Everything Has Changed (Chapter 12)

Everything Has Changed 4

Everything Has Changed

[ Chapter 12 | Romance, School life | General ]
with Kim Jongin,
Oh Sehun,
and OC Jung Yunhee as the main cast

by

Eunike

[ I own only the story. A big thanks to Tazkia (SpringSabila) from Cafe Poster for the awesome poster! Love yaa 😀 ]

Series : Prolog + Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 |  Chapter 5 |  Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8 | Chapter 9 | Chapter 10 | Chapter 11 | Chapter 12

***


Recommended playlist: IU – A Story Only I Didn’t Know


CHAPTER 12

Lututnya lemas dan pandangannya memburam. Yunhee tidak bisa berpikir jernih, semuanya tampak begitu kacau di matanya. Dunianya yang sudah cukup berantakan kini porak poranda, dijungkir balikkan dengan semua fakta pahit yang ternyata selama ini bersembunyi di belakangnya.

“Y-Yunhee-ya….”

“JANGAN SENTUH AKU!”

Dia menjerit. Dia berseru. Melantangkan suara hatinya yang berdesis pilu di antara lara. Dingin yang menyentuh ujung jarinya sayup-sayup mengebas. Mati-matian mencoba menahan isak tangis yang mengancam meledak, Yunhee mendekap mulutnya sendiri.

.

Detik-detik terus melengos bebas

Mengisi kehampaan hati yang kosong

.

Mungkin semuanya memang akan berakhir sia-sia. Mungkin angan-angan yang selama ini dipanjatkan memang hanya akan jatuh ke tanah dan hancur bersama puing keputusasaan. Tidak ada kesempatan untuknya membubungkan harapan. Sebab ini bukan jalannya, ini bukan arah yang seharusnya dituju.

Melawan takdir hanya akan percuma.

Seorang Jung Yunhee memang hanya akan terus terpuruk di balik cahaya yang redup di balik awan. Seorang Jung Yunhee memang hanya akan terus tersenyum seperti orang bodoh di balik kepalsuan dunia. Bernapas di balik bayang-bayang semu.

.

Air mataku meluruh menyentuh bibir

Menyekap rangkaian kata yang tercekat di kerongkongan

.

Sehun mengulurkan tangannya hendak merengkuh pundak gadis itu yang jatuh terduduk, tapi segera ditepis dengan lembut namun tegas. Yunhee mengatup bibirnya rapat-rapat dan menunduk dalam diam.

“Yunhee-ya, bangunlah,” bisik Sehun lirih.

Tapi Yunhee tetap bergeming di sana; menatap tanah di bawahnya dengan pandangan kosong.

“Yunhee….”

Menangis. Punggungnya bergetar menahan berbagai perasaan yang berkecamuk di hatinya. Bahunya terkulai lemas begitu isak tangis tak bisa lagi ditahan. Sebelah tangan yang terkepal erat perlahan terangkat, gemetar, memukul dada kirinya yang begitu pilu, mencoba meredam gejolak emosi yang menguasainya.

“Yunhee, bangun.” Pria itu berujar rendah, mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Yunhee.

“Sudah kubilang jangan sentuh aku!” Gadis itu kembali berseru lantang dan menatap ayahnya dengan tajam. “Jangan sentuh aku, kau pria tidak punya perasaan!”

.

Takdir begitu lihai memainkan hidupku

Kenyataan begitu pandai bersembunyi di balik punggungku

.

“Yunhee tenangkan dirimu,” bisik Sehun mencoba menegarkan walau jauh di dalam dirinya jiwanya ikut bergetar. Ikut terisak dan menangis dalam diam. “Tidak hanya dirimu yang ter—”

“Aku pergi,” lirih Yunhee serak.

“Yunhee….”

Tungkai kakinya belum mampu menopang dengan tegas, namun Yunhee memaksa tubuhnya untuk bangkit berdiri dan melangkah terseok. Langkahnya sedikit timpang begitu dirinya memaksa untuk berjalan menjauh, tubuhnya terhuyung nyaris jatuh kalau saja Sehun tidak lekas menahan bahunya.

“Yunhee jangan—”

“Lepaskan aku, Sehun.”

“Yunhee-ya.”

“Lepas!”

Kali ini ia berganti menatap lelaki itu dengan tajam, menilik iris hitamnya dengan emosi yang memuncak. “Biarkan aku pergi, Hun,” desisnya dengan suara lemah.

“Dengarkan aku dulu.”

“Aku sudah banyak mendengar hari ini! Cukup, aku lelah, Hun!”

Sehun terdiam sejenak dan mendesah panjang. Pelipisnya serasa berdenyut begitu amukan Yunhee sampai ke telinganya. Seperti ada luka sayat yang menggores hatinya begitu gadis itu berteriak ke arahnya. Ini bukan Yunhee yang dikenal Sehun.

.

Aku memang bodoh,

aku begitu rapuh dan tak berdaya

.

“Biarkan aku sendiri.”

.

Layaknya melangkah di lorong yang gelap

Tidak ada pelita di ujung jalanku,

seperti yang pernah disebut-sebut orang banyak

.

“Jangan paksakan dirimu, Yun.”

.

Aku tidak mampu melihat apa-apa

Aku tidak tahu ke mana harus melangkah

Aku kehilangan arah yang dulu menuntunku

.

Gadis itu mengabaikan perkataan Sehun dan kembali melangkah. Diam-diam ia kembali menangis dari balik surai coklatnya yang menjuntai menutup wajah. Menangis dalam diam. Terisak dalam hati. Jiwanya lelah melakoni sandiwara tak berujung, bibirnya jenuh untuk terus tersenyum di antara tangis. Biarlah semuanya berakhir, batinnya berujar lirih.

.

Sebab waktu memiliki kuasa untuk mengubah segala sesuatu

Sebab waktu memiliki kuasa untuk menggulirkan masa lalu

.

Sehun bergeming di tempatnya berdiri, tidak berniat mengejar maupun menahan Yunhee untuk tidak pergi. Iris hitam yang terus tertumbuk di punggung gadis itu lamat-lamat bergeser ke hadapan pria di sampingnya, menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian.

“Kau pria bodoh, hm?” desis Sehun dengan nada gemetar. “Apa yang kau lakukan ketika anakmu menangis pilu seperti itu, hah?!” Napasnya kembali tak beraturan dan tangannya mengepal erat. Tapi kali ini ia berhasil mengatur emosinya, meredam kegusarannya jauh-jauh dan menghela napas panjang setelah memejamkan mata sejemang.

Sebelah tangannya terangkat ke udara dan terhempas kembali dengan pasrah.

“Aku tahu ternyata dunia sudi melahirkan pria sepertimu.”

***

Gaung di sepanjang koridor berangsur menjelas begitu Jongin menapakkan kakinya di lantai dua. Kedua tangannya yang tidak mengenggam dua kaleng soda terayun riang sambil sesekali menjetik mengikuti ritme lagu yang mengalun dari sepasang earphone-nya. Lamat-lamat senandung kecil meluncur dari bibirnya, menemani setiap langkahnya menuju aula besar yang akhir-akhir ini jadi sering dikunjunginya.

Serangkaian melodi indah langsung menyambutnya begitu Jongin mendorong pintu kaca tersebut; menyejukkan jiwanya yang lelah menjalani aktifitas sehari-hari.

“Oh, Jongin?” Melodi itu segera berhenti, digantikan dengan suara riang milik seorang gadis bersurai madu sebahu yang berdiri di tengah ruangan bersama dengan biolanya.

