Regret (Chapter 5)

Regret

REGRET – Chapter 5

.

D.O.ssy present

Cast Luhan, Kim Ji Hye (OC), Kim Jongin (EXO), Yoon Jeonghan (Seventeen) | Genre Romance, Angst | Length Chaptered | Rating PG-17 | Poster credit Jo Liyeol

.

Beside the story, I own nothing.

.

Ini untuk 17 tahun ke atas ya please. Aku udah kasih peringatan dini, karena di fanfic ini banyak terdapat kata-kata kasar yang tidak pantas ditiru.

.

PreviousChapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4

.

“Aku menyesal jadian denganmu.”

.

 

“Jadi bagaimana menurutmu, Lu?”

 

Tidak ada jawaban.

 

“Hei Lu, kau mendengarku?”

 

Tetap tidak ada jawaban.

 

“Luhan!” panggil gadis bersurai hitam ikal itu setengah berteriak, lantas mengguncangkan punggung tangan Luhan di atas meja.

 

“Ah, ya? Anna.” Akhirnya Luhan merespon. “Emm …. Ya, a-ada apa? K-kenapa?”

 

Gadis yang dipanggil Anna bersedekap seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ia memicingkan matanya, mengamati pria yang duduk di hadapannya. Tampak kacau, linglung, bingung, panik, gelisah, umpama orang yang baru saja tertimpa musibah dan kehilangan rumah, lalu tak tahu harus pulang ke mana.

 

“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau ini sebenarnya kenapa sih, Lu? Tak seperti biasanya.”

 

Lagi-lagi Luhan terdiam. Menerawang pada lalu lalang orang di dalam kafe tempat mereka berdua bertemu ini. Anna jadi jengah sendiri. Pasalnya ia ditelepon Luhan untuk menemaninya makan malam, namun si pemuda tampan yang sedang galau itu sama sekali tak menyentuh steak yang dipesannya, dan malah sibuk dengan lamunannya tanpa mau menceritakan apapun pada gadis itu.

 

Anna benci dikacangi, tapi demi sahabatnya ia harus rela bersabar. Agaknya Luhan memang tengah dilanda masalah besar.

 

“Mungkin kau sedang tidak berselera makan. Biar kuantar kau pulang menggunakan mobilku, Lu. Aku khawatir kalau kau menyetir sendirian.” Akhirnya Anna memutuskan untuk menyudahi secara sepihak acara dinner ini sebab kondisinya betul-betul tidak nyaman.

 

Bahkan di mobil, tak sepatah kata pun keluar dari bibir Luhan. Sungguh aneh. Dalam keadaan normal, seberat apapun duduk perkaranya, lelaki itu pasti akan berkeluh kesah pada Anna, sahabatnya sejak kecil. Lalu si gadis, meski terkadang keberatan, tetap akan meladeni curhatan Luhan. Tapi sekarang? Jangankan berbicara, menatap Anna saja tidak!

 

“Mau kutemani malam ini?” tanya sang gadis sesampainya di apartemen Luhan.

 

Laki-laki itu menggeleng lemah, enggan berucap. Anna berdecak kesal. Lihatlah! Ada apa sebenarnya dengan sahabatnya? Sampai-sampai tawaran gadis itu ditolaknya mentah-mentah. Biasanya, Anna selalu mampu membuat Luhan sedikitnya lupa akan masalahnya. Sekarang? Boro-boro.

 

Sejujurnya itu membuat Anna frustasi. Bagaimanapun, Luhan adalah teman terdekatnya, malahan telah ia anggap saudaranya sendiri. Setidaknya ia harus tahu persoalan yang menimpa Luhan, kemudian pulang ketika pria itu sudah agak baikan. Bukannya seperti ini!

 

Si gadis mendesah berat, mencoba mengerti, mungkin Luhan butuh sedikit waktu guna menenangkan diri. “Ya sudah, aku pulang. Istirahatlah. Jangan berbuat hal bodoh. Apalagi sampai bunuh diri,” pamitnya, lantas berjinjit untuk mengecup bibir Luhan sekilas.

