Last Minute

last minute.

마지막 순간

— Last Minute —

[ Ficlet | FailedAngst, FailedAction | Teen ]
starring EXO‘s Kai
and f(x)‘s Krystal

by

Eunike

I only own the story and art ]

Kai’s point of view.

***

Kegelapan merengkuhku erat. Melenyapkan cahaya yang memercik diantara kekelaman.

***

Countdown now…

3

2

1

.

.

Perang telah sampai pada titik klimaks, kami dari tim Korea Selatan terus berjuang keras ditengah-tengah teriknya matahari. Berusaha mengabaikan mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan, menatap lurus ke depan dan menanti akhir dari mimpi buruk ini.

Bangunan yang dulu acap kali kujumpai kini telah hancur menjadi puing-puing tak berarti. Bahkan satu persatu dari kami telah tumbang, meninggalkan segelintir orang yang diharap dapat meneruskan bangsa ini.

Dan aku, Kim Jongin, seorang pemuda yang tersesat diantara keputusasaan, mencoba menaruh harapan pada sebuah handgun yang kini kugenggam erat-erat. Terdengar tolol memang, sebuah senjata api yang saat ini hanya berisi enam kaliber saja kujadikan harapan. Tapi ya, ini satu-satunya milikku yang tersisa, yang lainnya lenyap tak bersisa.

Seraya mengawasi keadaan, aku mengendap-endap dibalik tembok ini. Dan saat kurasa cukup aman, aku segera melompat kedalam; berguling beberapa kali lalu bersembunyi di sela-sela rerumputan.

Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada pergerakan lain, lantas kulangkahkan kakiku cepat menuju gedung yang menjadi salah satu dari bangunan yang masih tersisa. Kupicingkan mataku menatap seluruh koridor sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak ke lantai dua.
Kutodongkan senjataku dan…

Oh—buruk. Ini sangat buruk.

Ugh, aku benci mayat.

Kupalingkan pandanganku dari mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarku. Ada yang terbunuh dengan peluru, ada juga yang terbunuh dengan tusukan pisau dan semacamnya. Ini terlalu kejam—terlalu memilukan. Tapi ini kenyataannya, ini yang sedang terjadi diatas tanah airku, lantas apa yang harus kuperbuat? Aku hanyalah salah satu dari beberapa orang bodoh yang mampu bertahan sampai detik ini.
Atau bahkan aku satu-satunya orang bodoh yang mampu bertahan?

Aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Yang jelas, aku harus berjuang keras sampai jantungku tidak mampu memompa darah dan sampai kedua kelopak mataku tidak sanggup membuka lebih lama. Ya, sudah kuputuskan sebelum saat itu tiba aku tidak boleh gugur. Sebab keinginanku hanya satu; bertemu dengannya sebelum aku terbunuh oleh mereka.

Kembali kueratkan genggamanku sembari meniti tangga penghubung menuju lantai tiga. Kuacungkan handgun-ku begitu tiba diujung koridor, well—sekedar berjaga-jaga saja.

Aman.

Aku tersenyum getir dan melanjutkan langkahku. Setidaknya keadaan disini jauh lebih baik dibanding keadaan di lantai dua. Tidak ada mayat bergelimpangan atau sejenisnya namun.. mengapa bau busuk tercium begitu tajam?

Oh, aku bisa melihat tetesan darah di lantai kuberpijak. Kuputuskan untuk mengikuti jejak darah tersebut seraya mengacungkan handgun-ku dan menatap sekitar.

Sampai di depan sebuah daun pintu tempat tetesan darah itu berakhir, kupicingkan mataku dan menatap ke dalam melalui lubang kunci.

Gelap.

Aku tidak bisa menatap apa-apa. Sepertinya ini sebuah kamar mayat atau apalah, aku tidak mau ambil pusing.

Baru saja kau hendak berbalik dan melanjutkan perjalananku ketika pintu terbuka secara tiba-tiba. Detik selanjutnya, kudapati sebuah peluru melesat cepat kearahku, menciptakan bunyi desingan nyaring yang memekakan telinga.

