[EXOFFI FREELANCE] Black Pearl [2/2]

nBgDo

-Black Pearl-

a KPop-CPop fanfiction by Liana D. S.

EXO Chen and EXO-M (Xiumin, Lu Han, Kris/Wu Yifan, Lay/Zhang Yixing, Z.Tao/Huang Zitao)

Friendship, Fantasy, Historical, Twoshots (total 6,7K+ words), Teen and Up

Casts not mine. Ideas all mine except MAMA-based superpowers. Some historical details are changed. Crossposted here. No commercial profit taken.

.

Chen, seorang prajurit muda Paekche, menerima misi untuk mengawal utusan saudagar Shandong ke Taiwan. Pulau itu ternyata dikelilingi segel sihir dan dijaga naga air raksasa. Lebih banyak rahasia akan terungkap!

***

“Yifan-ge .… Berhati-hatilah.”

Bahkan petarung hebat macam Zitao jadi lunak di hadapan naga laut yang perkasa ini. Si pemuda pengendali waktu tertunduk, tahu kesempatan menang mereka semakin kecil. Di lain pihak, Yifan yang sama-sama telah berhitung peluang sama sekali tidak goyah.

“Doakan saja aku, Tao-er.

Usai mengucapkan itu, Yifan berlari ke tepi geladak. Api mengelilingi seluruh tubuhnya, menguapkan hujan. Secara bertahap, tubuh Yifan berubah: manik matanya memerah serupa darah, berkilatan seperti milik Shenlong, dan kakinya lenyap, tergantikan sepasang cakar. Yifan terbang dan menghilang di dalam tubuh seekor naga merah.

Dua naga kini saling berhadapan di bawah badai.

“Jadi,” Chen berkedip cepat tak percaya, “Tuan Yifan selama ini menyimpan Zhulong?”

“Benar. Naga api itu—Zhulong—bersemayam dalam tubuh Yifan,” Alih-alih menampakkan kekaguman, Han memandang sang naga merah khawatir, “Harusnya makhluk itu sama sekali tidak pernah dilepas dari segelnya karena dia selalu menyakiti Yifan saat bebas ….”

Kaki Chen dilumpuhkan oleh pemandangan di atas sana. Dua naga mengitari satu sama lain selama beberapa saat, lalu dengan tanpa ampun saling melempar serangan. Shenlong beruntung; ombak dan hujan membantunya menjatuhkan Zhulong. Laut semakin meradang seiring meningkatnya kekuatan sang naga putih. Zhulong membalas dengan menambah kecepatan serangannya. Api yang menjilat-jilat beberapa kali melukai tubuh Shenlong, gawatnya sebuah serangan yang salah arah dari Zhulong memaksa Shenlong menghindar ke arah kapal Chen.

Brak!!! Crash!!!

“Tuan Yifan!!!”

Zhulong menggunakan tubuhnya untuk melindungi kapal dari terjangan Shenlong, tetapi tumbukan tetap tak terhindarkan. Kapal miring hingga sudut yang tak wajar, mengempaskan Chen dan empat lainnya ke laut. Penglihatan Chen mengabur, segalanya memudar dan kehilangan warna kecuali bayangan putih-merah di langit, api dan air.

Dia masih bertarung untuk kami, Tuan Chen.

Entah dari mana, suara Han memasuki pikiran Chen. Mengusiknya. Menyadarkannya bahwa ada tugas yang harus ia tuntaskan.

Kumohon, tolonglah Yifan. Tolong aku.

Seperti dulu.

Chen.

Han memanggil Chen dengan namanya, tanpa embel-embel ‘Tuan’. Hal itu secara misterius membangkitkan keberanian Chen yang semula tenggelam.

Aku ingin melindungi Han dan mereka yang terluka oleh pertempuran. Aku tidak boleh berakhir di sini.

Petir-petir kecil merambati raga Chen di dalam. Ia membuka mata lebar-lebar dan dilihatnya separuh ekor Shenlong telah berubah biru. Xiumin pasti membekukan ekor Shenlong untuk menghambat pergerakan sang naga. Menemukan secercah harapan, sekuat tenaga Chen berenang ke permukaan.