 

Tak disangka justru kecupan itu membawa ekspresi berbeda di wajah sang lelaki. Luhan terkejut, dan mundur beberapa langkah.

 

“Anna!” Dengan cepat Luhan tangkap lengan si gadis yang telah berbalik untuk pulang.

 

“Ada apa?”

 

Luhan mematung sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Cium aku, sekali lagi.”

 

Anna membulatkan matanya heran. Tak sewajarnya Luhan bersikap demikian. Bukankah biasanya, jika Luhan mau, ia bebas mencium Anna? Kenapa sekarang meminta?

 

Ah, apapun itu, Anna tak mau ambil pusing. Ia sambut saja permintaan Luhan, yang akhirnya mau bersuara itu, dengan sebuah senyuman. “Dasar! Kalau mau dicium, bilang dari tadi!” ucapnya sembari menarik jaket Luhan, mendaratkan bibir ranumnya di bibir Luhan. Mengulumnya sebentar. Lalu melepasnya.

 

“Lagi.”

 

Alis Anna bertaut.

 

“Lakukan lagi, Anna.”

 

“Kau kenapa sih, Lu? Sikapmu benar-benar membuatku bingung.” Jelas saja Anna heran. Sedari tadi Luhan bungkam, kemudian meminta ciuman, lantas selepas dicium, lalu meminta lebih. Apa maunya?

 

“Lakukan saja, seperti yang biasa kita lakukan.”

 

Kalau yang dimaksudkan Luhan adalah ciuman panas yang biasa mereka lakukan, maka ini akan berlangsung lama, tetapi setidaknya Luhan akan berubah baikan. Jadi gadis itu tak keberatan. Hanya saja untuk kali ini, itu tidak berlaku lantaran Luhan tak kunjung merespon, hanya diam membatu merasakan tiap sentuhan lembut yang Anna berikan di bibirnya tanpa berniat sedikit pun membalasnya. Aneh, bukan? Bahkan tatkala gadis mungil itu mulai memperdalam pagutannya, Luhan sama sekali tak menikmatinya. Ia betul-betul diam, membiarkan Anna memanuver bibirnya. Namun, di situlah Anna menyadari satu hal.

 

“Cukup, Anna.” Luhan mendorong pelan bahu gadis itu hingga tautan mereka terlepas, menyisakan Anna yang mengulum senyum geli.

 

Kening Luhan mengernyit melihat ekspresi si gadis. “Kenapa?”

 

Detik berikutnya meledaklah tawa Anna. “Oh, ternyata. Sikap janggalmu itu karena dia.”

 

“Maksudmu?”

 

Dan tawa Anna semakin keras. “Kalau jatuh cinta bilang saja, Lu. Jangan seperti orang kena gejala disfungsi jiwa.”

 

Luhan mendadak berubah gelagapan. “Hei, hei, hei … sebentar! Aku tidak mengatakan kalau—“

 

“Masih mau menyangkal? Aku telah mengenalmu selama enam belas tahun, Lu. Aku masih ingat keadaanmu saat pertama kali jatuh cinta kelas lima SD dulu. Rupanya kau tidak berubah, justru makin parah.”

 

Luhan jadi panik. “Anna—“

 

“Jahat sekali kau, Lu. Menggunakan ciumanku sebagai bahan perbandingan untuk memastikan perasaanmu.”

 

“Ayolah, aku tidak—“

 

“Shhuuuuttt!” Anna menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Luhan. “Aku tidak ingin dengar segala macam alasanmu. Cukup jawab pertanyaanku, kau sedang jatuh cinta pada seseorang, ya atau tidak?”

 

“A-aku … tidak ….”

 

“Luhan-ah. Jujurlah.”

 

“Aku ….”

 

“Hm?”

 

“Aku tidak tahu, Na!”