“Ah, lanjutkan saja. Maaf mengganggu,” ujar Jongin tidak enak melihat Hanna yang langsung memusatkan perhatiannya kepada Jongin. Tapi gadis itu sepertinya tidak keberatan, terbukti dari senyum manisnya yang langsung mengembang dan gelengan ringan di kepalanya.

“Tidak apa-apa, aku sudah selesai kok.”

“Benarkah?”

“Hm. Karena itu aku menelponmu untuk menjemput.” Hanna menjawab sambil berjalan mendekat, mengajak lelaki itu duduk di samping piano yang berdiri gagah di ujung aula.

“Ah, begitu.” Jongin menyodorkan sekaleng sodanya dan langsung menduduki diri di atas kursi. Sebelah tangannya terangkat untuk meletakkan sekaleng soda yang lainnya lalu menyentuh tuts-tuts piano, memainkannya dengan asal tanpa melepas senyum di bibirnya.

“Kau bisa bermain piano?” Hanna mendudukkan diri di samping Jongin dan bertanya dengan penuh harap.

Sebenarnya Jongin tidak mau mengecawakan tatapan penuh harap itu dengan menjawab tidak, tapi Jongin juga tidak mungkin berbohong. Jadi dia hanya tersenyum kecil dan berujar pelan, “Aku tidak. Tapi Yunhee bisa.”

Terjadi jeda selama beberapa saat. Hanna terdiam sebelum akhirnya ikut tersenyum dan mengalihkan pandang dari wajah Jongin. “Ah, begitu.”

“Dulu dia sering sekali bermain untukku. Sebelum pindah rumah, tepatnya. Tapi sudah setahun ini aku jarang melihatnya bermain, atau bahkan sekedar menyentuh piano,” jelas Jongin masih sambil memainkan tuts-tutsnya. “Katanya dia ingin menjadi pianis.”

Hanna ber-oh singkat.

“Tapi entahlah, ia lebih banyak tersenyum ketimbang menceritakan cita-citanya tiap kali aku bertanya. Maksudku, dia tidak seperti yang lain; yang selalu antusias ketika ditanyai mengenai cita-cita di masa depan.”

Kali ini Hanna hanya diam tidak menanggapi.

“Aku—”

“Jongin-ah,” Hanna tiba-tiba menyela. Jongin menoleh. “Kau sudah makan malam? Aku lapar.”

“Ah, benar juga. Kau belum sempat makan malam ya?” Jongin buru-buru bangun dari duduknya dan mengecek arloji. “Sudah jam 10, astaga Hanna kau bisa sakit kalau terus-terusan seperti ini. Ayo kita cari tempat makan.”

Gadis itu tersenyum kecil sebelum meletakkan kembali biolanya ke dalam tas dan bangkit berdiri sambil mengenggamnya di tangan kiri. “Ayo.”

***

Sehun tidak bisa diam sejak lima belas menit lalu. Jemarinya yang bertautan di pangkuan bergerak-gerak saling meremas, kepalanya terus-terusan menengok ke sana dan ke sini. Sesekali ia bangkit berdiri dari ranjangnya, melirik keluar jendela sambil berharap-harap cemas ada Yunhee di sana; walau nyatanya mustahil sekali gadis itu kembali.

Ia menghela napas panjang lantas kembali mendudukan diri di tepi ranjang. Khawatir, panik, cemas, semuanya bercampur menjadi satu. Bulu romanya berdiri begitu bayangan tentang Yunhee yang pingsan di pinggir jalan atau Yunhee yang terkena serangan tiba-tiba melintas begitu saja di benaknya; membuat pikirannya semakin kacau dan tidak tenang.

“Tenangkan dirimu, sialan.” Sehun mengacak rambutnya frustasi.

Mungkin memang hanya ada satu jalan. Ketika ia harus mempercayakan semuanya kepada seorang rival, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Lelaki itu satu-satunya cara.

Sehun mengerang kesal dan merutuki diri sambil menjulurkan tangan meraih ponsel. Tangannya segera mengecek call log, menghubungi nomor yang terakhir kali dihubungi Yunhee tadi pagi. Menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya panggilannya terjawab dan Sehun yakin jantungnya sempat berhenti selama beberapa saat.

“Yoboseyo, Yunhee-ya?”

Suara Jongin terdengar diujung sana. Sehun menarik napas panjang dan memantapkan hati. “Ini aku, Oh Sehun.”

***

“Ini aku, Oh Sehun.”

Dan Jongin sempat tidak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. Suara bariton si lelaki semampai sok dingin itu terdengar samar di ujung telepon, menghentikan sebelah tangannya yang tengah menyuap makan malam.

“Apa?” Jongin mengulang dengan sebelah alis terangkat. Tangan kanannya yang semula memegang sendok sudah turun, menggeser minumannya ke samping dan terdiam selama beberapa saat.

“Aku butuh bantuanmu, Jongin.” Suara Sehun terdengar serius. “Kumohon.”

“Mengenai apa?”

“Yunhee,” jawab Sehun. Membuat Jongin cepat-cepat menaruh fokus pada konversasinya dengan lelaki itu. Hanna yang duduk di hadapannya mengangkat dagu mencoba bertanya dengan isyarat, tapi tidak ditanggapinya.

“Ada apa dengan Yunhee?”

“Bisa kau tolong susuri jalan kota?”

Kening Jongin berkerut tidak mengerti. “Untuk apa?” Ia menegakkan tubuhnya dan menyandarkan diri ke sandaran kursi. “Jangan mempermainkanku, Oh Sehun,” katanya begitu mengingat kejadian ketika dirinya ditipu habis-habisan oleh Sehun.

“Aku tidak sedang bercanda, Kim Jongin,” ujar Sehun dengan nada rendah, membuat Jongin yakin bahwa ada yang tidak beres di sini. Ada yang tidak beres dengan getar suara lelaki di ujung sana.

“Cepat kau susuri jalan kota, Yunhee baru saja pergi dari sini. Dia masih tidak stabil, aku takut terjadi apa-apa dengannya.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak tahu harus memberitahumu atau tidak, tapi Yunhee memiliki lemah jantung.”

Terdiam, panik dan terkejut. Jongin yakin jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia menelan ludah dengan susah payah dan berdeham pelan. Kerongkongannya tiba-tiba saja terasa seperti tercekik, suaranya tidak mau keluar, otaknya berhenti bekerja.

“Karena itu kumohon, kau sahabatnya ‘kan?”

“Halo? Jongin? Kau masih di sana?”

“Dengar, aku takut terjadi apa-apa padanya di tengah jalan nanti dan—”

“Hanna kau bisa pulang sendiri ‘kan?”

Jongin bangkit berdiri, mematikan sambungan teleponnya dengan Sehun dan melesakkan ponsel ke saku jaket. Tangannya yang gemetar menyodorkan beberapa lembar won dengan geragap. “Kalau tidak cukup besok kuganti, aku harus pergi duluan. Sampai jumpa!”

“Jongin tapi—”

“Aku duluan!” serunya lantang sambil berlari keluar restauran. Masih di ambang percaya dan tidak percaya, ia melangkahkan kaki menyusuri jalan kota, berharap-harap cemas. Rambut coklatnya berantakan tertiup angin, peluh mulai membasahi pelipisnya.

