PLAYED OUT

SHAPE

DALANG : ZULAIPATNAM

JUDUL : PLAYED OUT

GENDRE : AGST | ROMANCE | CRIMINAL

LEGHT : ONESHOOT

RATED : PG 15 | Parents Strongly Cautioned

CAST : KIM JONG DAE  | Chen Exo M

             KIM JONG IN | Kai Exo K

             OFC |  Original Female Character

INSPIRASI : Lagu Sting – Shape Of My Heart

ALAMAT RUMAH : http://zulaibigbangfanfic.wordpress.com

DISCLAIMERE : NGALAGA ING ZULAIPATNAM (Atas Segala Zulaipatnam)

NB : Cuma muntahan jorok dari otak yang salurkan lewat jari. Jadi kalau gag suka dan isinya jelek banget. Maklum yah, dan bila ada kemiripan dengan unsur intrinsic di dalam FF saya, silahkan komen di (sitizulaipatnam@gmail.com) matur nuwun.

 

>>> STORY START HERE <<<

 

Kala itu tak ada yang istimewa darinya, aku hanya menyukainya karena dia menjadi dia, bukan dia bertopeng dia. Terdengar rumit namun intinya dia menjadi dirinya sendiri, aku menyukainya. Meski waktu itu usiaku bukan masa ‘cinta monyet’ namun kami menjalaninya seolah siswa smp yang baru mengenal cinta. Hanya saling tersipu acap kali tatapan kami bertemu, membawakan bekal untuk satu sama lain, membicarakan hal konyol yang terdengar kolot seperti rencana saat usia 30 thn, menimang seorang putra, duduk di beranda rumah, menunggu suamiku pulang dari kantor. Dia malahan lebih kolot lagi, menginginkan sebuah rumah sederhana di tepi danau, memiliki satu set peralatan memancing yang akan ia gunakan setiap akhir pekan bersama putra kami kelak. Sebuah obrolan tidak penting dan terdengar berkhayal, tapi itulah kami dulu. dua manusia yang simple, unyu, dan tidak berbobot. Meski begitu, kami memiliki tujuan.

 

Tidak seperti saat ini, tidak memiliki tujuan dan hanya rasa lelah.

 

++++++

 

Kusimpan secarik kertas foto copy yang baru keluar dari mesinnya, masih hangat dan segar. Melipatnya asal dan menyakukan kedalam celana. Kumatikan computer dan mesin foto copynya segera, tidak ingin ketahuan dan dia mencurigaiku.

Langkahku saat itu terhenti, dia menelonjorkan kaki, duduk malas di depan pintu rumah sewaku yang sederhana. Menyadari kehadiranku, kepalanya bergerak, matanya menatapku, begitu suci tanpa dosa, dia kini tidak menjadi dia.

“Maaf tidak menelpone mu terlebih dahulu.”

Ungkapnya yang beranjak dari posisi awal, kukatupkan mulutku rapat.

“Ya. Apa kau sudah lama?.”

Tanyaku mencoba biasa meski kuakui mimic wajahku pasti menunjukkan keanehan.

“1 jam.”

Mataku membulat, untuk apa dia menungguku selama itu?. kukeluarkan kunci dari tas jinjingku, dia berada di balik punggung menunggu pintu terbuka.

“Masuklah!.”

Titahku mencegat pintu agar tidak kembali tertutup.

Malam itu terasa begitu ganjal bagiku, sikapnya memang tidak berubah, tapi dapat kulihat bayangannya berubah, bayangan seorang Chen telah musnah dari dirinya, kini digantikan oleh bayangan seorang Kim Jong Dae. Entah siapa itu Kim Jong Dae, aku tidak mengenalnya, selama ini yang kukenal hanyalah Chen, pria Cina yang mempunyai toko buku kecil di pusat kota. Dia, entah Chen atau Kim Jong Dae, membicarakan mengenai stok buku yang hampir habis, karya penulis yang menurutnya sangat luar biasa, mengajakku berdebat tentang 1 dan 2. Dulu memang terasa sangat menarik, tapi sekarang terasa seperti asap, mengepul dengan usaha keras tapi menghilang tanpa di hiraukan.

 

+++++++

 

Seorang temanku datang dari jauh, darimana aku juga tidak mengerti, dia teman lamaku saat Tk. Sangat lama bukan?. Waktu itu pukul 9 malam, dia mengetuk pintu rumah secara frontal, kubopong tubuhnya yang kelimpungan akibat arak. Keesokan paginya, dia menceritakan tujuannya menemuiku.