 

“Astaga, Luhan! Berapa sih umurmu? Sudah dua puluh tahun masih belum bisa menyadari perasaan sendiri? Dasar bocah! Kau tampak serupa ABG labil yang baru kemarin mengenal lawan jenis!”

 

Luhan tertunduk malu. Mukanya memerah, antara tak terima dikata-katai demikian, tapi juga menyadari bahwa apa yang diutarakan sahabatnya itu benar adanya. “A-aku memang … masih ragu-ragu.”

 

Duh, Anna memijat sedikit pelipisnya, tak habis pikir dengan pria di hadapannya. Mana cerita orang mengenai Luhan yang populer di kampus elitnya karena kepintarannya itu? Bagi Anna, Luhan tetaplah lelaki yang sok-sokan terkenal, padahal bodoh. Masalah cinta saja, ia sepayah ini. Mungkin, Anna pikir, ini masih dampak dari buruknya latar belakang keluarga Luhan yang membuatnya kekurangan kasih sayang. Dan Anna tak menyangka bahwa hal itu masih berlanjut hingga sekarang.

 

Gadis itu menarik tangan Luhan, meletakkannya pada dada bidang si laki-laki tampan yang kebingungan. Tepat di bagian kiri, tempat jantung berada. “Pernahkah kau merasakan debaran aneh saat bersamanya?”

 

Luhan mengangguk rikuh.

 

“Lalu bagaimana saat bersama gadis lain? Saat bersamaku? Dan setelah menciumku? Kau merasakan debaran yang sama?”

 

Luhan menggeleng, seperti anak kecil.

 

“Itu namanya cinta, bodoh!”

 

Luhan menggigiti bibir bawahnya. Benar-benar membuat Anna gemas. “L-lalu, aku harus bagaimana, Na?”

 

“Tentu saja, menyatakan perasaanmu.”

 

“Dia akan menolakku.”

 

“Kau belum mencobanya.”

 

“Aku bukan lelaki baik-baik yang cocok untuknya.”

 

“Kalau begitu, berusahalah berubah, demi dia.”

 

“Dia … sudah punya kekasih.”

 

Kali ini Anna menepuk dahinya frustasi.

.

***

.

“Jadi kau memaksaku kemari cuma ingin menanyakan hubunganku dengan Ji Hye?” Kai melipat tangan di depan dada, seraya menyandarkan punggungnya. Kesal bukan kepalang, setelah dengan segala hormat terbangun dari mimpinya lantaran telepon dari Yang Mulia Luhan yang memberikan titah secara langsung untuk menemuinya di kedai kopi pada pukul sebelas malam ini.

 

“Tak usah banyak bicara, jawab saja pertanyaanku.”

 

Udara sangat dingin kala itu, Kai berfantasi, mungkin jika ia bermain-main sedikit dengan Luhan maka tubuhnya akan hangat. “Kau sudah tahu sendiri ‘kan jawabannya selepas melihatku berciuman dengan Ji Hye kemarin malam.” Ia menyeringai licik.

 

“Cih. Menangislah karena nyatanya ia tidak menyukaimu sama sekali, Kai. Gadis itu hanya mencintaiku seorang.”

 

“Terserah apa katamu, yang penting dia milikku sekarang.”

 

“Itu takkan bertahan lama.”

 

“Jadi kau ingin merebutnya dariku, hah? Coba saja, kalau bisa.”

 

“Tentu. Dengan sangat mudah aku akan mendapatkannya kembali.”

 

Kai tergelak, meremehkan. “Ia tidak akan terperangkap lagi permainan busukmu, Lu.” Ia menyeruput sedikit kopi panasnya, kemudian berujar, “aku mencintai Ji Hye dan akan melindunginya.”

 

“Aku tidak sepalsu itu, Kai.” Luhan memejamkan mata sekilas. “Aku mencintai Ji Hye dan tak akan pernah menyakitinya.”

