Illusion

xiuumin

 

Len K no monogatari

Genre              : Family, tragedy, hurt-comfort

Length             : vignette

Rate                 : T

Casts               : Kim Minseok a.k.a Xiumin EXO, Kim Minyoung (OC), Xi Luhan EXO (supporting cast)

Disclaimer       : I own this fanfic, but I don’t own Minseok and Luhan

 Illusion

 

Minyoung terbangun dari mimpi buruknya dengan nafas tercekat yang membuatnya langsung terduduk tegak di tempat tidurnya. Nafasnya lalu menjadi tidak beraturan. Tangannya yang bergetar hebat memegangi kepalanya. Kakinya yang tadi lurus kini ia tekuk hingga ia bisa membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya. Bibirnya juga ikut bergetar menahan isaknya yang siap pecah kapan saja.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

Suara Minseok langsung membuat Minyoung terkesiap. Tubuhnya yang bergetar kini menegang. Dengan lambat ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke samping. Kedua bola matanya bergetar ketika melihat oppanya yang tersenyum lembut padanya.

“Kau tidak apa-apa?” ulang Minseok.

Op…oppa!” Minyoung langsung menghambur memeluk Minseok erat. “Oppa…” Minyoung makin mengeratkan pelukannya.

Tangan Minseok membelai lembut rambut adik satu-satunya itu. “Gwaenchana, oppa itjanhayo. Kau mimpi buruk lagi, hum?”

Minyoung mengangguk dalam benaman wajahnya di pundak Minseok. Mimpi buruk yang sudah lama menghantuinya. Mimpi yang membawa ingatannya ke kejadian yang ingin ia lupakan. Dan selalu menyiksanya tiap kali Minyoung teringat akan kejadian itu.

Minseok membiarkan tubuhnya didekap oleh Minyoung. Bahkan Minseok masih bisa merasakan jika Minyoung amat ketakutan. Minseok bisa membacanya dari tubuh Minyoung yang masih bergetar, dan bulir bening yang mulai membasahi kausnya. Keduanya diam dan bertahan dalam posisi itu untuk beberapa menit.

“Jam…jam berapa sekarang?” tanya Minyoung terbata-bata.

Detik jam di dinding kamar Minyong membuat Minseok meliriknya. “Sekarang hampir jam dua dini hari.” Jawaban Minseok tidak mendapat respon apa-apa dari Minyoung. “Ja, kau tidak ingin tidur lagi? Bukankah kau ada kelas pagi, hum?”

“…” Minyoung masih diam dalam pelukan Minseok.

Minseok tersenyum tipis. “Tidurlah. Oppa akan menemanimu disini.”

Perkataan Minseok tadi seperti sebuah mantra bagi Minyoung. Perlahan, Minyoung melepaskan pelukannya dan kembali berbaring di ranjangnya. Selimut tebalnya kembali menutupi tubuhnya sampai leher.

Oppa gajima,” cicit Minyoung.

Minseok tersenyum mendengar penuturan adiknya. Tangannya bergerak mengelus-ngelus kepala Minyoung. “Aniya. Oppa tidak akan pergi kemana-mana.”

 

***

 

PRAAAANGG!!

Suara barang pecah yang berasal dari dapur membuat Minseok terkesiap dan langsung berlari menuju dapur.

“Minyoung-ah!” Minseok berseru panik ketika melihat Minyoung yang tengah membereskan pecahan gelas di lantai. “Minyoung-ah!”

Gwaen…gwaenchana, oppa. Oppa tetap di sana saja, nanti oppa bisa berdarah karena terkena pecahan gelas ini,” cegah Minyoung.

Minseok menggerutu tidak jelas. “Tapi kau―”

Oppa!” seruan Minyoung mampu membungkam Minseok.

Minseok menyerah. Ia memilih berdiri dan menyaksikan adiknya yang sibuk dengan pecahan gelas itu. Matanya menatap sendu kearah adiknya itu.

Oppa…” panggil Minyoung.

Eo?”