Malam begitu gegap, lautan para pejalan kaki yang memenuhi trotoar membuat Jongin kesulitan mencari Yunhee. Beberapa kali ia menabrak pejalan kaki dan menggumamkan kata ‘maaf’ yang mungkin tidak begitu jelas, tapi keberuntungan tidak kunjung membawanya kepada Yunhee.

Gadis itu.. di mana dia?

Bodohnya ia yang tidak menanyakan dari mana Yunhee pergi, jadi setidaknya ia tidak perlu mencari ke sana dan ke sini seperti orang gila. Sialan.

“Halo? Oh Sehun! Kau tidak tahu ke mana arah dia pergi?” Jongin langsung menyerocos bahkan sebelum Sehun benar-benar merapatkan ponselnya ke telinga. Terdengar suara berisik di sana sebelum akhirnya Jongin mendengar suara teriakan. Ia menjauhkan ponselnya sebentar, memastikan kalau nomor yang dituju benar-benar milik si lelaki semampai itu. “Halo? Sehun?”

“Ah, maaf. Kau sudah menemukan Yunhee?”

“Belum, bodoh. Ke mana dia pergi?”

“Kau belum menemukannya?” Jongin menangkap nada khawatir yang begitu besar dari suara Sehun.

“Belum, di sini ramai sekali, bodoh. Malam musim panas pasti—” Matanya menangkap sesuatu. Ia terdiam sambil menegaskan arah pandangnya dua kali, memastikan kalau retinanya tidak salah tangkap. “Aku menemukannya.”

Jongin lekas berlari ke arah gadis itu berada. Keadaannya begitu mencemaskan, tentu. Jongin meringis begitu melihat wajah gadis itu yang tertunduk terangkat. Iris coklatnya menyorot sayu dengan jejak air mata yang masih membekas jelas di kedua pipinya.

“Yun-ah, kau tidak apa-apa?” Jongin segera merangkul bahu gadis itu takut-takut Yunhee pingsan.

Yunhee terdiam sejemang, memperhatikan Jongin yang berdiri tepat di sisinya, seolah-olah tidak yakin bahwa lelaki di sampingnya bukanlah ilusi semata. Lantas menggeleng lemah. “Aku tidak yakin,” lirihnya tanpa berusaha berpura-pura tegar. “Rasanya seperti mau mati saja, Jong.”

“Y-Yun-ah. Ada masalah apa sebenarnya?”

“Terlalu banyak informasi yang kuketahui.”

“Ceritakan saja, Yun.”

“Aku tidak tahu harus bercerita dari mana,” jawab Yunhee frustasi. “Semuanya—begitu memusingkan aku bahkan—” Air matanya kembali mengancam turun. Jongin tersenyum getir dan merengkuh gadis itu ke pelukannya.

“Ceritakan saja, Yun. Ceritakan semuanya. Menangislah sebanyak yang kau mau.”

Yunhee menarik napasnya yang putus-putus di dada bidang Jongin sambil mencoba menahan isakan. Lengan Jongin yang mendekap punggungnya erat membuat Yunhee merasa sedikit lebih tenang. Tapi air matanya tidak mau berhenti, luka di hatinya masih menganga lebar.

“Yun-ah.”

“Aku benar-benar tidak tahu yang mana yang paling membuatku sakit, Jong. Tentang ayahku yang selingkuh atau Sehun yang lekas menjadi kakak tiriku—aku tidak tahu.” Yunhee mengeratkan pelukannya. Mengabaikan reaksi Jongin yang begitu gamblang. “Semuanya begitu rumit. Mataku tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan di ujung sana.”

Lengan Jongin terangkat, jemarinya bergerak mengusap puncak kepala Yunhee. Tidak bisa ia pungkiri bahwa ia ikut terkejut dengan omongan Yunhee barusan, tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah kehadiran sesosok Yunhee yang serapuh ini. Selama ini Yunhee-lah salah satu wanita yang begitu tegar dalam hidupnya, tersenyum di atas segala hal yang melanda bak angin topan.

Tapi tidak untuk malam ini. Tembok pertahanan yang sudah dibangun sedemikian rupa pada akhirnya runtuh, meninggalkan hati yang rapuh melara.

“Aku lelah tersenyum,” bisik Yunhee di antara tangisnya. “Skenario takdir yang sudah digariskan untukku nyatanya tidak semudah yang kubayangkan.”

“Kau tidak boleh menyerah di tengah jalan, Yun.”

“Aku tidak menyerah, Jong. Dunia yang memaksaku untuk menyerah.”

“Yunhee-ya.”

“Boleh aku menginap di rumahmu?” Yunhee mencoba mengalihkan pembicaraan sambil melepas lengannya yang semula melingkar di pinggang lelaki itu. Ia melipur sisa air matanya dengan sebelah tangan. “Sehari saja. Eomma-ku akan pulang besok.”

***

Kali ini waktu bergulir begitu lama bagi Sehun. Berkali-kali ia mengecek ponselnya, berharap-harap cemas ada panggilan dari Jongin yang mengatakan bahwa lelaki itu sudah menemukan Yunhee, tapi harapannya tak lekas terkabul.

Ia menghela napas panjang, menghentak tubuhnya jatuh ke atas ranjang dan menatap langit-langit dengan gusar. “Kenapa semuanya harus terjadi padaku?” bisiknya putus asa. Matanya memicing tajam seraya tersenyum pahit. Baru saja ia hendak menghubungi nomor Jongin begitu tiba-tiba ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.

“Sehun-ah.”

Ibu. Sehun muak melihat wajah wanita itu.

“Sehun-ah, keluarlah sebentar.”

Sehun diam tidak menjawab.

“Sehun-ah, kau tidak apa-apa?”

Sehun masih kekeuh untuk tidak menjawab. Tapi tiba-tiba suara pamannya terdengar dari balik pintu. Begitu menuntut dan memaksa.

“Hei bocah, kau tuli? Keluarlah sebentar!”

“Berhenti memerintahku, keparat!” Kali ini Sehun menyahut dengan luapan emosinya. Ia menatap sinis ke arah daun pintu dan mendengus. “Tidak bisakkah kau menutup mulutmu semalam saja?”

“Jangan berlagak lagi, Sehun. Aku bosan bertengkar denganmu, cepat keluar.”

Oh rupanya pria itu memang pantang menyerah. Sehun terkekeh sarkastis. Suara derit samar terdengar begitu ia turun dari atas ranjang, melangkah menuju pintu dan membuka dengan satu sentakan kasar. “Kalau kau hanya berniat untuk mengulang ucapan pria itu di depan, jangan berani mengetuk pintuku lagi.”

“Ucapan yang mana? Mengenai pertunangan atau—”

“Kau menghabiskan waktuku,” potong Sehun langsung, tepat ketika ponselnya kembali berbunyi dari dalam kamar. “Pergilah, bawa pergi adikmu ini—” Sehun melirik ibunya sekilas dan kembali menatap pamannya, “Sebelum pesta pertunangannya kukacaukan.”

“Sehun!” Ibunya menatap Sehun dengan tatapan memohon, tapi Sehun hanya meliriknya sekilas dan berbalik masuk. Pintu kamar berdebam keras di balik punggungnya. Dengan tidak sabar ia meraih ponsel yang masih menjerit-jerit di atas ranjang.

Harapannya pupus seketika tatkala nama yang muncul di layar bukan dari Jongin; tapi dari nomor yang tidak dikenal.

Mendengus gusar, Sehun menekan tombol jawab dengan acuh tak acuh. “Halo?” Suaranya terdengar sedikit ketus.