 

Kai tertegun mendengar pengakuan Luhan. Betulkah apa yang telinganya tangkap barusan? Mungkinkah ia bermain-main lagi? Kai mengalihkan tatapan pada manik kembar milik Luhan. Diperhatikan sebagaimanapun tak terbesit kedustaan dalam isyarat pancaran kedua bola mata pemuda yang lebih kecil darinya itu.

 

Luhan serius mencintai Ji Hye!

 

Kai mengembangkan senyum samar. “Akhirnya kau mengakuinya juga. Dasar tolol. Haruskah dengan cara kekerasan baru kau sadar? Aku kesulitan makan gara-gara luka di bibirku ini, brengsek. Padahal aku tak sekeras itu memukulmu.”

 

“Oh maaf, tanganku sangat ringan.” Luhan tersenyum miring. “Maka dari itu kukatakan, bersiap-siaplah menelan kekalahan, karena rasa sakit di bibirmu tak akan seberapa dibandingkan perihnya patah hati.”

 

“Kau mengajakku bersaing? Cih, kuperingatkan untuk berhenti sebelum kau gigit jari.”

 

Kali ini Luhan terbahak. “Lihat saja nanti, keparat.” Ia mengecek arloji di pergelangan tangannya. “Pukul dua belas malam tepat. Aku harus pergi. Terima kasih sudah menemani. Sampai jumpa, calon pecundang. Aku tidak sabar melihat wajah frustasimu setelah Ji Hye memutuskanmu, tak akan lama lagi. Hahaha.”

 

Luhan beranjak, meninggalkan Kai sendirian yang mengerang sebal. Semudah itukah menyuruh orang bangun untuk bertemu, kemudian meninggalkannya begitu saja setelah ia rasa urusannya selesai? Sejemang, Kai menyesal telah dengan bodohnya membuang-buang waktu tidurnya yang berharga demi si brengsek Luhan yang berlaku seenaknya.

 

“Angkuh sekali dia,” decaknya seorang diri. “Padahal naif,” lanjutnya, tertawa ringan.

 

“Mahasiswa cerdas yang meraih IPK nyaris sempurna, ternyata bisa berubah idiot karena cinta.” Kai menyesap kopinya santai, sedangkan otaknya terus memaksanya untuk mengilas balik percakapan dengan Ji Hye di waktu silam.

.

*

.

“Begitu.”

 

“Kau marah?”

 

“Tidak.”

 

“Kenapa? Dia selalu bermain-main dengan banyak perempuan, Hye. Putuskan saja!”

 

“Kau bilang sendiri kalau Luhan selalu berkencan dengan gadis-gadis tak lebih dari tiga bulan ‘kan. Sedangkan kami telah berhubungan selama dua tahun, Jo. Tak peduli dengan semua gadis yang dikencaninya, ia tak pernah memintaku putus, ia tak pernah berbuat macam-macam, ia selalu kembali padaku. Itu artinya ia menyukaiku juga ’kan?”

 

“Luhan tidak pernah menyukaimu, Hye! Kau akan melihat kebusukkannya nanti.”

 

“Tak apa. Aku tidak peduli.”

 

“Hye ….”

 

“Aku mencintainya, Jo. Lebih dari apapun. Aku ingin selalu berada di sampingnya. Jadi kumohon, jangan ganggu aku.”

.

*

.

“Sudah kubilang, Luhan itu pria brengsek! Kenapa kau terus membelanya? Ia mencampakkanmu, Hye. Di matanya, kau tidak berharga, sama seperti gadis-gadis lain.”

 

“Kau salah, Jo. Luhan masih membutuhkanku. Ia baru saja meneleponku lagi, aku akan pergi ke apartemennya sekarang.”

 

“Berhenti, Hye! Ia hanya memanfaatkanmu …. Kim Ji Hye, tunggu!”

 

“Jangan mengikutiku!”

 

“Aku akan mengikutimu sampai kau berhenti berbuat hal sia-sia ini lagi.”