Namanya Kim Jong In, terdengar seperti Kim Jong Dae. Sejenak kufikir mereka bersaudara, tapi jika dilihat lebih dalam. Tidak ada kesamaan sama sekali, kubuang cepat-cepat kesimpulan itu. Jong Dae membuka kopernya dengan cepat, menghiraukan sarapan yang sudah kusiapkan untuknya di meja makan. Lengan panjangnya menarik pergelanganku dengan kuat, mengajakku duduk di ruang tamu.

“Kau tahu siapa pemilik tempat ini?.”

Mataku melotot otomatis, seperti ada sensor yang mengharuskannya bertindak seperti itu.

“Aku sangat yakin kau mengetahuinya.”

Desak Jong In menjadikanku terpojok, kutatap sekilas dirinya dan selembar foto di meja.

Aku tahu tempat itu.”

Kepalaku menggeleng pelan, pasti ketara jika aku tengah berbohong padanya. Jong In menatapku lekat, dia mengangkat tangannya dan menekan pundakku kuat.

“Sudah kubuntuti dia selama 2 minggu terakhir ini, dan terakhir kali kulihat dia tengah duduk di depan apartemenmu.”

Aku tercekat, Jong In menang.

“Dia membawa satu koperku.”

Imbuh Jong In tanpa kuminta.

 

+++++++

 

Sekali lagi, beruntung Jong in sudah pergi dari rumahku, katanya hari ini dia ada keperluan mendadak dan akan kembali besok lusa. Ia selonjorkan kakinya seperti murid Tk menunggui penjemputnya. Kujatuhkan tubuhku tepat disampingnya, ia menatapku kaget.

“Tidak membukakan pintu untukku?.”

Tanyanya cepat, aku menggeleng, kulemparkan tas jinjingku di ujung kaki. Kurasakan jika dia tengah memperhatikanku.

“Kita berdiam disini saja, tidak keberatankan?.”

Tanyaku tidak bertenaga, Chen mengangkat tangannya, menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. Kembali kurasakan kehangatan seorang pria Cinaku, bukannya pria Korea seperti di Fom yang pernah ku copy.

“Apa kau lelah?.”

Tanyanya berbisik, aku mengangguk. Tanganku bergerak mencari jemarinya.

“Ehm…, Chen…”

Suaraku melemah, terasa seperti orang bodoh saat memanggil namanya.

“Eum…”

Jawabnya bergumam.

“Kau tahu alasanku mencintaimu dan bertahan sampai sekarang?.”

Tanyaku seperti remaja, kutarik tangannya keperutku, mendekapnya lama dan tidak membiarkan dia meronta.

“Apa?.”

Sangat datar, tidak ada gairah keingin tahuan yang berapi seperti dahulu. Dia yang lain sudah mendominasi.

“Karena kau adalah kau. Berwajah satu dan itu adalah Chen, si pemilik toko buku yang menghayalkan rumah sederhana di tepi danau, satu set alat pancing, seorang putra. Bukan seorang pria dengan uang logam yang satu sisinya saja aku tak kenal.”

Mataku terpejam entah mengapa. Lelah mungkin.

Hingga keesokan harinya, kudapati seekor anjing menarik celanaku dengan lembut, matahari menerpa tubuhku yang terbaring seorang diri di beranda rumah. Tanpa seorang Chen atau Kim Jong Dae disampingku.

 

++++++

 

Tidak ada kabar darinya, kulewati toko buku yang biasa buka 12 jam. Terdapat tanda ‘DIJUAL’ terpampang jelas di jendela etalase. Kutekan numb yang dicantumkan di bawah tanda dijual. Mendengarkan suara seorang pria paruh baya yang katanya agen ruko. Saat kutanyakan kemana Chen pergi dia menolak memberi informasi. Semenjak hari itulah semuanya berubah, hidupku bukan lagi dipenuhi seorang Chen. Melainkan rasa lelah yang berkepanjangan.

Jong In semakian sering berkunjung ke rumahku, katanya ingin memastikan saja jika Kim Jong Dae telah kembali.

 

+++++

 

“Kau mau ikut bersamaku?.”

Tanyanya tiba-tiba saat sarapan.

“Kemana?.”

Kumasukkan roti panggang yang sudah kucacah kedalam mulut, Jong In meletakkan garbu dan pisaunya. Dia menegaskan posisi duduk, wajahnya berkonsentrasi untuk memulai dongeng.