Dengan secepat mungkin kubanting tubuhku kearah kanan, mencoba menghindari peluru yang menghujamku dari dalam ruangan.

Setelah beberapa kali tembakan, peluru berhenti dilepaskan. Aku masih terdiam membeku, tidak berani bergerak barang sedikitpun. Kedua bola mataku terpaku menatap dinding yang menjadi sasaran.

Satu, dua, tiga…

Ada tujuh peluru yang dimuntahkan. Melihat dari tipenya, kutebak peluru tersebut berasal dari senjata revolver.

Oh tidak, ini buruk. Nampaknya nyawaku terancam.

Kutarik napasku dalam-dalam sembari bangkit. Membungkuk dan mengendap, aku menekatkan diri untuk mengintip kedalam ruangan dan—

DOR!

DOR!

DOR!

Dasar sinting.

Kembali kubanting tubuhku dan mencengkram handgun-ku erat-erat. Kugigit bibir bawahku, menunggu peluru berhenti dimuntahkan dan mencoba mencerna apa yang kulihat beberapa detik lalu.

Hanya sekilas—tapi kedua irisku mampu merekamnya dengan baik.

Tapi seandainya bisa, aku lebih memilih untuk tidak melihat sama sekali tumpukan mayat yang berada di dalam ruangan tersebut. Semuanya bersimbah darah yang mungkin bila dikumpulkan bisa menjadi beberapa liter. Sungguh mengerikan.

Kutebak, peluru tersebut berasal dari salah satu dari mereka yang masih bertahan hidup namun dipaksa hidup diantara mayat-mayat tersebut. Ya, mungkin ia menembakiku untuk membalas rasa dendamnya terhadap pelakunya.

Sebelum keadaan kian memburuk, aku mengendap menyusuri sisa koridor tanpa melepas acungan senjataku dan kembali meniti tangga menuju lantai empat.

Samar-samar aku dapat mendengar suara radio yang sepertinya tidak mendapat sinyal terlalu baik. Oke, kali ini teror macam apa yang akan menghampiriku?

Kuhela napas panjang dan menguatkan hati, sebelum akhirnya melangkah lebih lanjut dan mengintip ke dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar. Takut-takut mendapati musuh dibalik pintu, sesegera saja kuacungkan kembali senjataku dan mengarahkannya ke dalam.

Kosong?

Ruangan ini kosong?

Tapi mengapa radionya dibiarkan menyala?

Sebagai pengecoh? Mungkin saja.

Aku berdeham beberapa kali dan menetralkan posisiku. Menarik napas panjang dan berlari cepat menuruni tangga menuju lantai bawah. Entah, perasaanku tidak enak. Naluriku memerintahku untuk segera pergi dari tempat ini, ada yang tidak beres.

Kupacu cepat langkahku terus menuju lantai tiga dan—

DOR!

Benar saja.

Kurasakan ngilu yang teramat di bahu kiriku, menyebar luas ke seluruh tubuhku dan membuyarkan fokusku. Kakiku melemah seiring dengan langkah kakiku yang terhambat. Napasku tersenggal dan pandanganku sedikit memburam diantara peluh yang membanjiri benakku.

Aku tidak bisa berpikir jernih, yang kutahu hanya langkah berikutnya aku memilih untuk menjatuhkan diri ke samping dan berguling diatas tangga. Sedikit meringis menahan sakit tanpa melepas genggamanku pada handgun yang masih melekat dengan setia.

Kupejamkan mataku erat-erat begitu tubuhku sampai di anak tangga terakhir, dan disaat itu aku baru bisa merasakan sakit yang kian menjadi-jadi. Tidak hanya bahu kiriku, namun seluruh tubuhku. Darah yang mengucur jelas dan luka tembak yang menyayat kulitku, aku tidak bisa menahan ini semua.

Tidak, tidak. Ini tidak benar. Aku harus bisa menahan ini semua dan melanjutkan misiku—misi pencarianku.