 

“Ia membutuhkanku, Jo! Ia pasti sedang menangis sekarang. Aku harus ke sana, menemaninya. Jadi, jangan halangi aku!”

 

“Hye, mengertilah. Aku begini demi kebaikanmu. Aku tidak ingin melihatmu terluka lagi akibat ulah si keparat itu!”

 

“Lepaskan aku, Jo!”

 

“Hye, kumohon ….”

 

“Lepas!”

 

“Tidak! Aku tak mau melepaskanmu pada Luhan. Tidak untuk kedua kalinya.”

 

“Kim Jong In …. hhmmmppp.”

.

*

.

“Kalau sudah begini, aku takkan pernah punya kesempatan.” Kai membuang pandangannya ke arah jendela, menyawang pemandangan di luar sana yang terlihat cukup sepi, semata-mata menyembunyikan bulir bening sialan yang nampaknya akan bocor sebentar lagi. Ia tahu bahwasanya dirinya bukanlah saingan Luhan jikalau berbicara mengenai Ji Hye. Sebab akan sangat mustahil berada di tengah-tengah mereka, terlebih kini Luhan menyadari perasaannya sendiri. Namun, untuk sementara biarlah Luhan menganggap dirinya adalah rival berat. Sekurang-kurangnya, hingga sahabatnya itu paham pentingnya presensi cinta serta kasih sayang dalam hidupnya.

 

Juga, mengenai ciuman itu, Kai harap Luhan tak tahu cerita yang sesungguhnya. Dan hei, agaknya hanya Kai yang menganggap Luhan adalah sahabat, tidak dengan sebaliknya.

 

“Bagaimana rasanya patah hati, Lu? Perih ‘kan? Aku sudah pernah merasakannya. Ratusan kali lipat lebih parah dari yang kau alami,” gumam Kai pada dinginnya angin malam.

.

***

.

Sore hari itu, Luhan berdiri gelisah di depan gedung fakultas ekonomi dengan keringat yang bercucuran di pelipisnya. Terang saja, mengingat jarak antara fakultas mereka yang cukup berjauhan dan menghabiskan banyak energi untuk sampai ke sana. Ia mondar-mandir sembari mengecek berkali-kali arlojinya. Tidak ada waktu untuk membetulkan penampilan atau berdandan ria di toilet lantaran kelas Ji Hye akan selesai beberapa menit lagi.

 

Luhan mengobrak-abrik isi kepala. Kalau boleh jujur, ia belum siap. Ia bingung harus seperti apa nantinya menghadapi gadis itu? Ia harus memulai dari mana? Ia harus mengatakan apa? Apakah meminta maaf terlebih dahulu? Seperti apa? Bagaimana caranya? Sementara ‘memohon maaf’ adalah salah satu hal yang sangat jarang Luhan lakukan.

 

Siapapun yang bisa, tolong tarik turun gengsi Luhan yang masih setinggi bintang di angkasa itu.

 

Tak lama, mahasiswa-mahasiswi fakultas ekonomi—yang kebanyakan dari mereka membawa buku setebal tiga kali sol sepatu di tangan—berhamburan ke luar gedung. Luhan bersembunyi di balik pohon seperti orang idiot, dengan alasan tidak ingin terlihat ‘menunggu seseorang’, walau pada nyatanya hal itu justru membuatnya tampak semakin kentara.

 

Kim Ji Hye. Gadis polos, lugu, manis, hangat, penuh perhatian, agak tomboy, tidak punya selera fashion dan hidupnya membosankan (hanya itu yang Luhan tahu tentang gadisnya) akhirnya muncul.

 

APA-APAAN!

 

Mengapa gadis itu menggerai rambut cokelatnya? Mengapa gadis itu memakai lipstick? Mengapa gadis itu menggunakan rok? Dan yang lebih penting, mengapa gadis itu cantik sekali hari ini?

