Everything Has Changed (Chapter 3)

Everything Has Changed

 Everything Has Changed

[ Chapter 3 | Romance, School life | General ]
with Kim Jongin,
Oh Sehun,
and OC Jung Yunhee as the main cast

by

Eunike

[ I own the story and art ]

“Tahukah kau? Jatuh cinta membuatmu bodoh dan kehilangan akal warasmu.”

NOTE : Please read my note below this fic

***

CHAPTER 3

Sedangkan Sehun hanya mendengus kesal lalu melipat tangan di depan dada dengan dagu terangkat. “Bagaimana denganmu?” tanyanya sarkastis. “Ke mana kau ketika dia membutuhkan pertolongan?”

“A-Aku hanya….”

“Dia memanggil namamu, tapi kau malah berlari meninggalkannya.”

Jongin tertegun. Kepalan di tangannya perlahan melemah diiringi rasa menyesal yang diam-diam menyelinap di sudut hatinya.

Ia sadar, tidak seharusnya ia berlari meninggalkan Yunhee tadi pagi. Tidak seharusnya ia mengacuhkan teriakan Yunhee padanya.

“Aku hanya tidak mau melontarkan kalimat yang nantinya akan kusesali begitu ia berdiri di hadapanku. Saat itu aku benar-benar—”

“Persetan. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, lalu kau mau apa?”

Terdiam lagi, Jongin menunduk dalam dengan dahinya yang berkerut dalam. Batinnya berdebat mengenai keputusan yang hendak diambilnya. Tapi seakan ada suara lain di hatinya yang berbisik, sekarang atau tidak sama sekali. Sontak ia mengangkat wajahnya.

Ya. Ia harus pergi sekarang, mencari Yunhee ke mana pun gadis itu berada.

***

Sedang Jongin berlari kalap menuju rumah Yunhee, Sehun dengan santainya berjalan menyusuri koridor, tatapannya masih sedatar tembok dengan tangan yang dimasukan ke dalam saku. Ia terus mengayunkan tungkai kakinya dan berbelok tepat di ujung koridor.

Kejadian beberapa saat lalu kembali melintas di benaknya.

***

Sehun duduk tertegun menatap sepasang iris coklat Yunhee yang balas menatapnya dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba saja keadaan lagi-lagi berubah menjadi canggung setelah serentetan kalimat itu meluncur dari bibir Yunhee.

“Aku harus pulang. Sekarang.”

Melihat reaksi Sehun yang lambat, Yunhee kontan bangun dari rebahnya dan menegaskan sekali lagi, “Aku serius, aku harus pulang. Sekarang juga.”

“Dengan kondisimu yang sepayah ini?”

Sontak Yunhee mendelik tajam. “Aku tidak sepayah yang kau kira, kalau kau mau tahu.”

“Serius?”

Seulas senyum merekah di bibir tipis Yunhee. “Tentu saja, aku ini cewek tegar.”

Mendengus, Sehun terlihat ragu dengan ucapan gadis itu barusan. “Kau—” Tidak sempat ia menuntaskan perkataannya ketika tiba-tiba tubuh Yunhee sedikit limbung ke samping, membuat Sehun refleks bangkit berdiri dan menahan pundak gadis itu.

“Sial, kau benar-benar merepotkan,” desis Sehun tajam seraya memutar bola mata.

Tapi bukan Yunhee namanya kalau mudah menyerah begitu saja. Maka dengan sesungging senyum simpul gadis itu melepaskan genggaman Sehun dari pundaknya dan berujar pelan, “Aku harus pergi sekarang, ada hal penting yang harus kuurus. Terimakasih telah membantu.”

Ia segera meraih tas selempangnya dari sisi samping ranjang dan berbalik menatap Sehun lagi. “Omong-omong, tolong sampaikan pada Mr. Lee bahwa aku harus pulang lebih awal.”

Mendengus, Sehun membuang pandangan dari wajah Yunhee dan berdecak. “Aku bukan babu.”

“Terimakasih banyak.”

Hell, gadis itu benar-benar akan pergi.

Sudut matanya terus mengekori punggung gadis itu yang berjalan menjauh. Masih merasa tidak yakin akan keputusan gadis itu untuk pulang sendiri, ditambah lagi kondisinya yang masih lemah.

Menimbang-nimbang sebentar sebelum akhirnya ia bangkit berdiri dan berjalan tiga meter di belakang gadis itu. Entah Yunhee sadar atau tidak, Sehun hanya merasa memiliki tanggung jawab akan keselamatan gadis bersurai coklat itu.

Sebab tidak lucu kan, kalau tiba-tiba Yunhee pingsan di tengah lapangan tanpa ada yang menolong, dan Sehun dituduh bersalah? Diejek seluruh murid sekolah barunya? Dan dikeluarkan dari sekolah? Hell, no!

Sehun terus berjalan dengan perlahan-lahan, dan ketika Yunhee berhenti, ia juga berhenti.

Batinnya bertanya-tanya.

Namun ketika ia mengikuti arah pandang Yunhee, Sehun diam-diam tersenyum simpul.