“Halo?” Jawab orang diujung sana, yang tiba-tiba saja membuat tubuh Sehun terpaku selama beberapa saat. Ia menjauhkan ponselnya dan kembali menatap nomor tidak dikenal di layar dan mendengus kesal.

“Siapa?” tanya Sehun malas.

“Kau belum berubah ya, Sehun-ah.”

Tidak, Sehun tidak mau berpikir terlalu jauh. Tidak mungkin wanita yang menelponnya ini—

“Kau masih ingat denganku? Ahn Jiae speaking’s here. Kau tidak lupa, kan?”

—adalah gadis yang sama dengan yang dua tahun lalu.

Ia pasti sedang bermimpi. Tidak mungkin Jiae menelponnya dan berlakon seolah-olah tidak ada apa-apa di antara mereka, seolah-olah pertengkaran hebat di dua tahun lalu tidak terjadi. Sudah gilakah gadis itu?

Kenapa dia harus kembali?

Sehun tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak memutar kilas balik masa-masa ketika mereka masih bersama. Semuanya yang terjadi begitu saja, nyatanya Sehun masih mengingat jelas setiap detiknya. Membuat dadanya semakin sesak.

***

“Kau terlihat kurus,” komentar Jongin begitu Yunhee baru saja keluar dari kamarnya, mengenakan kaus lengan panjang berwarna abu-abu milik Jongin yang terlihat sangat kebesaran di tubuh Yunhee.

“Bajunya kebesaran,” sahut Yunhee pendek. Gadis itu langsung mengambil tempat di samping Jongin sambil menerima coklat panas yang disodorkan lelaki itu padanya.

“Bukan, Yun. Bukan karena bajunya,” elak Jongin. “Tapi kau benar-benar kelihatan kurus.”

“Hanya perasaanmu saja, Jong.”

Jongin baru saja hendak membantah, tapi melihat kondisi gadis itu yang kurang bersemangat dan terlihat letih ia mengurungkan niatnya. Dengan hati-hati jemarinya bergerak merapikan anak rambut Yunhee yang berantakan, menyelipkannya ke balik telinga sambil tersenyum tipis. “Lelah?”

Yunhee menjawab dengan gumaman.

Tiba-tiba saja perkataan Sehun beberapa saat lalu terngiang di benaknya. “Aku tidak tahu harus memberitahumu atau tidak, tapi Yunhee memiliki lemah jantung.” Jongin yakin kali ini Sehun tidak sedang main-main. Kendati ia belum mengerti jelas soal masalah yang dialami Yunhee, tapi ia yakin lelaki ini pasti bersangkutan. Pasti ada sesuatu seperti—tunggu. Bukankah tadi gadis itu menyebut-nyebut soal perselingkuhan ayahnya dan… sebentar.

Jongin tidak mungkin salah tangkap. Bukankah tadi Yunhee menyebut-nyebut tentang Sehun yang lekas menjadi kakak tirinya? Tidak mungkin—

“Menurutmu, aku ini orang seperti apa, Jong?”

Lamunannya buyar begitu Yunhee berujar rendah.

“A-Apa?” Jongin menoleh cepat. “Apanya yang seperti apa?”

“Aku. Menurutmu, aku ini orang yang seperti apa?” ulang Yunhee sekali lagi.

Jongin terdiam sejenak dengan kening berkerut. Banyak kalimat yang muncul di benaknya begitu pertanyaan Yunhee terlontar, tapi ia harus benar-benar menyaringnya satu persatu agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Ia berdeham sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Kau tegar.”

“Hanya itu?”

Jongin sempat memikirkan hal lain yang menurutnya sangat Yunhee sekali, tapi tidak jadi karena—seperti yang sudah dibilang tadi—takut terjadi kesalahpahaman. Jadi ia hanya tersenyum kecil dan kembali menyahut dengan suara rendah. “Mungkin. Hanya itu. Dan—ah, ya, kau juga sering tersenyum. Ehm, periang, mungkin.”

Yunhee tertawa hambar begitu Jongin menamatkan kalimatnya. Ia menghela napas panjang dan meletakkan cangkirnya yang isinya tinggal setengah. “Kau salah Jong.”

“Eh?”

“Aku tidak setegar yang kau bilang, dan aku tidak seperiang yang kau katakan,” jelas Yunhee melihat ketidakmengertian Jongin. “Ada kalanya aku merasa jenuh, ada kalanya aku ingin mengakhiri hidupku. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanya tersenyum, tersenyum terus seperti orang bodoh.”

Jongin tidak menjawab. Ia hanya menatap Yunhee dalam-dalam.

“Aku ini munafik. Senyumku munafik. Penuh kepalsuan, Jong.”

“Yunhee-ya kau—”

“Kau mungkin tidak akan mengerti.” Yunhee menoleh menatap Jongin dan tersenyum getir. “Kau tidak akan mengerti sampai kau berada di posisiku.”

“Tapi—tidak, tidak. Aku tidak bermaksud menyuruhmu untuk berada di posisiku,” lanjut Yunhee takut Jongin salah tangkap dengan kata-katanya. “Hanya saja, mungkin sulit untukmu mengerti, karena itu, aku tidak mau memaksamu untuk mengerti keadaanku.”

Jongin masih menatap Yunhee tanpa membalas kata-katanya. Sebelah tangannya masih mengenggam gagang cangkir dengan erat.

“Ah, maaf. Perkataanku membingungkan ya?”

“Ah tidak, tidak. Aku hanya.. tidak tahu harus menjawab apa, hehe.”

Yunhee ber-ehm singkat dan kembali meraih coklat panasnya. Uap masih mengepul di atas cangkir begitu ia menyesap sedikit demi sedikit, membiarkan rasa hangat memeluk kerongkongannya.

“Kau sudah mengantuk?” Jongin tiba-tiba bertanya. “Kau bisa tidur duluan kalau kau mau. Matamu terlihat berat.”

Yunhee tersenyum kecil. “Benarkah?”

“Hm. Tidurlah duluan di kamarku, aku belum mengantuk.” Lelaki itu bangkit berdiri, mengibaskan tangannya untuk mengajak Yunhee mengikuti langkahnya. Sebelah tangan terulur begitu mereka sampai di depan pintu kayu sekitar dua meter tingginya, membuka kenop dan mempersilahkan Yunhee masuk terlebih dahulu.

“Kau nanti mau tidur di mana?”

“Mungkin aku akan menggelar futon di dekat ranjangku, tidak masalah. Lagipula malam musim panas tidak terlalu dingin, kan?”

Yunhee mengangguk kecil. “Baiklah kalau begitu. Selamat malam.”

Baru saja Yunhee hendak melangkah masuk ketika tiba-tiba Jongin menahan lengannya. “Ada apa Jong—” Perkataannya terputus begitu saja. Tubuhnya serasa membeku begitu bibir Jongin menyapu lembut permukaan bibirnya. Getaran hatinya terasa begitu ganjil, seperti ada sesuatu yang bergejolak di sana. Ciuman yang begitu hangat dan tidak menuntut dari Jongin, sentuhan lembut jemari Jongin di antara surai coklatnya, membuat Yunhee terpaku tanpa bisa membalas apa-apa.

Barulah detik berikutnya gadis itu tersadar. Cepat-cepat ia melepas tautan yang sempat terjalin dan menatap iris coklat di hadapannya dengan gugup. “J-Jongin apa maksudmu—”

“Aku tidak suka melihatmu yang seperti ini,” ujar Jongin langsung. “Tersenyumlah, Yun. Percayalah kalau semua akan baik-baik saja.”