 

Luhan kesusahan menelan salivanya. Keringat dingin berlomba-lomba ke luar dari jaringan kulitnya. Jantungnya berdentam-dentam bagai hendak meledak sepersekian detik berikutnya. Kakinya tak mau berhenti gemetaran dibuatnya. Luhan mendadak jadi salah tingkah dan lupa segalanya, lebih-lebih ketika mengetahui Ji Hye berjalan ke arahnya (maksudnya ke arah pohon tempat Luhan bersembunyi).

 

Oh, beginikah rasanya dihajar penyakit asmara?

 

Ingin sekali Luhan peluk erat-erat tubuh mungil itu, melampiaskan kerinduan berlebih yang menghinggapinya, seandainya saja otaknya betul-betul tidak mau berfungsi untuk mengingat penampilannya yang sangat tidak keren saat itu. Wajahnya penuh keringat, rambutnya acak-acakan, kemejanya sedikit kusut, ditambah … tubuhnya tidak wangi dan ia lupa membawa parfum!

 

BRUKKKK!

 

“Ah!”

 

Sementara Luhan disibukkan mencari akal mengenai penampilannya, ia dikejutkan dengan bunyi buku-buku berjatuhan ke tanah, yang ternyata Ji Hye-lah asal muasal suara itu. Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar, agak urakan, memakai topi, masker dan jaket kulit, menabraknya, menjatuhkan dokumen-dokumen dan buku ekonomi tebal si gadis, kemudian tanpa tanggung jawab sedikitpun, ia berlalu begitu saja.

 

Rasa-rasanya Luhan berhasrat sekali untuk menendang bokong lelaki itu. Akan tetapi, bukankah menolong Ji Hye jauh lebih penting? Seharusnya Luhan bersyukur karena ini adalah kesempatannya mendekati gadis yang kerepotan memunguti berkas-berkasnya itu. Namun—

 

Noona, kau tak apa?”

 

Luhan menghentikan langkahnya, mengurungkan niatnya, tatkala seseorang bertubuh agak kurus, berambut cokelat kastanye sebahu, tiba-tiba muncul mendekati si gadis seraya membantunya.

 

“Yoon Jeonghan?”

 

“Laki-laki tadi kurang ajar sekali, Noona. Kau tidak terluka ‘kan?”

 

“Ya, aku baik-baik saja.” Ji Hye tersenyum. Iya, tersenyum. Pada pemuda bernama Yoon Jeonghan. Sedangkan Luhan hanya dapat mengintip dari balik pohon sambil mengepalkan tangannya geram.

 

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang boleh mendapatkan senyuman Kim Ji Hye. Ia milikku!

 

“Syukurlah. Noona pulang sendirian kah?”

 

“Eumm.” Ji Hye mengangguk. “Kenapa memangnya?”

 

“Baguslah! Noona ikut saja denganku. Biar kuantar pulang dengan motorku.” Wajah Jeonghan berseri-seri.

 

“Ah, tak perlu repot-repot, Jeong.”

 

“Tak usah sungkan, Noona. Rumah kita searah.”

 

“Hmmm—” Gadis itu terlihat berpikir sejenak.

 

Tolak saja, Hye! Jangan mau diajak pulang bersamanya!

 

“—Baiklah.” Ji Hye mengiyakan dan Luhan menganga tak percaya. Apalagi ketika si gadis tak menolak tangannya digamit oleh lelaki centil itu.

 

Tertutup apanya? Sulit didekati pria manapun bagaimana? Omong kosong semua yang dikatakan Kai! Lihatlah cara Ji Hye meladeni celotehan-celotehan gombal Jeonghan. Itukah yang dinamakan ‘tidak bisa didekati’?

 

Luhan muak. Luhan naik pitam. Luhan marah. Namun, entah ditujukan pada siapa. Antara ingin menonjok bibir jontor Kai beserta segala bualannya, atau memotong rambut Jeonghan beserta segala keganjenannya, atau memarahi Ji Hye yang tahu-tahu berubah jadi feminin beserta kepolosannya, atau menampar keras-keras wajahnya sendiri beserta ketololannya. Semestinya tadi Luhan tarik tangan Ji Hye untuk ikut bersamanya, bukannya malah bersembunyi dan menyaksikan gadisnya diajak laki-laki lain. Luhan merutuki sifat pengecutnya yang menjadi-jadi!

