan, Xi Luhan,”

Soo Ji mengangguk, senyumnya mengembang.

“Hati-hati di jalan, ne!” tangan kanan Soo Ji melambai.

“Ne, kau juga,” Luhan tersenyum dan berbalik, kemudian berjalan lagi.

Seperti hujan yang mengundang dingin di kota Seoul, hujan juga telah mengundang Luhan menemui Soo Ji. Luhan tersenyum, menyadari pertemuan yang aneh ini. Di a kembali menoleh, yeoja itu sedang memakai jaketnya, yang sepertinya terlihat kebesaran di tubuh Soo Ji.

“Sampai bertemu lagi,” gumam Luhan.

 

THE END

 

9 tanggapan untuk “If I Could See You Again”

Pip~ Pip~ Pip~