“Senior Xiumin!!! Angkat aku!!!”

Segera setelah berteriak, Chen ‘ditendang’ ke udara oleh bekuan besar dari bawah laut. Saat itu, Shenlong baru menyerang Zhulong dengan ombak hingga Zhulong terlempar. Shenlong maju, siap untuk serangan pamungkas ketika Chen menghalanginya. Bola petir berukuran raksasa terbentuk di bawah telapak sang prajurit.

Karena aku telah dipercaya oleh seseorang …

Gravitasi menarik Chen dari udara, tetapi petir terbesar telah ditembakkannya ke leher Shenlong.

… maaf,  Shenlong yang Terhormat, aku harus …

Crat!

… memenggalmu.

***

Jerit kesakitan Shenlong dibarengi ledakan dahsyat. Tubuhnya yang tak berkepala melebur dan jatuh ke laut dengan keras, layaknya Sungai Yangtze yang diangkat dan dijatuhkan kembali. Chen megap-megap, terbenam lagi dalam sejumlah besar massa air sebelum kekuatan Han memindahkannya ke geladak.

“Hei … a-apakah kita berhasil?” Chen bertanya di tengah gigil.

“Ya, kita berhasil,” Han memandangnya sedih, “sayangnya ada masalah lain.”

Chen terpaku. Beberapa langkah di depannya, Yifan terbaring tak sadarkan diri dan penuh luka. Yixing duduk di samping Yifan dengan kedua telapak tangannya bertumpu di dada sang pemimpin. Rupanya, kekuatan pemulih yang ia salurkan tidak direspon dengan baik oleh Yifan yang kehabisan energi, sehingga luka-luka di tubuh Yifan menutup amat lambat.

“Ayolah, kau harus bangun …. Zhulong tidak selemah itu, bukan?” gumam Yixing, tegang dan lelah. Tekanan kekuatannya begitu besar sampai-sampai terasa dari kejauhan.

“Gunakan saja kekuatanku!” Zitao meletakkan tangannya di atas tangan Yixing. Han buru-buru menepisnya, memutus arus energi Zitao pada Yifan.

“Kau juga butuh kekuatan untuk penyembuhanmu.”

“Tidak! Aku baik-baik saja. Yixing-ge sudah menyembuhkanku tadi, jadi biarkan aku membagi sedikit kekuatanku,” Zitao mendesak, “Hanya karena kau saudaranya, Han-ge, bukan berarti hanya kau yang berhak menolong Duizhang.

Langkah Chen memberat mendekati para pemuda Shandong itu. Pantaskah ia merangsek masuk dalam lingkaran mereka? Mengganggukah ia? Apakah kesetiaannya mampu mengalahkan kesetiaan para pemuda itu untuk satu sama lain? Ia tidak sehebat Yixing yang membelokkan kemampuannya memperbaiki sel tubuh manusia menjadi sesuatu yang merusak lantaran Zitao tersakiti. Tidak juga menyamai Zitao yang rela tertembus tombak demi melindungi Yixing, apalagi mensejajari Yifan yang tak takut terluka sebagai Zhulong untuk menjaga teman setimnya. Dia bahkan tidak sebanding dengan Han yang memohonkan perlindungan untuk ketiga rekannya, merendahkan harga diri di hadapan seorang prajurit kelas rendah.

“Jangan ragu untuk masuk. Kau adalah orang yang mereka inginkan, jadi jangan merasa tertolak.”

“Tapi, Senior …” Chen menoleh pada Xiumin, “… aku tidak menemukan kesetiaan yang sedemikian terjaga dalam diriku sendiri. Aku … tidak pantas ….”

Xiumin tersenyum.

“Tak ada kata ‘tak pantas’ dalam ikatan persaudaraan, terlebih jika mereka sendiri menerimamu menjadi saudara. Nah, sana pergi, Bocah Pemalu.” Dengan satu tangan, si prajurit senior mendorong adik kelasnya mendekati para pemuda Shandong, kemudian mengambil alih kemudi. Chen gelagapan karena ditinggal Xiumin, sementara tiga pasang mata telah berpindah kepadanya.