 

Tanpa disadari, seseorang memerhatikan Luhan dari kejauhan. Pria berperawakan tinggi besar berjaket kulit itu melepaskan topi dan maskernya, menampakkan kulit tan eksotisnya serta seringai remehnya. “Cih. Angkuh, tapi naif.” Ia tertawa sinis. “Padahal sudah kuberi kesempatan, tapi disia-siakan. Bodoh sekali!”

.

***

.

“Si Jeonghan itu berani-beraninya mendekati gadisku. Aku akan mengajaknya berkelahi kapan-kapan!” gerutu Luhan, membolak-balik daftar menu di gerai es krim ini.

 

“Jeonghan? Siapa? Bukankah sainganmu adalah Kai?”

 

“Hmm. Mahasiswa tingkat satu, jurusan bisnis. Adik tingkat Ji Hye di fakultas ekonomi, sekaligus juniorku di klub musik.”

 

Anna tergelak. “Kau kalah dari junior sendiri? Hahaha.”

 

“Berhenti tertawa, Anna! Bukannya bersimpati, kau malah membuatku terlihat semakin buruk.”

 

“Berkelahi sangat tidak elit, Lu. Ajak ia bertanding.”

 

“Akan kupikirkan.” Luhan kembali berfokus pada daftar menu, agaknya menemukan hidangan yang cocok untuk dipesannya. “Aku akan memesan dua porsi es krim parfait. Bagaimana denganmu?”

 

Sudut bibir ranum Anna terangkat. Sudah lama sekali rasanya semenjak ia saksikan Luhan sebersemangat ini. Amat menyenangkan melihat sahabatnya itu menggebu-gebu layaknya hendak pergi berlomba mengejar cinta. Perlu Anna akui, Luhan sangat lucu dan menggemaskan saat kasmaran, seperti sepuluh tahun yang lalu. Ah, kalau sudah begini, Anna jadi tidak rela melepas Luhan pada gadis lain.

 

“Lu.”

 

“Hm?”

 

“Cium aku.”

 

Luhan berjengit kaget. “Apa?”

 

“Sebelum aku bertunangan, sebentar lagi. Kupikir kita harus membuat banyak kenangan manis.”

 

“Oh, tolak saja lamaran pria itu, Na. Kau cuma milikku.”

 

“Yang benar saja! Kau pikir aku ini benda yang bisa diklaim seenak jidatmu? Aku mencintai Joonmyun, kau tahu.”

 

“Kalau begitu, jangan dulu menikah sebelum aku mendapatkan Ji Hye.”

 

“Tck.” Anna mendecak sebal. “Makanya, cium aku.”

 

“Ini tempat umum, Anna. Nanti saja, di apartemenku.”

 

“Memang sejak kapan kau peduli tempat umum atau tidak saat berciuman?”

 

“Sejak kau meninggalkanku demi Joonmyun dan aku mencintai Ji Hye.”

 

“Bagaimana kalau kukatakan aku akan bertunangan minggu depan?”

 

“Apa?” Luhan membelalakkan matanya. “Kau tidak memberitahuku apa-apa!”

 

“Ini private, Lu.”

 

“Bahkan hingga merahasiakannya pada satu-satunya sahabat sejak kecil?”

 

“Maaf.”

 

“Takkan kumaafkan.” Luhan menarik lengan Anna. Menyambar bibir pink-nya tanpa ampun. Mengulum serta melumatnya sedikit kasar. Melampiaskan semuanya, sebelum bibir itu diklaim orang lain.