“Uangku sudah banyak, kau sudah bersedia menampungku selama hampir 1 bulan terakhir. Ehm.., apa tidak boleh jika kuberikan hadiah sebagai tanda ucapan terimakasih. Kita berlibur ke Hawai, Bali, San fransisco, Paris, atau tempat lainnya yang kau inginkan.”

Alisku menaik, dia masih waras?.

“Tempat-tempat yang kau sebutkan tidak membutuhkan uang banyak?.”

Sindirku kembali memasukkan cacahan roti kedalam mulut, Jong In melebarkan senyum.

“Sudah kukatakan uangku sudah banyak.”

Tekannya meyakinkanku. Aku mengangguk mengerti.

“Sebanyak apa?.”

“Tidak akan habis jika kita menghamburkannya di pertokohan paris selama 1 minggu.”

Tegasnya begitu mantap, aku menurunkan alisku yang sempat menaik, mempercayai Kim Jong In sekali-kali apa salahnya, toh aku juga butuh liburan untuk menghilangkah rasa lelah akibat Chen dan Kim Jong Dae.

 

+++++++

 

Sepulang dari kantor, Jong In menungguiku di depan pintu rumah. Bertingkah seperti Chen yang menelonjorkan kakinya di depan pintu. Nafasku sedikit tercekat tatkala otakku mendoktrin jika dia adalah Chen, beruntung Jong In segera bangkit dari duduknya, menghambur kearahku dengan meneteng dua kantung besar belanjaan.

“Kita pesta malam ini!.”

Ajaknya, aku hanya mengangguk senang. Jong In teman TKku, dulu kami memang tidak dekat, tapi setelah dia datang dalam keadaan mabuk dan berkata jika dirinya mengenal Jong Dae, bukannya Chen. Siapa seorang Kim Jong Dae masih misteri bagiku, semenjak hari itu Jong In tak pernah mengungkit mengenainya lagi, malahan dia tidak banyak bicara.

Malam itu, kami membakar 2 kg daging babi, meminum beberapa botlo soju, menonton film fulgar yang membuat Jong In berkali-kali masuk kamar mandi, aku hanya tertawa seperti orang bodoh saat pemain dalam film melakukan hal menjijikkan. Sementara Jong In, wajahnya sudah merah padam dan kembali ijin ke kamar mandi.

“Kurasa kamar mandiku harus di bersihkan besok pagi.”

Celetukku, permainan dalam film sudah berganti. Kucari dalam kotak DVD film yang lebih segar, seperti hotel trasylfania atau lelucon cerdas Stand Up comedy. Apalah asalkan jangan film seperti tadi.

“Akan kusewakan cleaning servis.”

Ucapnya cepat. Aku mengangguk mengerti.

“Bagaimana jika film Snow white and the hustman?.”

Tawarku memamerkan DVD di tangan, Jong In menatap tanganku dengan sendu, matanya seolah tak bisa di buka lebar.

“Letakkan film menjijikkan itu, sekarang aku ingin mendongeng.”

Dia menurunkan tanganku, mengambil keeping dvd tadi dan menyimpannya dalam kotak.

“Kau mau berdongeng tentang apa?. Cinderellah?, Beauty and the best?, Hansel and Gretel?.”

Tanyaku mengangkat kaki dari tanah, menyilangkannya di atas sofa. Jong In menggeleng. Dia melempar punggungnya pada sandaran sofa.

“Koper dan si pencuri.”

Ucapnya tegas. Mataku membulat, meski suara Jong In seperti orang mabuk, tapi koper dan pencurinya adalah cerita yang menarik. Si pencuri adalah Kim Jong Dae.

 

+++++++

 

Kubuka kertas foto copy yang sudah lecek, membacanya kembali meski aku sudah hafal, entahlah!. Saat membacanya seolah aku baru pertama kali. Kududukkan diriku di atas WC, menatap biasan diriku yang amat lusuh dari kaca besar kamar mandi.

Seolah di putar balikkan fakta yang ku ketahui, perbedaan warga negara, nama, tempat tinggal, pekerjaan, bahkan tanggal lahir. Semua berbeda dengan yang Chen lontarkan padaku. Apa tujuannya membohongiku?

“Hey!. Cepatlah keluar!. Kita berangkat 1 jam lagi.”