Senior jahat! Dia kan tahu aku tidak pandai bicara!

Masalahnya, Chen terlanjur ‘masuk dalam lingkaran’ yang tadi Xiumin maksud, maka ia harus mulai berkata-kata agar situasi tidak canggung. Ia angkat dua telapaknya, lantas berucap gugup:

“A-anu, saya … juga ingin membagi kekuatan saya yang tersisa untuk penyembuhan Tuan Yifan. Itu … kalau Tuan Yixing mengizinkan ….”

Dengan pandangan yang sukar dijelaskan, Yixing mempersilakan Chen meletakkan tangannya di atas tangan Zitao. Sang pengendali petir memicing ketika tenaganya ditarik sangat kuat keluar, dipindah ke raga Yifan oleh Yixing bersama kekuatan Zitao pula. Berkat tambahan energi mereka, Yifan mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan: helaan napasnya makin dalam, makin normal, dan tubuh pucatnya berangsur mendapatkan warnanya kembali, segar seperti sediakala. Yifan terbatuk kemudian dan orang-orang di sekelilingnya tersenyum lega.

Han tiba-tiba saja memeluk Chen, memotong sebaris ucapan syukur dalam benak sang prajurit.

“Tuan Han ….”

“Terima kasih telah menolong adikku, Chen. Kau telah memenuhi janji yang kita buat sepuluh tahun lalu. Sekali lagi terima kasih.”

‘Chen’. Lagi. Tanpa embel-embel ‘Tuan’.

“Kau …” bisik Chen di telinga Han, “… adalah anak yang kutolong dahulu, bukan?”

“Bodoh, baru sadar?” ucap Han gemas, “Memangnya siapa lagi yang dapat menarikmu dalam misi ini kalau bukan aku?”

Senyum Chen lama-lama berubah menjadi gelak.

Pantas saja segala hal tentangnya terasa familiar ….

“Bagaimana kau menemukanku?”

“Harta berharga mudah ditemukan orang yang bersungguh-sungguh mencarinya.”

Itu Yifan yang mengucapkan; ia sudah betul-betul siuman, rupanya. Biarpun masih lemas, ia cukup kuat untuk bicara—dan pilihan katanya cukup bagus untuk melambungkan hati Chen. Harta berharga yang Yifan maksud adalah Chen sendiri dan orang yang sungguh-sungguh mencari Chen adalah Han.

Apalagi yang lebih indah dari itu?

Untuk pertama kalinya selama misi, Yifan menyuguhkan keramahan pada Chen sebagai sebuah penyambutan.

“Selamat datang di armada kami.”

Langit gelap membuka diri, membiarkan cahaya matahari melalui celah-celahnya, menerangi Chen. Bibir sang prajurit muda melengkung manis dengan sudut yang kentara.

“Terima kasih telah menyambutku, Han, Yifan.”

***

“Akhirnya, pantai!”

Chen dan Yixing menelungkupkan diri di pesisir Pulau Taiwan. Pasir yang melekati kulit bukan masalah buat mereka yang ingin bersenang-senang selepas pertempuran alot. “Kuharap pelayaran yang berat ini tidak membuatku mabuk laut.” canda Chen kemudian.

“Pemenggal Shenlong bisa mabuk laut?” tanya Zitao ceria. Petarung yang memasang raut serius sejak berangkat misi itu kini bahkan membuka dirinya untuk Chen, meyakinkan Chen bahwa seluruh kelompok telah menerimanya. Chen hendak menjawab, tetapi Yifan telah menepukkan kedua tangannya keras, isyarat untuk berkumpul. “Berhenti bermain-main. Kita harus segera menemukan mutiara hitam di jantung pulau.” komandonya. Tiga anggota pasukan yang paling muda segera berdiri, takut-takut mengikuti sang pemimpin. Han terkekeh pelan. “Tak perlu terlalu kaku, Yifan. Kita semua butuh menenangkan diri usai pertarungan yang menguras tenaga.”