 

Kuberi tahu, siapapun jangan aneh melihat mereka berpagutan, sebab Luhan dan Anna hanya sepasang sahabat. Tidak memiliki hubungan lebih mengkhusus soal percintaan. Mereka melakukan itu sebatas kesenangan, juga untuk saling berbagi kekuatan, atau barangkali berbagi kesialan. Luhan tak pernah menyentuh Anna lebih dari itu, mereka masih mengenal batasan. Jadi, jangan heran.

 

“P-permisi, tuan. Ma-mau pesan apa?”

 

Untuk sejenak, Luhan merasa amat terusik dengan suara—yang sepertinya—pegawai gerai es krim ini. Tak bisakah ia lihat bahwa pelanggannya tengah sibuk berciuman? Sungguh mengganggu suasana sekali, bukan?

 

Akan tetapi … dalam sekejap pula Luhan sadari bahwasanya vokal itu tidaklah asing di telinganya. Buru-buru pemuda tampan itu lepaskan tautan bibirnya, seiring mengangkat kepalanya, menghadap pada sebuah senyuman familiar si pegawai gerai.

 

Oh Tuhan, hukum Luhan sekarang juga karena—

 

“K-Kim Ji Hye?”

.

To be Continued

.

Mudah-mudahan di chapter ini kejawab deh pertanyaan tentang Kai. Hoho. So, di-review yah guys. Jangan jadi silent readers please, biar aku tahu letak kesalahan aku di fanfic ini, jadi kedepannya bisa diperbaiki, biar aku makin semangat juga 🙂 Makasih semuanya, salam D.O.ssy

http://chocolate46.wordpress.com/

24 tanggapan untuk “Regret (Chapter 5)”

  1. lu shrusnya kmu brsyukur karna hye bner2 cnta mati ma kmu, aku hrap hye sllU ma lu dan luhan nya jga insaf jdi playboy… Semangat ne!!..Hahahaha

  2. akhirnyaaa ada lanjutannya juga nih epep 😀
    tuhhhh Luhan sadar juga kan sama perasaannya 😉
    tapiiii, lagi bener” nya malah ketauan sama Jihye lagi ciuman dianya, kyaaaa Luhan betein amat sih lu!!

  3. Mampus lu, elu kepergok, ya ampun thor… ini seru bgt…, greget bgt thor #mianhae di part ini aku baru komen cause semalem ketiduran *abaikan

    1. jangan mati dong. kalo luhan mati aku jg mati /EAAA/
      biarin aja chingu, biar luhan tau rasa dulu kepergok sama ji hye eheheh XD
      makasih udah mampir ❤

  4. kyaaaaaa,,,apa yg kau lakukan Lu?!!!lg pula sahabat c sahabat tp,,,,,,,ko ciuman bibir,!!!! wawww,,bikin sakit mata dan sakit hati!

    1. bikin sakit mata chingu. ihikkk. sukurin aja luhan kepergok ama jihye, biar dia makin beribet urusannya ahahah XD
      makasih udah mampir ❤

  5. Gue insom,bca ini malam2 tambah seru…eehh harus berhenti di 5! Hiks rasanya seperti ada yang menohok gitu..*eaakk* sumvah ni epep kereeenn bgt! Semangat ya Thor! Gueee sukaaaa bgt!! Daebakk! Lanjuti egen Thor.. Lopyu lopyuu eumuuahhh!! *^▁^*。^‿^。😘😘😘😍

  6. Ini kebetulan bgt, lagi insom buka WordPress dan kamu update hehehe

    Duh lahan, serius tuh playboy? Yaampun, padahal jongin dengan senang hati ngasih kesempatan. Huh dasaaar manly dr mana kaya gitu-_- *loh?sewotsendiri*

    Hmmm tbc mengganggu yah, itu jihye nya ngeliat luhan ciuman, sakiittt saaakiit

    1. iya seriusan luhan tuh emang playboy ahahaha XD sebenernya kan kai di sini berniat sangat baik, tp luhannya emang kelewat bego 😛
      makasih udah mampir ❤

Tinggalkan Balasan ke reisya soo Batalkan balasan