Kututup kertas di tanganku, mengembalikannya pada bola kertas yang lusuh, mengimpannya dengan cepat di dalam kotak peralatan mandi.

“Sebentar.”

Teriakku membalas, yah. Hari ini kami akan berangkat berlibur, seperti yang Jong In katakan beberapa hari lalu. Dan pilihan kami jatuh pada Bali, alasannya simple. Tempatnya paling dekat dengan daftar negara yang Jong In tawarkan.

 

+++++++

 

Kami menenteng koper masing-masing, menyiapkan semuanya dengan cepat dan tergopoh-gopoh, ditangan kami sudah tergenggam paspor masing-masing. Jong In menurunkan kaca mata hitamnya untuk menyelidikku.

“Sampai di Bali kau mau menonton film fulgar lagi bersamaku?.”

Tanyanya aneh, aku bergidik saja dan memukul kepalanya menggunakan paspor di tanganku.

“Kamar mandiku saja belum kau sewakan cleaning servis, bodoh.”

Kesalku, dia menanggapi dengan senyum kecil.

“Aku hanya bercanda, toh meski tidak melihat film fulgar aku bisa melihat yang langsung di pantai.”

Ungkapnya berjalan mendahuluiku. Kusaksikan petugas imigran terlihat mengerutkan dahinya saat mengecek paspor Jong In, aku melongok dari belakang. Jong In mengeluarkan keringat dingin.

“Apa paspormu bermasalah?.”

Tanyaku, Jong In diam. Petugas imigran menatapku sekilas dengan penuh curiga.

“Ada apa?.”

Tanyaku bingung.

“Ehmm., kalian berdua bisa masuk!.”

Aku merasa ada yang aneh, paspor Jong In dikembalikan dan pasporku tidak diperiksa. Kami di giring pada pintu lain yang sepi.

“Kita mau dibawa kemana?.”

Tanyaku berbisik, tidak ada jawaban dari pria ini. aku semakin gugub, ada yang salah dengan liburan saat kami.

“Kalian tunggu sebentar disini!.”

Titah petugas imigran, kulirik sekilas. Terlihat dua polisi berjalan mendekat.

“Jong In, ada apa sebenarnya?.”

Tanyaku gugub, kutarik lengan kemejanya erat.

“Kita pergi!.”

Bisiknya padaku, aku semakin melongo kebingungan.

“Ada ap-

Pertanyaanku tak kunjung selesai, Jong In sudah menarikku kencang, berlari tunggang langgang melewati pembatas dan menerobos barisan panjang manusia. kulirik kebelakang dan mendapati beberapa petugas bandara dan polisi membuntuti kami.

“Hya…, ada apa ini?.”

Masih aku seperti orang bodoh.

BUG

Tubuhku limbug ke lantai, aku berniat bangkit dan Jong In tak mau menolongku, dia hanya menoleh sekali dan berlari kencang. aku merangkak kecil untuk bangun, namun pergelangan kakiku sudah di cengkram erat oleh seseorang. Kutoleh kebalakang dan tenagaku menghilang. Dia yang mana?.

 

++++++

 

“Kim Jong In, dia mencuri barang bukti dari kami, membawa dua koper untuk dijual kepada penadah.”

Mulutnya bergerak cepat, lampu neon 5 watt terus bergerak di atas kepalaku.

“Aku tidak mengerti.”

Kataku sebenarnya, apa yang tengah mereka bicarakan.

“Kau diperalat olehnya, nona.”

Tekan pria bertubuh gembul yang mirip dengan sapi.

“Dia temanku, kalian yang salah tangkap, aku tidak tahu menahu apapun.”

Jeritku, berontak melepaskan borgol yang mereka patenkan dengan sandarakn kursiku.

“Haish, kenapa gadis ini sulit sekali diajak kerja sama.”

Resahnya yang mengusap kening. Pintu terbuka, menamparkan cahaya lebih terang untukku, sosok berdiri disana dan memberi aba-aba pada si gembul untuk keluar.

“Baik komandan.”

Serunya menurut, seperti sapi yang di tindik hidungnya. Dasar sapi. Kupicingkan tatapanku pada sosok tadi.

“Jadi kau tidak mau angkat bicara.”

Simpulnya mendekatiku. Chen?

“Pasti sudah banyak dongeng yang dicerakan Jong In padamu. iyakan?.”

Nadanya amat merendahkan, tangannya menyentuh daguku, menariknya untuk mendongak padanya. siapa dia?.