“Sang mutiara hitam tidak dapat menunggu,” Yifan berpaling pada saudara kembarnya, “dan kaulah yang paling diharapkannya.

Apa yang dibicarakan dua orang itu?, Chen mengernyit, Han ditunggu-tunggu oleh mutiara hitam? Bukankah mutiara hitam di pulau ini adalah benda mati; bisakah dia menunggu? Atau jangan-jangan—

“Tidak usah pusing memikirkan mereka. Jalan saja lebih cepat.” Xiumin memukul sayang puncak kepala juniornya.

“Duh, iya,” keluh Chen seraya mengusap ubun-ubunnya, “Kau tahu, misi ini penuh rahasia. Aku boleh dong penasaran?”

“Kalau aku bilang tidak boleh?” tantang Xiumin.

“Tidak akan berpengaruh juga padaku.” kata Chen cuek.

“Kalau Duizhang yang bilang?” tanya Yixing, menangkas cerdas keingintahuan prajurit sewaannya. Pemuda naga yang disebut Yixing tengah menatap Chen tajam. Ups, daripada salah bicara dan dibakar Zhulong, Chen memilih diam.

Seekor kupu-kupu hitam terbang melewati Chen dan hinggap di telunjuk Han.

“Aku tak pernah lihat kupu-kupu berwarna segelap itu di Paekche.” komentar Chen. Xiumin mengatupkan bibir adiknya supaya tidak berisik, lalu menunjuk Han dengan dagunya. Artinya, ‘tenang, Han sedang berkonsentrasi; semua diam, jadi kau juga diam’.

Konsentrasi … untuk apa?

“Berita baik,” Wajah Han berbinar, “Kita tidak perlu berjalan lebih jauh lagi. Sang mutiara berada di dekat kita dan kupu-kupu ini akan mengantar kita padanya.”

“Benarkah?” Mata Yixing melebar senang, “Akhirnya, kita akan bertemu dengan Perma—“

“Jangaaan!!!” Zitao membekap Yixing, tetapi buru-buru melepasnya karena Yixing tidak bisa bernapas.

Chen dibuat bertanya-tanya lagi.

Mereka benar-benar menyembunyikan banyak hal dariku.

“A-ah, ada baiknya kita segera bergerak,” Han mulai kikuk juga, “Chen, semuanya akan terjawab nanti. Tunggu saja.”

Kupu-kupu hitam membimbing para pemuda menuju sebuah danau yang dikelilingi rapat oleh pepohonan. Di tepi danau, banyak sekali kupu-kupu serupa, beterbangan melingkari seseorang yang berdiri memunggungi mereka. Seorang wanita. Ia mengenakan hanfu putih—gaun panjang khas kekaisaran—dengan selendang hitam melingkari lengan. Sebagian rambutnya tergerai melebihi punggung dan sebagian lagi digulung ke atas. Jepit emas berbentuk fenghuang—burung api—disematkan di sana.

Lambang burung api pada jepit wanita itu mengingatkan Chen pada sesuatu.

Namun, Chen mengurungkan niatnya bertanya sebab Han, Yifan, Yixing, Zitao, dan Xiumin tiba-tiba berlutut.

“Salam, Yang Mulia Permaisuri Song. Maafkan keterlambatan kami.” Han memberikan penghormatan. Si wanita berbalik dan tampaklah kecantikannya yang tak lekang dimakan usia. Chen sendiri merasa berdosa sudah melihat sekilas keindahan wanita itu.

Seseorang yang menerima lambang fenghuang jelas bukan wanita biasa.

Lambang itu hanya untuk wanita nomor satu di Kekaisaran Cina.

Tapi, bukankah hanya ada satu permaisuri, Yang Mulia Permaisuri Wang yang tewas diracun? Lalu siapa lagi permaisuri ini? Apa pula hubungannya dengan mutiara hitam Saudagar Li?, pikir Chen.