“Aku tidak mengerti, Jongin,” sahut Yunhee gelagapan.

“Aku menyukaimu, Yun.”

Saat itu juga Yunhee merasa waktu berhenti berputar. Jarum jam membeku, berhenti berotasi begitu otaknya mampu mencerna kalimat yang meluncur ringan dari bibir Jongin.

Melihat Yunhee yang hanya terdiam terpaku, akhirnya Jongin memutuskan untuk mencairkan suasana. “Ehm, selamat malam.”

Yunhee menatap Jongin sekilas dan kembali menghindari kontak mata. “Se-selamat malam.” Buru-buru ia masuk ke kamar Jongin, membiarkan pintu ditutup rapat oleh sang empu dan menutup wajah dengan kedua tangan.

Frustasi. Ia tidak tahu harus bersikap apa kepada Jongin nanti ketika mereka bertatap muka. Cepat-cepat Yunhee menjatuhkan diri ke atas kasur dan memejamkan matanya rapat-rapat. Rasa kantuk yang sempat menggelayut di matanya tiba-tiba sirna tanpa jejak, menuntut Yunhee untuk terus terjaga sambil menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

“Aku menyukaimu, Yun.”

Lelaki itu datang dan mengatakannya seolah sedang mengucapkan ‘Apa kabarmu’; nadanya begitu ringan dan tanpa beban, seolah Jongin sudah sering mengucapkannya pada setiap gadis yang ditemui. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Yunhee mendengar nada serius di setiap katanya, dan ini yang membuat Yunhee kesulitan tidur dan terus terfokus pada kejadian tadi.

“Dia tidak sedang bercanda ‘kan?” bisik Yunhee sambil memutar badan menghadap tembok datar bercat putih pucat. Beban di pundaknya terasa semakin berat, sudah cukup masalah keluarganya, dan sekarang ditambah pengakuan Jongin yang begitu gamblang. Tidak bisakah hidupnya tenang, sebentar saja?

Bukankah mereka sudah berjanji untuk tidak merusak jalinan persahabatan mereka?

Lantas kenapa… kenapa sekarang lelaki itu mencoba mengingkar janji?

Tidak seharusnya mereka seperti ini. Tapi tidak seharusnya juga mereka terus lari dari perasaan masing-masing. Sesuatu yang mendesak di sudut hatinya nampak sudah tidak bisa ditahan lagi, cepat atau lambat Yunhee harus mengatakan semuanya. Ya. Cepat atau lambat, atau tidak sama sekali.

***

Ruangan yang kini ditempatinya terasa sangat pengap kendati jendelanya sudah dibuka lebar-lebar. Angin malam yang berembus memainkan ujung tirainya sama sekali tidak memperbaiki keadaan. Selama beberapa saat Sehun masih diam di sana dan tidak berniat membuka katup bibirnya yang terkunci rapat. Suara seorang wanita di ujung sambungan membuat jantungnya berdetak tak keruan. Bukan, Sehun yakin perasaan ini bukanlah perasaan yang menguasainya dua tahun lalu. Emosi yang berkecamuk tidaklah sama dengan yang terakhir kali. Sesuatu seperti… benci atau dendam? Sehun tidak mengerti. Emosinya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun begitu Jiae mulai menyebut-nyebut soal trainee atau semacamnya, ia tidak begitu menyimak.

“Jiae-ssi kau—”

“Aku mengganggu waktumu ya?”

Sehun mendesah berat. “Sangat amat megganggu, kalau kau mau tahu.”

“Ahh.” Sekelebat nada kecewa terdengat begitu Jiae menyahut dengan suara rendah. “Kalau begitu, sampai jumpa besok.”

“Tidak, Jiae.” Sehun menolak dengan tegas. “Ini yang terakhir.”

“Sehun-ah—”

“Sampai jumpa,” selanya buru-buru. “Jangan menghubungiku lagi. Aku muak.” Sehun bergerak menjauhkan ponsenya dari telinga begitu Jiae berseru, menahan gerakannya.

“Tunggu, tunggu. Sehun! A-Aku ingin menyampaikan sesuatu.”

“Lima detik.”

“A-Apa?”

“Lima detik dari sekarang,” jelas Sehun dingin.

“Sehun-ah—aku—terimakasih.” Rahang Sehun mengeras. “Terimakasih, terimakasih untuk semuanya, terimakasih untuk kehadiranmu di saat itu.” Jiae terdiam sebentar. “Kalau saja kau tidak mengajakku untuk bergabung dengan Star Entertainment mungkin—”

“Waktumu habis,” Sehun menyela dengan tidak segan-segan. Ia langsung memutus sambungan tanpa menunggu sahutan dari Jiae lantas menghempaskan ponselnya ke ujung ranjang. “Selamat tinggal, Ahn Jiae-ssi.”

Mungkin rasa muak sudah benar-benar menguasainya. Apanya yang terimakasih? Sehun tidak habis pikir dengan gadis yang satu itu. Bukankah selama ini Jiae-lah yang membuatnya seperti orang bodoh? Bukankah selama ini gadis itu yang membuatnya terus menelan harapan palsu?

“Jangan kira aku masih mengharapkanmu, Jiae.” Sehun menatap ponselnya tajam. Semuanya sudah berakhir sejak dua tahun lalu, benar begitu?

***

Temaram lampu yang berdiri di meja bundar kecil tepat di samping ranjang menjadi satu-satunya penerangan Jongin. Sayup-sayup suara kendaraan teredengar dari luar, begitu juga suara kucing tetangga yang menurut Jongin mungkin sedang melahirkan atau apalah, ia tidak terlalu peduli. Yang jelas ia harus tahu bagaimana caranya untuk tertidur dan melupakan kehidupan realita barang sejenak. Otaknya sudah panas, ototnya sudah letih, tapi matanya tidak bisa terpejam.

Sebab nyatanya Jongin masih tidak habis pikir dengan tindakannya tadi. Semuanya terjadi begitu saja, lengannya bergerak otomatis menarik pergelangan gadis itu, dan—ahh. Jongin tidak mau mengulangnya lagi, wajahnya sudah cukup merah bahkan di bawah remang-remang seperti ini.

Futon yang menjadi alasnya tidur jadi tidak senyaman biasanya, tubuhnya tidak kunjung mendapatkan posisi yang pas untuk tidur. Bergerak ke sana ke mari seperti cacing kepanasan, resah yang menghinggapinya tak kunjung menguap.

Bagaimana ia harus menyambut Yunhee nanti pagi?

Bagaimana ia harus menatap mata gadis itu?

This is too much. Jongin mengerang tidak jelas sambil bangun dan rebahnya. Diam-diam bola matanya bergulir menatap punggung Yunhee yang tertidur di atas ranjang, tepat di sampingnya yang terduduk di atas futon. Ia mendesah berat, lantas bangkit berdiri dan berjalan keluar.

Ia tidak bisa terus berada di sini. Sekilas ia menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul empat pagi. Mungkin ibu sudah bangun, begitu pikirnya.

Cepat-cepat ia berjalan keluar, meninggalkan Yunhee sendiri di kamarnya. Jongin langsung turun meniti tangga, berjalan ke dapur sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

“Jongin? Kau sudah bangun?” Ibunya menyapa dari balik celemek yang diikat rapi di pinggangnya. Sebelah tangan wanita itu memegang spatula.

“Hm. Eomma sudah bangun?”