Kutarik napas panjang seraya bangkit berdiri dan berjalan kepayahan menuju sela-sela tembok. Kugigit bibir bawahku guna mencegah ringisan tatkala bahu kiriku secara tidak sengaja membentur dinding.

Perlahan-lahan aku dapat mendengar langkah kaki seseorang. Ia jalan menuruni tangga dengan ritme pelan, seakan tengah menikmati kegiatan menyiksa musuhnya yang kini sedang bergetar ketakutan bersimbah darah.

Sosok itu hampir sampai di anak tangga terakhir. Aku memicingkan mataku, meliriknya melalui ekor mata. Samar-samar dapat kulihat baju hitam yang dikenakannya, serta rambutnya yang terurai panjang.

Tunggu—dia wanita?

Aku menelan ludahku gugup dan mengepalkan tanganku. Pikiranku sibuk mengusir berbagai kemungkinan-kemungkinan yang ada.
“Come on boy, where are you?” gumam perempuan itu dengan suara serak—membuatku bergidik ngeri.

Dia musuh kita, Jongin. Dia tim Korea Utara dan kami bertentangan.

Mataku menilik tajam kearah tubuh perempuan itu yang bergerak semakin dekat. Ia mengambil langkah lebar seraya menatap sekelilingnya tanpa melewati satu titik pun, dan tepat ketika maniknya menatap ujung seragamku, ia menyeringai lebar.

Tidak ada hal lain yang dapat kulakukan kecuali satu; menyambut tantangannya.

Kuhentakan tubuhku dan menudingkan handgun-ku kearah wajahnya yang menatapku datar.

Sedangkan aku hanya diam mengatup bibirku rapat-rapat melihat perempuan itu yang juga menudingkan senjata revolvernya kearahku. Matanya kembali memicing tajam menatap kedua bola mataku dan tersenyum aneh.

Kutarik napasku dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.

Terselip rasa ngilu yang menguasai relung hatiku.

Rasa tidak rela dan tidak berdaya menyergapku, memukulku dengan telak begitu menyadari adanya garis dan kilatan asing di kedua bola matanya yang menatapku berapi-api.

“K-Kau..”

Semua kalimat yang hendak kususun buyar dalam sekejap, sebuah kata yang ingin kuucapkan tertahan di ujung lidahku yang kelu. Meninggalkanku dalam kebisuan janggal yang terjadi diantara diriku dan dirinya.
Semuanya nampak aneh dan tidak benar.

Aku hanya bisa menatapnya dalam diam dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Otakku terasa lumpuh, tidak dapat berpikir lebih lanjut untuk mengambil sebuah tindakan nyata. Hanya monolog-monolog tak berarti yang kini hadir di hatiku, mendebatkan hal yang tidak seharusnya terjadi.

Kutarik napas panjang dan mengerjap beberapa kali.

“Kim Jongin…”

Dia bersuara. Dia bersuara setelah lama terdiam. Dia menyebut namaku setelah lama kami berpisah. Dia kini dapat menatapku, bukan sebagai seorang musuh. Mungkinkah?

Aku tersenyum getir menanggapi panggilannya. Bibirku bergetar dan napasku tak keruan. Aku tahu aku tidak boleh seperti ini, yang seharusnya kulakukan adalah menembaknya dan menghabisi nyawanya, tapi aku terlanjur tenggelam ke dalam ketidakberdayaan tatkala kami bertemu dengan tragis seperti ini.

Memori lama yang sempat singgah di pikiranku kembali hadir menyapa, mengisi kekosongan yang semula mengambil alih keadaan. Bayangan akan sosok itu kembali menjumpaiku. Senyum tawa yang menghiasi bibirnya bahkan masih kuingat dengan jelas.

Masa remaja kami yang sempat terjalin dengan baik. Hari-hari yang kami habiskan bersama dengan canda tawa dan kasih, tanpa memandang perbedaan yang kelak menjadi jurang pemisah antara kami.

Ya, itu semua terjadi sebelum akhirnya kami terpaksa berpisah dan kekejaman dunia meraja.

“Soojung-ah..,” gumamku parau diantara napasku yang kian menderu.