Si wanita berdiri di hadapan Han dan mengecup dahi si pemuda penuh rindu. “Bangkitlah, putraku, Pangeran Lu. Tak ada kesalahan yang perlu kumaafkan; kehadiranmulah satu-satunya yang kuharapkan,” —selanjutnya ia melakukan hal yang sama pada Yifan dan Yixing— “Aku turut berduka cita untuk ibumu, Pangeran Zhang.”

“Terima kasih, Yang Mulia Permaisuri, tetapi saya baik-baik saja,” Yixing tersenyum tulus, “Pangeran Lu, Pangeran Wu, Prajurit Huang, dan Xiumin melindungi saya dengan sangat baik; patutkah saya bersedih?”

Nah, semuanya makin membingungkan sekarang. Han, Yifan, dan Yixing, utusan saudagar Shandong itu, kini dipanggil Pangeran?

“Ada orang baru, ya?” Sang permaisuri memandang Chen, “Rasa ingin tahunya besar sekali; berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Siapa pemuda ini, Pangeran Lu, dan mengapa kau membawanya?”

Bagus, Permaisuri Song kelihatannya bisa membaca pikiran seperti anaknya. Chen tegang ketika sang permaisuri, diikuti beberapa kupu-kupu hitam kecil, menghampirinya.

Apa aku akan kena murka permaisuri baru ini?

“Angkat wajahmu, Prajurit Muda. Sebutkan siapa namamu, baru aku akan menjelaskan semua tentang diriku.”

Kupu-kupu Permaisuri Song kini terbang mengitari Chen—dan hati Chen menjadi lebih tenang. Kekuatan manipulasi perasaan milik Han pasti menurun dari wanita ini, jika Han betul-betul putranya.

“Nama saya Chen, prajurit dari Paekche, daerah selatan Korea, Yang Mulia.”

Sang permaisuri meletakkan tangannya di pipi Chen, mengejutkan si pemuda. Tangan itu halus, harum, dan sangat berhati-hati. Perlahan, tangan itu mengangkat wajah Chen. Sekujur tubuhnya kontan menjadi kaku, gugup, tatkala sang permaisuri tersenyum.

“Namaku Qian, dahulu dianugerahi gelar Permaisuri Song oleh Yang Mulia Kaisar. Kini, dengan keberadaanmu di sisiku, aku akan mengembalikan kehormatanku, anak-anakku, dan menyelamatkan negeri ini.”

***

Beberapa tahun sebelum Kekaisaran Cina menyerang Korea, Permaisuri Song dituduh melakukan perzinahan. Bukti-bukti disajikan di pengadilan, begitu kuat hingga Kaisar Langit mempercayainya, padahal Permaisuri Song tidak melakukan kejahatan itu. Sebagai hukuman, Permaisuri Song dibuang ke Pulau Taiwan. Dua putra kembarnya, Putra Mahkota Lu—atau Han—dan Pangeran Wu—atau Yifan, diturunkan dari posisi pangeran kelas tertinggi. Selir Suci Wang diberi lambang fenghuang dan putranya, Pangeran Zhang—atau Yixing—menjadi putra mahkota yang baru.

Ketika Cina menginvasi Korea, prajurit Korea berencana menyandera putra mahkota Cina supaya Cina menghentikan serangan. Masalahnya, Korea tidak mengetahui yang mana Putra Mahkota Zhang itu. Pangeran Lu, yang waktu itu berusia dua belas tahun, mengetahui rencana ini berkat kemampuannya membaca pikiran dan bersedia menggantikan posisi sang adik. Pangeran Wu dan Putra Mahkota Zhang tentu tak setuju, tetapi Pangeran Lu bersikeras bahwa rencananya akan melengahkan Korea dan memenangkan Cina. Akhirnya, Pangeran Wu mengizinkan kakaknya menjalankan rencana itu, dengan syarat Pangeran Lu harus mengirim pesan tentang keberadaannya melalui telepati.