“Sejak lima menit yang lalu,” jawab wanita itu sambil kembali fokus dengan masakannya.

“Kenapa pagi sekali?” Jongin berlalu menuju lemari es, mengambil susu kotakan yang diletakkan di samping apel, meneguknya hingga abis dan kembali ke meja makan.

“Ayahmu akan berangkat lebih pagi hari ini. Omong-omong, kau bangun pagi sekali, ada apa?”

“Insomnia.”

Ibunya berhenti sebentar lalu beralih menatap anaknya yang sedang mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan telunjuk, lantas terkekeh geli. “Kau ini ada-ada saja, Jong.”

“Aku tidak sedang bercanda, Eomma.”

“Baiklah, baiklah. Jadi apa yang membuatmu insomnia?” Ibunya tidak bisa menyembunyikan senyum geli tatkala ia menyebut ‘insomnia’. Tangannya yang sibuk menggoreng telur berhenti lalu beralih ke kecap di laci atas. “Kau ada sedang ada masalah?”

“Entahlah.”

Setelah menuangkan kecap sedikit ke masakannya, ibu berbalik menghampiri Jongin dan mengacak rambut anaknya gemas. “Kau sudah besar, hm? Galau karena cinta?”

Tepat sasaran. Telinga Jongin tiba-tiba saja memerah, begitu juga dengan wajahnya.

“Ah, anak Eomma sudah dewasa rupanya.” Ibu terkekeh—lagi. “Tentang siapa hm? Yunhee?”

Jongin mengerang keras begitu nama Yunhee disebut. Ia menopangkan dagu di atas meja dan menatap ibunya intens. “Aku menciumnya.”

“A-Apa?”

“Aku menciumnya, Eomma. Aku menciumnya dan—haish!”

Entah terkejut atau apa, ibu menatap Jongin dan tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Sebelah tangannya masih memegang spatula ketika Jongin melanjutkan kalimatnya dengan wajah memerah menahan malu.

“Aku mengatakan kalau aku menyukainya dan—yah—kau tahu, aku—aish. Nan jinjja mollasseo eotteokhae, Eomma?”

Ibu menghela napas, berbalik badan sebentar untuk mematikan kompor dan duduk di hadapan putranya. “Jadi…, kau menyukainya?”

Molla.”

Bola mata ibu bergulir ke arah tangga sekilas, takut-takut Yunhee datang tiba-tiba sebelum akhirnya kembali menatap Jongin dan tersenyum hangat. “Kau yakin dengan perasaanmu?”

“Sudah kubilang aku tidak tahu, Eomma. Semuanya terjadi begitu saja dan—” Jongin berhenti tidak melanjutkan. Ia kehabisan kata-kata. Tangan kanannya yang bebas bergerak mengusap wajahnya dan memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.

“Masalahmu bukan main-main, Jong. Kau harus memikirkannya benar-benar, bisa-bisa kau salah mengambil tindakan dan kehilangan orang yang sukai itu.”

“Entahlah.”

“Apa yang kau lakukan sudah benar; menyatakan perasaan padanya.” Ibu mengusap punggung tangan Jongin dengan lembut sembari tersenyum meyakinkan. “Tapi kau juga harus melihat keadaannya, Jong. Jangan sampai kau malah memberi beban kepadanya, apalagi sekarang Yunhee sedang dalam banyak masalah. Kita ‘kan tidak tahu.”

Jongin terdiam terpekur mendengar nasihat ibunya.

“Dia masih tidak mau cerita padaku.”

“Semuanya butuh waktu, Sayang. Kau harus sabar, tunggu sampai Yunhee siap menceritakan semuanya, jangan terlalu memaksa.”

“Aku tahu tapi—” Jongin mengerang putus asa. “—aku tidak suka melihat Yunhee yang seperti ini. Aku ingin Yunhee ceria seperti dulu, kau tahu.”

“Aku mengerti, Jongin. Aku mengerti. Setiap orang pasti punya titik jenuh ‘kan?” Ibu mengarahkan manik matanya lurus-lurus. “Bersabarlah, hanya itu kuncinya. Menunggu bukan sesuatu yang buruk, kau hanya perlu menanti dan semuanya akan terjawab di waktu yang tepat.”

Jongin memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas panjang. “Baiklah. Aku mengerti. Terimakasih banyak, Eomma.”

“Nah, begitu dong. Jangan murung seperti tadi,” ujar ibu senang seraya bangkit berdiri dan melanjutkna masakannya.

“Ada yang perlu kubantu?” tawar Jongin merasa tidak enak hanya diam terduduk sedangkan ibunya sibuk menyiapkan sarapan.

“Hmm, mungkin kau bisa memotong-motong tahu yang di sebelah sana.” Ibu menunjuk tahu-tahu yang diletakkan di ujung meja dapur dengan dagunya. “Pisaunya ada di sebelah sana.”

“Oke.”

***

“Sehun? Kau sudah bangun?”

Sial. Sial. Sial. Harus berapa kali Sehun merutuki dirinya? Kenapa juga ibunya harus berdiri di sana dan memblokir jalannya ke bawah? Dewi fortuna memang tidak pernah berpihak padanya, keparat.

Sebisa mungkin Sehun tidak mengacuhkan ibunya yang berdiri di tangga, atau kalau bisa tidak menatap matanya sama sekali. Yang perlu dia lakukan hanya turun ke bawah dan—

“Tunggu sebentar, Sehun.” Emma menahan lengan anaknya dengan cekatan. Matanya menatap memohon ke arah iris kelam Sehun, berharap anak lelakinya mau mendengar barang sepatah dua patah darinya. “Kumohon. Sebentar saja.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi ‘kan? Aku sudah mengerti, kau akan menikah dengan pria bangsat itu dan—” Emosinya kembali memuncak, oh demi Tuhan. Sehun memejamkan matanya sebentar mencoba meredam amarah dan melanjutkan dengan suara rendah. “Aku sudah mengerti, tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Emma-ssi.”

“E-Emma-ssi?”

Dia bahkan tidak memanggilnya Eomma. Emma sebisa mungkin menahan air matanya yang mengancam jatuh. Tidak bisa dipungkiri fakta bahwa hatinya terluka dengan anaknya. Maksudnya, siapa yang tidak sakit hati ketika anak lelakimu seperti ini? Emma merasa tidak dianggap dan—mungkin ini memang hukuman yang setimpal untuknya. Ia harus tegar, tapi harus sampai kapan?

“Bukan, Sehun. Ini bukan tentang pertunanganku dengan Jung Hwan.”

“Lalu?” Sebelah alis Sehun terangkat curiga. “Apa kali ini tentang kau yang sudah mengandung anak dari pria itu?”

“Sehun!” Kali ini Emma berteriak tegas. “Jaga omonganmu!”

“Kenapa? Apa perkataanku salah? Memangnya tidak mungkin kalau kau sudah mengandung anaknya? Kau bahkan sudah menjalin hubungan dengan pria keparat itu sejak ayah belum pergi, kan? Lalu apanya yang tidak mungkin? Jangan hanya diam menatapku! Kau punya mulut untuk bicara. Jawab!”

“Sehun!!” Emma sudah di ambang batas pertahanan. Kepalanya pening mendengar cecaran Sehun yang bertubi-tubi. “Kau sudah kelewat batas, Sehun.”

“Siapa peduli? Bukan hanya aku di sini yang sudah kelewat batas. Mohon bercermin sebelum menghakimi.”