Perempuan itu terhenyak dibalik revolvernya, kilatan matanya yang semula berapi-rapi perlahan memudar, digantikan dengan sebuah tatapan sendu yang berhasil menyayat dinding hatiku.

Aku terdiam.

Aku tidak bisa melangkah mundur, pun melangkah maju. Aku terkunci dalam posisi yang sangat tidak kuinginkan; saling menodongkan senjata kepada orang yang sangat kusayangi.

Setetes kristal bening menetes keluar dari ekor matanya. Ia mencoba membasahi bibirnya dengan gugup dan menelan ludah dengan susah payah. Bibirnya bergetar samar ketika ia mencoba berujar pelan; “turunkan senjatamu, atau mati.”

Aku tidak terkejut. Ini wajar, sebab kami berada pada dua kubu yang berbeda. Sayangnya, kalimat tersebut kembali menoreh luka batin pada hatiku. Menyayatku dalam-dalam di saat yang tepat.

“Kubilang, turunkan senjatamu, atau mati.” Kali ini suaranya terdengar lebih tegas—walau getaran masih nampak sarat.

Aku hanya menatapnya dalam-dalam, menilik matanya—mencoba mencari kebenaran yang ada. Beranikah ia membunuhku? Beranikah ia menghabisi nyawaku? Setelah apa yang kita lakukan di masa lalu? Setelah kenangan yang kami rajut bersama?

Tepat sasaran, detik selanjutnya ia kembali berujar. “Kau pikir aku tidak berani?”

Bibirku tersenyum getir. Tanpa berniat menurunkan senjata, kucoba menyahutnya. “Kau pikir kau berani?”

Dia mendecih dan mencibir. “Jangan anggap remeh aku.”

“Aku tidak menganggap remeh dirimu. Bersama denganmu selama enam tahun tentu membuatku mengenalmu dengan baik, Soojung-ah,” aku menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu kau bukan sosok yang patut diremehkan.”

Ia menggigit bibir dan menajamkan tatapannya padaku. “Lantas turunkan senjatamu.”

“Kenapa tidak kau terlebih dahulu?”

“Kubilang turunkan senjatamu!”

DOR!

Hatiku mencelos tatkala sebuah peluru dimuntahkan keluar, meluncur cepat diiringi desingan nyaring—dan tepat mengenai sasaran.

Aku menggigit bibirku dan memejamkan mata.

“J-Jongin…”

Ia bergumam rendah dan mencengkram bahu kirinya yang menjadi sasaran tembakku. Aku hanya diam menatapnya lurus-lurus, enggan menyahut pun berujar lebih lanjut. Sudah cukup perkataan yang kami lontarkan, kami sudah banyak bertukar kalimat hari ini.

Semuanya sudah cukup.

Pun keinganku untuk melihatnya yang terakhir kali sudah tercapai.

Aku sudah tidak memiliki tujuan hidup, maka aku siap untuk mati.

Aku siap untuk mati ditangannya.

Aku sudah siap…

Selamat tinggal, Soojung..

DOR!

.

.

.

“Soojungie.”

“Yap?”

“Percayalah, aku akan selalu mencintaimu, di keadaan seburuk apapun.”

“Kau ini bicara apa Jongin?”

“Lanjutkan saja langkahmu dan pegang janjiku erat-erat.”

“Ck, dasar aneh.”

.

.

.

fin.

[A/N] : Annyeong^^ Eunike imnida^^ Berhubung aku author baru disini jadi mohon bantunnya ya XD Aku belom tau bener pairing siapa aja yang disuka dan genre apa aja, jadi mohon tinggalkan komentar ya 🙂 Terimakasihhhh~~

//sudah pernah di post di beberapa blog dan blog pribadi//

8 tanggapan untuk “Last Minute”

  1. Wow, bagus banget Nike 🙂 tapi kenapa akhirnya sad 😦 aku sedih bacanya.. apa lagi pas bagian terakhirnya 😦 tapi nggak apa-apa deh yang penting ff ini keren 🙂 semangat terus yah 🙂

Pip~ Pip~ Pip~