Sesuai perkiraan, selama Pangeran Lu disandera, Korea benar-benar kehilangan kewaspadaan. Frekuensi serangan pasukan Cina yang menurun dikira gencatan senjata oleh Korea, padahal sebenarnya, Cina mempersiapkan pasukan yang lebih besar. Ketika Cina menggempur Korea secara total, barulah para tentara sadar mereka menculik orang yang salah. Para prajurit hendak membunuh sang pangeran, tetapi dengan sisa tenaganya, Pangeran Lu berhasil kabur.

Pangeran yang terlampau muda itu berjuang seorang diri. Dengan langkah terseok, sang pangeran mengetuk pintu belakang sebuah rumah.

Chen panik mendapati seorang anak berlumur darah di balik pintunya.

Orang tua dan kakak lelaki Chen ikut bertempur, sehingga dia seorang diri di rumah. Ia tak tahu cara mengobati orang, tetapi Pangeran Lu tidak meminta itu. Sang pangeran hanya ingin merasa aman di dekat seseorang yang ia percaya.

“Orang dewasa selalu serakah. Perang, perang saja yang ada di pikiran mereka,” Kepala sang pangeran terkulai lemas di pelukan Chen, “Maafkan kaisarku. Dia kadang sembarangan menyetujui pendapat para menteri tanpa mempertimbangkan dampaknya.”

Sang pangeran tidak menyebutkan siapa dirinya; Chen hanya tahu dia dari Kekaisaran Cina, jadi bukan hal yang aneh kalau Pangeran Lu menyebut ayahnya sendiri dengan ‘kaisarku’.

“Mengapa kau minta maaf?” Chen kecil mengeratkan pelukannya pada sang pangeran, “Justru aku yang harus minta maaf atas kekejaman para prajurit yang menyiksamu selama penyanderaan!”

Pangeran Lu tersenyum getir. “Aku ini musuhmu, lho.”

“Biar orang-orang dewasa saja yang bertengkar. Anak-anak tidak saling membenci! Tidak peduli dari Paekche atau Luoyang, kita adalah teman!”

Setahu Pangeran Lu, walaupun perang sebenarnya urusan orang-orang istana saja, seluruh rakyat pada akhirnya akan membenci negara yang memerangi mereka. Chen betul-betul aneh di mata sang pangeran yang mengerti politik—

—tetapi bukankah anak-anak harusnya begitu: bersahabat?

Pintu Chen didobrak. Tentara-tentara Korea menyerbu masuk. Chen menyembunyikan sang pangeran di balik tempat air, lalu dengan berani menghadapi para prajurit, mengatakan bahwa tawanan mereka tidak ada di sini. Para prajurit tidak percaya; mereka menemukan Pangeran Lu dan menyeretnya keluar.

“Kalian tidak boleh menyakitinya! Dia temanku! Dia temanku!”

Seorang prajurit mengempaskan Chen dan menyeret Pangeran Lu dengan menarik rambutnya, seakan-akan pangeran itu sampah. Chen marah. Setengah sadar, ia memunculkan petir seukuran orang dewasa dan menghanguskan para prajurit. Sadar akan perbuatannya, Chen ketakutan. Han mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memeluk Chen yang menggigil.

“Chen …” Han menutup mata kawannya, “Tenanglah.”

“A …” Chen terisak, “… aku membunuh ….”

“Tidak. Akulah yang jahat … karena sudah membuatmu membunuh ….” sesal Han, “Maaf ….”

Beruntung, sebelum situasi bertambah rumit, Pangeran Wu dan Putra Mahkota Zhang menemukan anggota keluarga mereka yang sengaja menyesatkan diri di Korea itu.

“Astaga!” Putra Mahkota Zhang memeluk sang kakak, “Tunggu sebentar, aku akan menyembuhkanmu!”

Seluruh tubuh Putra Mahkota memancarkan sinar redup, melingkupi Pangeran Lu dengan kehangatan. Chen mematung menyaksikan proses penyembuhan yang dilakukan sang Putra Langit.

“Kau! Apa yang kaulakukan pada kakakku?!”