“Jaga omonganmu, aku hanya—”

“Aku pergi,” sela Sehun tajam. Tanpa mempedulikan ekspresi ibunya yang terkejut, Sehun langsung menuruni tangga dengan langkah tegas. Sebelah tangannya memegang ponsel sambil berusaha menghubungi nomor Jongin.

“Halo, Jongin?” Sehun berjalan menuju pintu keluar. Sang surya sudah mulai menampakkan diri dari ufuk timur sehiingga Sehun harus memicing sebentar untuk mengatur intensitas cahaya yang masuk ke pupilnya.

Mendelik acuh tak acuh, Sehun hanya mendengus tidak peduli begitu matanya mendapati sang paman tengah berbincang dengan Jung Hwan—ayah Yunhee sekaligus calon untuk ibunya—di teras.

Sehun kembali fokus dengan ponselnya. “Halo, Jongin? Maaf, kau sudah menemukan dia?” Lelaki semampai itu menghela napas lega. “Baguslah, dia tidak apa-apa kan? Tidak mendapat serangan atau—”

“Apa? Jadi gadis itu anak pungut?”

Sehun mendelik kesal sambil bersungut-sungut mendengar suara pamannya yang begitu kencang dan mengganggu konversasinya dengan Jongin.

“Ada apa di sana?” tanya Jongin curiga.

“Tidak ada apa-apa, di sini memang tidak pernah tenang,” sahut Sehun seadanya. Ia hanya diam tidak menanggapi begitu Jongin mulai mengoceh panjang lebar dan menyuruhnya untuk mencari tempat yang lebih tenang.

“Dia menginap di rumahmu kan?”

“Aish sialan orang ini. Hei, aku sudah bilang panjang lebar dan kau—”

“Tolong jaga dia baik-baik, jangan sampai kelelahan. Dia harus istirahat banyak dan—”

“Oh Sehun, sebenarnya kau siapa?” Jongin tiba-tiba saja memutus. Suaranya rendah dan terdengar sanksi. “Kau bertindak seolah-olah kau kekasihnya, tahu? Menyuruhku ini-itu dan memberi perintah, memang aku ini babu?”

Sehun memutar bola mata sambil mengayunkan kakinya menjauh dari kedua pria tersebut. “Jadi kau tidak bersedia membantuku? Kau ingin dia berada dalam bahaya? Kondisinya bukan main-main, Jong. Aku serius tentang penyakit yang—”

“Tapi Sehun belum tahu?”

Ia berhenti ketika namanya disebut. Maniknya bergulir ke arah sang paman yang sepertinya baru menyadari kesalahannya. “Maaf, tapi aku tidak tuli,” ujar Sehun datar.

“Halo? Oh Sehun?”

“Yang mana yang belum kuketahui, hm?” Sehun mengabaikan suara Jongin yang memanggil-manggilnya, cepat-cepat ia mematikan sambungan telepon dan berjalan mendekati pamannya. “Kau tidak bisu seperti ibu, kan? Kau bisa bisa menjawab, kan?”

“Ini bukan sinetron, jangan katakan kalau aku salah dengar. Katakan saja dengan gamblang, apa susahnya?”

Jung Hwan mendesah berat. Ia menatap pria di hadapannya dan berujar, “Jelaskan saja padanya, aku harus berangkat cepat. Sampai nanti.”

Sehun berganti menatap pamannya dengan dingin, begitu juga pamannya yang menatap dengan tajam. Aura kebencian begitu kental bersemanyam di antara keduanya, sampai-sampai seperti ada api di mata kelam itu.

“Kau penasaran, eh?” Pamannya bertanya dengan nada merendahkan. “Kuharap kau tidak menyesal.”

“Aku tidak akan menyesal.”

Pamannya menarik salah satu sudut bibirnya. “Kau tidak tahu kan kalau kekasihmu itu anak pungut? Kupikir kau—”

“Apa?” Sehun menatap pamannya tidak mengerti. “Kekasih yang mana?”

“Astaga, kau punya banyak kekasih ya sampai-sampai tidak tahu gadis mana yang sedang kubahas?” Tawa kecil lolos dari bibir pamannya yang kini hanya menatap Sehun dari ekor mata. “Kekasihmu yang kemarin itu, bocah. Yang kau tarik-tarik ke kamarmu, kau lupa?”

Sehun terdiam sesaat sebelum akhirnya mengerti ke mana arah pembicaraan pamannya.

“Dia anak pungut—ah—atau lebih halusnya, anak angkat. Calon ayahmu yang baru saja memberi tahu.”

Membeku di tempat, Sehun merasa oksigen di sekitarnya sudah tersedot entah ke mana. Kakinya seperti dipaku kuat-kuat ke lantai, ia tidak bisa bergerak barang sejengkal pun. Ia mencoba menyangkal apa yang baru saja didengarnya tapi pria yang berdiri tepat di hadapannya itu kini menatapnya yakin, membuat dada Sehun begitu sesak seperti habis dihantam batu.

“Kau bercanda ‘kan?”

“Katakan kalau kelakarmu barusan hanya untuk mempermainkanku!”

“Jawab!”

.

.

— TBC —

22 pages. 5K+ words.

Keterangan:

[1] Futon: futon merupakan matras tradisional yang biasa dipakai oleh masyarakat Jepang untuk tidur. Perangkat tidur serupa juga dikenal di Korea.

.

.

[A/N]:  Hellaw! Sebelumnya mohon yang teramat sangat, kepada Hunhee shipper, jangan pukul kau pake panci emak kalian pehlise >.< Aku pun gangerti kenapa ada adegan itu…, ya pokoknya gitu deh. Gak ada maksud apa-apa kok ToT Jadi jangan benjolin kepalaku ya, apalagi bocorin uou. /skip/.

Nah, kalian udah agak(?) ngerti kan? .-. Maksudku, soal masalahnya si Yunhee dan Sehun ini. Semua kurang lebih sudah terjawab. :3 Tapi bukan berarti udah mau ending ‘-‘ Masih ada beberapa masalah lagi yang belum terselesaikan. (kenapa kalimatnya muter-muter).  Dan maaf juga ya kalo di bagian awal-awal itu feelnya kurang kerasa UoU

Buat kalian yang udah setia baca sampe chapter ini, makasih banyak yaa 😀 Maaf kalo aku cenderung bawel dan banyak bacot, aku sadar kok. Dan yang buat komennya di chapter 11 belum ku-reply, sabar yaa, ini lagi on-going nge-reply one by one. Sampai ketemu di chapter selanjutnya~

PS): Pssstt, aku lagi mempersiapkan buat project ff selanjutnya >w< is there any kaistal shipper here, btw?

—————————— t e a r  h e r e —————————

Contact me:
Twitter | Facebook WordPress
LINE ID euntheana

———————————————————————————

249 tanggapan untuk “Everything Has Changed (Chapter 12)”

  1. yes jongin udah mengungkapkan yeeees! Ayolaah yunhee lebih terbuka lagi sam jonginnya ya ya ya? ji ae itu mau apa sih hubungin sehun. ? Terus nih yunhee bukan anak kandung kenapa bisa? Huaaaaah. Rumit hidup muuu yun.

  2. Jadi Yunhee cuma anak angkat??
    Jongin sebenernya suka apa nggak sih sama Yunhee..koq malah jadi ambigu gitu
    Entah, koq kayaknya Sehun-Yunhee udah lama saling kenal dan lebih terbuka satu sama lain, sedang Jongin? masih banyak rahasia yg dia gak tau ttg Yunhee
    Aaaaa..Aku HunHee shipper >.<

  3. astaga… Yunhee masalahnya ngeri amet… eonnie nafsu banget bikin Yunhee nya banyak masalah :3 *digampar author …. 😀
    tpi kalo dipikir Sehun pasti terima aja… lagipula kalo sudah sayang atau mungkin cinta harus bisa menerima apa ada nya kan??