“Tidak ada dongeng semenarik Koper dan Pencurinya.”

Ungkapku tajam.

“Pencuri?. Siapa yang mencuri koper?.”

“Kau.”

“Aku?.”

“Ya.”

“Otakmu sudah di cuci olehnya.”

“Tidak, tapi otakmulah yang sudah di cuci.”

“Realy?.”

“Yes, Kim Jong Dae.”

Dia diam, menatapku lekat dan melepaskan jemarinya dari daguku.

“Kau mencopy data priabdiku?.”

“Ya.”

“Lancang.”

Desisnya seperti aku ini wanita hina.

“Lebih lancang siapa?. Kau apa aku?. Kau berbohong dan mengatakan sebagai orang Cina dan seorang pemilik toko buku. Lebih lancang siapa kau ketimbang diriku?,”

Dia duduk di kursi hadapanku, tangannya bertumpu di atas meja. Mata kami saling beradu tapi tidak seperti dulu lagi, semburat amarah lebih mendominasi untuk saat ini.

“Katakan yang sebenarnya padaku. Apa hubunganmu dengan Jong In?.”

Suaranya terdengar begitu berat, ku goyangkan lenganku yang terborgol di balik punggung.

“Katakan dulu padaku siapa kau sebenarnya?.”

Tantangku tidak trima.

“Kau sudah mengetahuinya.”

“Itu hanya informasi ringan.”

“Aku Kim Jong Dae. Kim Jong In adik sepupuku.”

Leherku seperti di cekik, lingkaran setan ini kapan berakhirnya?. Dugaanku dulu benar, bukan kebetulan nama mereka hampir sama.

“Lalu kenapa kau mengejar adikmu sendiri?.”

“Dia mencuri barang bukti. Dua koper mariyuana.”

“Lalu kau akan mencebloskanku kepenjara?, begitu?, hanya karena saat di bandara kami bersama.”

Brondongku merasa jengah, sudah 1 hari aku diperlakukan seperti teroris, mereka bertanya apa yang tak kuketahui seperti aku ini pembohong besar.

Dia membuka mulut, kali ini dialah pendongengnya. Menceritakan alasan penyamarannya, dia tidak mau identitasnya sebagai komandan terbuka di depanku. Jong Dae hanya berhasil mengembalikan 1 koper dari 2 koper yang dicuri Jong In, dia terancam di pecat tidak sopan dari kesatuannya jika tidak mendapatkan koper yang dibawa Jong In.

“Sekarang kau lebih menarik ketimbang si Chen.”

Cibirku, Jong Dae mengangkat kepalanya. Menatapku tajam penuh kilatan geram.

“Setidaknya sekarang aku tahu dua sisi dari uang logammu.”

 

+++++++

 

1 hari setelah kejadian itu, Jong In datang dengan 3 polisi di belakangnya. Kopernya sudah hilang, lenyap di telan waktu. Kami tidak pergi ke Bali, Jong In tidak akan menyewa cleaning servis untuk kamar mandiku, Jong Dae memilih membuang uang logamnya. Dia meninggalkan sisi Chen, menggantinya dengan Kim Jong Dae sampai kapanpun. Sementara aku?

Aku kembali menjadi yang dulu, hidup seorang diri di rumah sewa yang kecil, membersihkan kamar mandi dan mencari pria lain yang memiliki harapan kolot. Kembali pada hidupku yang tak pernah menemukan tujuan, hanya rasa lelah saat berjalan mencari tujuan itu.

 

>>> TAMAT <<<

 

 

 

14 tanggapan untuk “PLAYED OUT”

  1. Saya tidak menyangkan Chen bisa di ksh peran begitu.. di otak saya seorang chen itu troll (?) huaa mian, jangan di pikirkan lgi #plak
    Bagus Ffnya thor ^^
    Keep Writing ^^

    1. sayakan free orangnya…

      peran dala ff aya sesuka otak saya. hahahahah

      makasih udah baca ff nya yaa

  2. Nyesek u,u Sequel wajib deh sedih bangt u,u mana lagi nyetel lagu sedih pula! Author kau jahat#tarik Chanyeol dan nangis

  3. Hiks ikut sedih ngebayangin girl without name ini…. Chen tega amat si..

    Ngatain kai memperalat eh dia sendiri ga sadar law dia malah dah mempermainkan prasaan ni cwe…

    Over all Bagus. Keep writing

Pip~ Pip~ Pip~