Chen gemetar. Pangeran Wu tampak sangat marah.

“I-itu … bukan aku yang melakukannya … tapi me-mereka ….” Chen menunjuk mayat-mayat hangus yang bergelimpangan di lantai dapur. Pangeran Wu membakar mereka dengan api yang sangat besar dari tangannya. Dalam sekejap, tubuh-tubuh itu berubah menjadi abu dan Pangeran Wu kembali mencecar Chen.

“Apa kau mengkhianati negaramu sendiri? Membiarkan prajurit-prajuritmu tewas tanpa membantu mereka? Tindakan macam apa itu?”

“Bukan ….” Leher Chen tercekat, nyaris menangis, “Aku menyayangi negeriku, tetapi aku tidak bisa membiarkan kakakmu terluka …. Dia kan tidak bersalah …. Mengapa mereka mau membunuhnya?”

Seseorang yang mempertahankan kebenaran, terlepas dari batas wilayah dan politik, hampir tidak pernah Pangeran Wu temui di Istana.

“Jangan bakar dia, adikku. Dia anak yang baik—dan aku memiliki rencana lain untuknya.” bisik Pangeran Lu. Pangeran Wu menghembuskan napas panjang. “Apa lagi? Terbang dari Hangzhou ke sini untuk menyelamatkanmu sudah makan tenaga banyak, sekarang kau punya ide lain?”

“Tidak dilaksanakan dalam waktu dekat, kok,” Pangeran Lu tersenyum penuh rahasia, “Ini berhubungan dengan kebebasan ibu permaisuri kita dari Taiwan.”

Pangeran Wu mendengus kesal. Kakaknya selalu berhasil meluluhkan hatinya.

Ketiga pangeran kembali ke istana setelah Pangeran Lu mengikat janji dengan Chen.

“Berjanjilah, jika kita bertemu lagi, kita akan menjadi teman yang saling melindungi!”

Chen dan Pangeran Lu menjaga janji itu dengan sama-sama memperkuat diri mereka.

Waktu bergulir. Pangeran Lu kehilangan jejak sahabatnya, tetapi kepala pengawal putra mahkota, Kapten Huang—atau Zitao, mengenalkannya dengan seorang anggota pasukan pengawal kerajaan yang baru. Prajurit ini salah satu yang diambil dari Korea dan teruji kesetiaannya.

Dia Xiumin.

Suatu hari, sebuah pesan dari kupu-kupu hitam tiba pada Pangeran Lu, mengabarkan bahwa Permaisuri Song baik-baik saja. Sang permaisuri hanya belum bisa mengirim kabar menembus perisai kuat yang ‘ditanam’ Kaisar Langit pada masa sebelumnya di Taiwan. Ia juga mengatakan bahwa semua prajurit yang menangkapnya ternyata bukan orang Cina, tetapi orang Mongolia yang menyamar sangat sempurna—dan mereka telah kalah oleh kekuatan ilusi sang permaisuri. Diduga, orang-orang ini ingin melemahkan Cina dengan menyingkirkan Permaisuri Song yang cerdas, tetapi rencana mereka tidak berhasil karena Permaisuri Song menghabisi mereka di Taiwan. Pangeran Lu diminta berhati-hati.

Prediksi Permaisuri Song tepat, tetapi Pangeran Lu terlambat mengetahuinya. Pelayan utusan Mongolia itu dieksekusi, begitu pula semua mata-mata supaya tidak melapor. Dalam keadaan darurat, Pangeran Lu dan empat orang lainnya berusaha mengarungi Laut Cina Selatan menuju Taiwan, tetapi segel lama buatan Kaisar Langit tidak tertembus.

Pangeran Lu kemudian teringat dengan seseorang di masa lalunya. Bagaikan kebetulan, Xiumin mengenali orang ini dan membawanya langsung ke hadapan sang pangeran.