  4. yunhee,yang sbaar yakk,authornya mau bikin fanfic yang greget,makanya masalah lu banyak :p

  5. Yaaaaaampun thor!!!! Bagus banget chapter yg ini, apalagi ada rekomendasi lagunyaaa>< aku nangis loh thor pas baca ini sambil dengerin lagu itu:" daebak thor! Lanjutttttkaaaaaan

  6. jadi Yunhee bukan anak kandung nya…
    astaga kalau ak jadi Yunhee sunggu menyakitkan gal kebayang..
    jujur ak sampai nangis ngebaca..
    ak kasian sama yunhee kenapa hidup gak adil selalu yunhee kenala dia selalu mendapat masalah yang berat…
    astaga…
    sekian ak gak sanggup nahan ait mata ak..
    bye.

  7. Kok yunhee tiba” jadi anak angkat ya?? ._. Aku kirain Yunhee itu hasil hubungan eomma nya am cwok lain.. Soalnya kan di mimpinya appanya bilang klo anak itu buka- /tabrakan/ bener gak nih adegannya?? >//< Sebenarnya Jong In suka apa kgak?? T,T aku ikutan bingung.. #berasajadiyunhee #plak! Keep Writting eonni.. Aku suka ff nya..

  8. Eh masa aku baru tau udh update sampe chap 13 ,malah chap yg blm sempet aku baca padahal aku suka ceritanya u.u,aku suka gaya bahasanya thor,banyak kiasan-kiasan kata gimana gitu._.tapi aku ga nyangka kalo jongin langsung nyambar maen nyium gitu kan kasian sama yunhee malah nambah beban,sebenernya perasaan yunhee itu tertuju pada siapa sih._.

  9. Banyakin hunhee moment min.. Semoga entar yg ama yunhee si thehun aamiin ahahah >~< thor bikin novel dongg :3

  10. Kudet bgt._. Baru tau chap ini udh keluar
    Makin ke sini kok makin dukung HunHee entah knp T.T tp cocok jg kalo JongHee/?
    Yunhee anak pungut? :o:o:o
    Yunhee beban idupnya kok berat bgt:”””

    Kaistal shipper?
    Me:DD
    I’m waiting for ur new project ^^

  11. aduh itu kai nge– yunhee kok bikin kesel yaa ._. gimana kalo sehun tau omegat :v
    harusnya sehun nentang emaknya buat nikah sama ayahnya yunhee kalo misal yunhee bukan anak pungut jadi disana sehun memang bener” suka yunhee gak rela yunhee jadi adek tirinya *abaikan wkwkk
    chapter ini gak ada hunhee moment kecewa duh 😡 tapi keren kok nike
    lanjutin ya nike next chapnya hehe

  12. aaaaaaah aku patah hati krn jongin nyium yunheee…..tpi bukan krn aku cemburu…..hanya mewakili sehun klo dia tau hal itu……
    eeeh masa sih yunhee anak angkat…..bukannya di chap sebelumnya waktu apartement hunhee kebakaran itu yunhee mimpi ayah sama ibunya bertengkar krn ibunya melahirkan yunhee…ya ayahnya yunhee kyk nggak suka sama yunhee dan pernah suruh ibunya yunhee buat aborsi kan???
    apa itu cuman akal”an ayahnya yunhee aja biar gimana gitu???!!!???

    aduh ni ff bikin greget aja……sumpah jadi makin pasrah aku buat ngeharepin hunhee couple bersatu klo kyk gini…..

    next aku tunggu….maaf baru comment sekarang…..soalnya baru nemu sekarang

  13. aaaaaaah aku patah hati krn jongin nyium yunheee…..tpi bukan krn aku cemburu…..hanya mewakili sehun klo dia tau hal itu……
    eeeh masa sih yunhee anak angkat…..bukannya di chap sebelumnya waktu apartement hunhee kebakaran itu yunhee mimpi ayah sama ibunya bertengkar krn ibunya melahirkan yunhee…ya ayahnya yunhee kyk nggak suka sama yunhee dan pernah suruh ibunya yunhee buat aborsi kan???
    apa itu cuman akal”an ayahnya yunhee aja biar gimana gitu???!!!???

    aduh ni ff bikin greget aja……sumpah jadi makin pasrah aku buat ngeharepin hunhee couple bersatu klo kyk gini…..

    next aku tunggu….maaf baru comment sekarang…..

  14. waaahhh kenapa jadi gini??aku jadi bingung mau ngedukung hubungan hunhee ato kaihee??
    author jgn lama” ya next chapnya,penasaran nih
    tetep semangat nulis ya thor…^_^

  15. Yunhee sma sehun aja peehliiiss udah telanjur rada emosi nih sma kelakuannya kai yg nurutin hanna moollooo ><

    Next next next ~~~~

  16. Omg aku teriak2 baca ff ini thor gregetan bgttt..
    Huhu jujur sbg hunhee shipper aku sedih karna di chap ini ga ada momen mereka berdua 😥
    Dan waduhhh sehun keduluan jongin tuh wkwkwk..
    Sahabat tetap sahabat aja deh #plak wkwk .-.v
    Kasian yunhee:( Gmna ya perasaannya pas tau dia anak angkat?
    Sbnrnya ada bagusnya jg sih kalo yunhee anak angkat, artinya kan brrti gpp kalo ntar sehun dan yunhee bersatu.-. ehehehe piss ah :Dv
    Next chap semangat ya authorrr heheh..
    Aku berdoa smg ending yg aku harapin itu sama dgn storyline yg udh author buat 🙂

  17. Makin rumit aja ya ceritanyaaa. Ga ngebayangin kl jd yunhee…sabar yaa huhu smg semua bs happy ending :’) jd yunhee lebih milih jongin/sehun nih hmm. Fighting thor! 😉

  18. Yunhee yg sbar ya :’) miris bgt hdup km , tak doain byar nnti hdup km baik ya *eh

    Next thor jgn malama ya 😀

  19. kasian bgt yaa yunhee, miris bgt kalo jadi dia, tpi kalo nnti nya yunhee sama kai juga gak ngapa hehe

    next chap lebih cepat lebih baik 🙂

  20. huwa…
    playlist nya pas banget 🙂
    cerita disini miris banget thorr,,,sedih banget walo di tengah ada adegan kiss itu,,,wkwkwkwk
    cerita nya ngejelimet tapi sekarang udah mulai terurai…
    masih ada konflik lagi??? uwooowww,,daebak,,,hahahaha…
    kaistal? hmm…ga benci sih tapi ga terlalu suka juga,,,wkwkwkw…tapi boleh lahhh 🙂
    lanjut ya thorrr…
    gomawoyo…

  21. pas aku search ‘everything has changed’ di kolom pencarian, nemu chap 12. Oh gosh! deg-degan mau baca kelanjutannya dan tentunya super excited! keep writing Eunike, hwaiting! 😀

  22. Kejangkejang bacanyaa*lebay*
    Hanna sm jongin ajabiar yunhee smnsehun
    conflict nya seruwalau agak belibettt
    tapii darbaknext yop

Tinggalkan Balasan ke naya Batalkan balasan