Tidak ada sahutan dari Minyoung karena gadis itu sudah terduduk di lantai dengan mata berkaca-kaca. Kontan, Minseok langsung berjongkok mendekati adiknya. Tubuh Minyoung kembali bergetar, pun halnya dengan bola matanya. Jari-jarinya mulai ia gigiti dengan gugup.

“Minyoung-ah…”

“Aku…aku melihatnya lagi, oppa. Aku melihatnya. Api itu, api itu…aku melihatnya. Api itu akan memakanku, oppa,” bisik Minyoung dengan gemetaran.

Mata Minseok berubah menjadi sendu. “Minyoung-ah, harus berapa kali oppa katakan jika api itu tidak ada? Itu hanya halusinasimu. Lihat? Tidak apa-apa di dapur ini, bukan? Api itu hanya halusinasimu.” Tangan Minseok bergerak-gerak, membuktikan jika di dapur tidak ada apa-apa.

Minyoung melihat sekelilingnya dengan takut. Tapi perkataan Minseok benar apa adanya. Tidak ada apa-apa di dapur kecuali benda-benda yang memang berada di sana. Tidak ada api seperti yang dibicarakan Minyoung, pun dengan bekas bakaran. Yang ada hanya setumpuk pecahan gelas di sudut ruangan.

“Lihat, tidak ada apa-apa, kan?” tanya Minseok lembut. Minyoung mengangguk pelan. “Besok, pergilah ke psikolog, oke? Halusinasimu itu semakin parah.”

“Tidak, tidak!” Minyoung menggoyang-goyangkan tangannya dan menggeleng dengan cepat. “Aku tidak mau ke psikolog. Aku baik-baik saja, oppa. Sungguh, aku baik-baik saja.” Minyoung berusaha terlihat baik-baik saja di depan Minseok, tapi ia tidak bisa membohongi kakaknya.

“Halusinasimu itu―”

“Itu akan hilang dengan sendirinya! Seiring berjalannya waktu!” potong Minyoung cepat. Dia paling tidak suka jika Minseok menyuruhnya untuk pergi ke psikolog. Menurutnya dia tidak sakit apapun, dia sehat baik secara fisik atau mental.

Minseok menghela nafasnya. Bukan penolakan yang pertama untuknya. “Geurae. Tidak apa-apa jika kau tidak mau pergi. Sebaiknya kau segera buang pecahan kaca itu dan beristirahat, eo?”

Minyoung mengangguk paham terhadap perkataan Minseok.

 

***

 

Minseok menatap cemas adiknya. Teriakan adiknya di tengah malam membuatnya harus menuju ke kamar adiknya. Lagi-lagi Minyoung meracau soal api yang akan memakannya. Pikiran Minseok kembali bercabang. Halusinasi adiknya kian parah dari hari ke hari. Dan saran Minseok agar Minyoung mengunjungi psikolog juga selalu diabaikan oleh Minyoung.

“Minyoung-ah, kau tidak bisa begini terus. Kau harus menemui psikolog. Mereka bisa membantumu melawan halusinasimu ini,” ujar Minseok disertai penekanan lembut.

Minyoung menggeleng. Airmatanya belum berhenti mengalir. Minseok tidak mengerti, Minseok tidak mengerti betapa mengerikannya apa yang dialaminya. Api yang berkobar itu seakan-akan hendak menjilatinya hingga menyisakan abunya saja.

Minyoung bukan seorang pecandu narkoba atau alkohol. Tapi karena halusinasinya yang kadang kambuh saat ia berada di kampus membuatnya terkena desas-desus tak sedap dan memaksanya mengambil cuti sementara. Tapi justru halusinasinya itu makin parah.

“Minyoung-ah,” panggil Minseok.

Minyoung merasa terpanggil dan menatap Minseok yang duduk di hadapannya. Wajah kakaknya terlihat buram karena kristal-kristal airmata memenuhi matanya. Tangisnya justru semakin pecah ketika Minyoung melihat tatapan lembut dari kakaknya―satu-satunya orang yang ia percayai, satu-satunya tempatnya bersandar setelah ia kehilangan kedua orangtuanya, satu-satunya hartanya yang paling berharga. Sungguh, Minyoung tidak ingin melihat kakaknya mencemaskannya seperti ini. Dia juga tidak menginginkan dirinya seperti ini.