***

Pagi-pagi buta, kapal berlayar menuju Hangzhou. Penumpangnya bertambah satu orang: sang permaisuri baru, ‘mutiara hitam’ Kekaisaran. Wanita ini menjadi amunisi rahasia Cina, maka kehadirannya akan terus disembunyikan oleh para pangeran dan prajurit hingga rencana tersusun matang.

“Maaf menipumu, Chen.” ucap Han, atau Pangeran Lu, seraya tertunduk, segera setelah kapal berlayar.

“Tidak masalah, Pangeran. Jika Pangeran tidak melakukan ini, bahaya yang dihadapi Permaisuri akan lebih besar,” Chen menggerak-gerakkan tangannya cepat, “Selain itu, dalam misi ini banyak sekali hal menyenangkan yang tidak terduga. Bertemu dengan Pangeran, terlibat dalam pertarungan hebat, belajar bekerja sama, menemukan Permaisuri … semuanya sangat luar biasa!”

“Kau orang yang bersemangat,” Han, atau Pangeran Lu, meninju pelan lengan atas Chen, “Padahal, di masa depan, akan lebih banyak hal mengejutkan. Sebagian besarnya kukira tidak terlalu bagus.”

“Apa maksud Pangeran?”

Pangeran Lu memeluk lututnya. “Perang, rencana licik, penataan ulang hierarki di pemerintahan… pasti makan waktu yang lama. Terlebih, jika Yang Mulia Permaisuri kembali, besar kemungkinanku mendapatkan gelar Putra Mahkota lagi.”

“Lalu kenapa?” Chen menaikkan alisnya, “Sebuah gelar tidak akan jatuh ke tangan orang yang salah. Selama Pangeran berada di jalan kebenaran, kami semua siap membantu!”

“Begitukah?” Pangeran Lu tersenyum, “Bertemu dengan orang sesetia kau adalah anugerah langit, kau tahu.”

Chen jadi malu.

“Dan karena itu, aku punya sebuah rencana untuk merekomendasikanmu sebagai anggota pasukan khusus pengawal Putra Mahkota.”

Hah?

“T-tunggu dulu!” Chen gugup, “A-apa itu tidak terlalu cepat? Saya belum terlatih untuk m-melindungi keluarga kerajaan dan t-tiba-tiba…”

“Wah, ada yang kena jebakan lagi!” teriak Xiumin yang sedang mengemudikan kapal tanpa berpaling ke belakang. Siapa  pun jelas tak sanggup jika mendadak ‘dibebani’ tugas seberat itu, tetapi kalau Pangeran Lu yang memerintahkan, mulut ini sulit mengatakan tidak. Itulah jebakan yang Xiumin maksud. Hal yang sama terjadi padanya dan Kapten Huang ketika ‘dipaksa’ mengajukan diri sebagai kepala dan wakil kepala pasukan pengawal Putra Mahkota. Kalau Pangeran Wu dan Pangeran Zhang … jangan ditanya berapa kali mereka berhasil dirayu Pangeran Lu.

“Baiklah, sudah diputuskan!” Pangeran Lu merentangkan tangan ke atas dengan lega, “Kalau aku jadi Putra Mahkota, aku akan merekomendasikan Chen untuk pasukan pengawalku! Lalu aku akan tunjuk Pangeran Zhang jadi kepala tabib! Oh, aku juga akan memasukkan Yifan dalam daftar calon ahli strategi—“

Nama-nama yang diajukan buru-buru melayangkan protes, tetapi Pangeran Lu keras kepala. Keramaian di geladak ini malah menimbulkan kedamaian yang aneh dalam hati Permaisuri Song. Kedekatan para pangeran dan prajurit muda memberinya kepastian bahwa setelah Kaisar Langit turun tahta, akan ada generasi baru berhati murni yang menggantikannya.

***

TAMAT

6 tanggapan untuk “[EXOFFI FREELANCE] Black Pearl [2/2]”

  1. Wow ini pertamakali loh baca ff yang genre kayak gini dan ternyata nggak bikin bosan kayak yg sering aku pikirin 😀
    di tunggu karya2nya yg lain yah^^

Tinggalkan Balasan ke Muktyy Batalkan balasan