Tangan Minseok lalu bergerak menggenggam tangan Minyoung. “Besok…kau temui psikolog, eo?” dan Minyoung mengangguk.

 

***

 

Luhan tersenyum kepada pasien di hadapannya. “Jadi kau berhalusinasi jika ada kobaran api yang mencoba untuk menyambarmu?”

Pasien di hadapannya mengangguk. “Ne. Dan kata oppaku, halusinasiku makin parah. Akupun merasa demikian. Aku…aku tahu jika itu hanyalah halusinasiku saja. Tapi tiap kali halusinasi itu datang…rasanya api itu nyata. Terasa sangat nyata.”

Kepala Luhan mengangguk kecil. Ia lalu memeriksa berkas di hadapannya untuk membaca nama paiennya yang belum bisa ia ingat. “Hm, begitu rupanya. Minyoung-ssi, kalau aku boleh bertanya…kenapa kau bisa berhalusinasi seperti itu?”

Minyoung menelan ludahnya sejenak. Ia sudah tidak ingin mengingat kejadian mengenaskan yang selalu membuat sesak hatinya. Matanya memanas dan Minyoung menggigit bibir bawahnya untuk melampiaskan perasaannya.

Seakan mengerti apa yang dirasakan Minyoung, Luhan berkata, “Jika itu berat bagimu, tidak apa-apa kau tidak mau mengatakannya sekarang―”

Aniyeyo!” potong Minyoung. Ia kemudian menatap Luhan. “Aniyeyo, uisa-nim. Aku akan bercerita.”

“Silahkan.”

Bahkan meski Minyoung sudah membulatkan tekadnya, eksekusinya tidak semudah yang ia kira. Otak Minyoung bekerja untuk merangkai kata sembari mengingat-ngingat kejadian itu. Tangannya mengepal kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memerah. Minyoung memulainya dengan satu-dua patah kata, itupun terbata-bata. Dan butuh sekitar lima menit sebelum akhirnya Minyoung mulai bercerita.

Minyoung mulai meneguhkan hatinya dan otaknya kembali memutar kejadian saat itu. “Kurasa aku berhalusinasi karena…kecelakaan…aku dan keluargaku, empat bulan silam. Saat itu kami sekeluarga berlibur di Brazil. Dan…dan…saat kami jalan-jalan―menggunakan mobil sewaan, kami…kami mengalami kecelakaan―kecelakaan beruntun. Dan…saat itu ada sebuah truk pengangkut minyak yang berada tidak jauh dari mobil kami, ikut dalam kecelakaan itu. Setelah itu yang kuingat hanyalah teriakan dan yang kulihat hanyalah api yang besar, mengarah padaku….”

Cerita Minyoung hanya berhenti di situ dan Luhan tidak ingin memaksa pasiennya itu untuk meneruskan. Luhan sudah paham sekarang. Pasiennya mengalami trauma karena kecelakaan itu. Luhan juga tidak berniat memberi komentar apapun bahkan meski itu hanya ‘aku turut berduka atas kejadian yang menimpamu dan keluargamu’. Luhan kembali sibuk menulis sesuatu di kertas kecil.

“Aku harap kau bisa minum obat tablet,” canda Luhan. Minyoung terkekeh pelan. “Nah, kau tidak keberatan minum obat, kan? Ini adalah obatnya dan jadwal kontrolmu. Ah, dan ini kartu namaku. Kau bisa menghubungiku kapanpun jika kau dalam masalah.”

Kamsahamnida, uisa-nim.”

 

***

 

Oremaniya, Minyoung-ssi. Bagaimana kabarmu? Sudah merasa baikan?” Luhan tersenyum cerah menyambut Minyoung di ruang kerjanya.

Sudah satu setengah bulan Luhan tidak melihat Minyoung, terhitung sejak pertama kali Minyoung datang padanya. Sejak saat itu Minyoung belum kembali kemari dan tidak pernah menghubunginya via ponsel dan bahkan melewatkan jadwal kontrolnya. Dan sekarang Luhan melihat gadis itu, kelihatannya Minyoung baik-baik saja walau airmukanya masih sedikit sendu.

“Aku sudah merasa baikan.” Minyoung tersenyum seraya duduk.

“Wah, senang mendengarnya. Kau mau bercerita sedikit?” tanya Luhan antusias.

Minyoung tersenyum simpul sebelum mulai berbicara, “Aku merasa jauh lebih baik sekarang. Perlahan-lahan halusinasi itu mulai hilang. Ah, majayo! Aku juga sudah bisa pergi kuliah dan teman-teman berkata aku nampak jauh lebih baik.”

“Woah, chukkaeyo! Aku tahu kau bisa melakukannya dengan baik!” kedua jempol Luhan teracung.

Minyoung tertawa sejenak. Tapi raut wajahnya kemudian berubah seperti ingin menanyakan sesuatu.

Keundae uisa-nim…” kata Minyoung.

Ne, ada apa?”

“Halusinasiku sudah hilang, tapi…kenapa kakakku juga menghilang?” tanya Minyoung dengan polosnya.

Dan Luhanpun terkesiap. Mata Minyoung menatapnya polos dan menuntut jawaban.

 

 

― Illusion ― END ―

 

Vhasta’s spot  :

Yoooooossshhhaaa…selesai!! Fanfic ini author adaptasi dari satu cerita di fanpage horror dengan perubahan sana-sini. Nah, kali ini fic-nya sedikit berteka-teki bin ending nggantung ya? Kalo tau maksudnya ya gak kenapa-napa, syukur dah tau. Kalo gak tau ya tinggal scroll ke bawah, baca komen-komennya, hehehehe. Maaa, jadi gimana pendapat readers sekalian soal fic ini? Mari, mari kasih kritik-saran atau reviewnya kakaaaaakkk!! 😀

 

Regards,

 

Nuevelavhasta

19 tanggapan untuk “Illusion”

  1. Mrinding disco di line terakhir, ga terduga bgt klo Xiumin dah ngga ada. Obat apa itu yg dikasih Luhan? Mujarab bgt. Kshn ade’ny Xumin pasti ksepian tinggal sebatang kara 😥 Xiumin sayang bgt ya sm ade’ny smp terus nemenin (wlw udah beda alam) smp ade’ny mule recover, such a loving big bro!

  2. Jadi xiumin juga ikut meninggal di kecelakaan itu ? Dan yg selamat cuman minyoung ? Kasian banget minyoung pasti depressi berat karna dia doang yang selamat dari kecelakaan itu….
    Bagus thor aku sukaaaaaaaa bangeeetttttt……
    Keep writting thor !!! Ditunggu ta tulisanmu yg lainya 😉

    1. Silahkan klik nama penaku di bawah judul atau di kolom penulis ya, buat baca tulisanku yang lain 🙂

  3. jadi minseok itu cuma halusinasi doang?? sumpah kaget bngt, ya sempet heran karena minseok gak ikut ke psikiater tapi ternyata..???? keren bngt

  4. huaaaa…. aku merinding di bagian akhirnya.. omg minseok juga bagian dari illusion yg ada akibat trauma kecelakaan .

  5. Wuiiih aku bener2 kaget diakhir unnie 😦, aku smpet mikir sih pas minyoung ke psikolog pertama masa iaa gak dianter sm minseok oppa, tapi yaudahlah aku abaikan,, eeeeh ternyta. Kasian minyoung T.T
    Keren unnie, keep writing 😙

    1. Omoooo, jangan panggil aku ‘unnie’ , vhasta aja gpp, ‘oppa’ juga boleh :3

  6. Jadi xiumin juga kecelakaan dan meninggal tapi yang dipikirin sama minyeong xiumin masih ada..
    Dan xiumin termasuk halusinasinya juga.. kasihan minyeongg..

  7. hii sedih amat sih thor kasian tuh minyoung ternyata minseok cuma halusinasi dan pas baca bagian akhir rasanya kaya wusshhh~~~ perasaannya kosong tiba-tiba D;
    keep writing thor!

  8. FF yang bagus nih… Aku tahu maksudnya. Maksudnya si Minseok juga udh gk ada kan? Dia hanya halusinasinya si Minyoung kan?

Tinggalkan Balasan ke fei Batalkan balasan