Di atas sana, Kim Jongin, tengah bersender di pagar rooftop. Dengan kepala mengadah lelaki itu menyorot pandangannya ke arah langit, menatap gumpalan kapas putih yang berarak tertiup angin sepoi.

Gadis itu… terlalu mencintai sahabatnya.

Sehun menghela napas panjang. Ia tidak mengerti dan tidak berniat mengerti. Toh Yunhee bukan siapa-siapanya, benar begitu?

.

Mengecek dan memastikan gadis itu sampai keluar gerbang dengan selamat, Sehun berniat kembali ke kelas.

Tapi… apa-apaan ini? Kenapa Sehun mendapati dirinya berjalan meniti tangga menuju rooftop?

“Kim Jongin.” Dan panggilan singkat yang terlontar di luar kendalinya membuat lelaki di pagar itu berbalik dan menatapnya dengan alis terangkat tinggi.

“Oh Sehun-ssi?”

Jongin memutar tubuhnya dan menatap Sehun lurus-lurus dengan penuh tanda tanya. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Bukannya menjawab, Sehun malah berlalu ke samping Jongin dan bersender ke pagar. Mata elangnya menatap lapangan di bawah sana sambil membiarkan surai hitam kelamnya bergerak-gerak ditiup angin.

“Yunhee.. kau sudah mengenalnya selama berapa tahun?”

Oh sial. Sehun lupa mengerem bibirnya dan pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja, kontan membuat Jongin melirik curiga lalu terkekeh. “Ada apa denganmu, Oh Sehun-ssi?”

“Sejauh mana kau mengenal gadis itu?” Sehun menatap Jongin dari sudut matanya, memberikan tatapan tajam yang membuat Jongin mengerutkan kening dengan heran. “Maksudku, apa kau tahu bagaimana kondisinya saat ini?”

“Berhenti mengajakku bermain tebak-tebakkan, Tuan Muda Oh.”

Sehun berbalik menyenderkan punggungnya di pagar lalu merapikan kemejanya yang sedikit berantakan. Lamat-lamat mulutnya berujar, membuat Jongin membelalak kaget dan segera berlari meninggalkan rooftop.

Tatkala Jongin berlari panik, Sehun hanya menatap datar daun pintu malang yang sempat dibanting Jongin sebanyak dua kali sepanjang hari ini.

“Kau lucu sekali, Kim.”

***

Raut muka Sehun sama sekali terlihat tanpa cela, seakan ia tidak baru saja membodohi Si Kim Jongin habis-habisan. Ia malah menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan terkekeh samar.

Mengetuk beberapa kali, sebelum akhirnya memutar kenop pintu kelas dan melangkah masuk dengan tampang tak berdosa.

“Oh Sehun? Dari mana saja kau?”

Pertanyaan dari Mr. Lee langsung menerjangnya tanpa basa-basi.

Tapi Sehun hanya bersikap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Dengan langkah santai ia berjalan mendekati Mr. Lee lalu membungkuk. “Maaf, Mr. Lee, tadi saya habis mengantar Yunhee.”

“Mengantar Yunhee?” Tidak mau memperpanjang masalah, guru beralis tebal itu langsung mengarahkan dagunya ke bangku di mana tempat Sehun seharusnya duduk. “Cepat duduk dan kerjakan tugasmu.”

Membungkuk lagi, sebelum akhirnya berlalu menuju bangkunya—masih dengan tampang dingin.

Tangannya bergerak cepat mengambil buku pelajarannya dan segera mengerjakan tugas dengan serius. Sebab bukan hal sulit bagi seorang Oh Sehun yang notabene merupakan salah satu murid berotak cerdas, jadi tak heran jika dengan mudahnya ia mampu menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang tersuguh.

Setengah jam berlalu, dan jam pelajaran Mr. Lee sudah usai diiringi bel istirahat yang berdering dengan nyaringnya.

Sehun tersenyum simpul. Dikembalikannya buku-buku yang tadi berserakan di atas meja dan menyumpal telinganya dengan earphone. Tetapi baru saja ia hendak memutar lagu yang berada diurutan paling atas ketika seorang gadis dengan surai madu yang dipotong pendek sebahu itu menepuk pelan pundaknya.

Merasa diusik, Sehun mendelik tajam dan menoleh menatap mata coklat bening milik sang gadis.

“Apa?” tanya Sehun dingin.

Gadis itu terlihat sedikit tersentak, sinar antara ragu dan terkejut terpancar jelas dari kedua iris coklatnya. “Ma-maaf menganggumu, aku hanya ingin bertanya… euhm, soal Jongin…, dia—”

“Aku tidak tahu, maaf.”

Menghela napas kecewa, gadis itu melemparkan tatapannya ke luar jendela. “Baiklah kalau begitu, terimakasih.”

“Hmm.”

Sebenarnya gadis itu bisa menebak, Jongin pasti pergi karena Yunhee. Lihat saja, bangku Yunhee mau pun Jongin kosong, keduanya tidak hadir di kelas hari ini.

Yah, di mana ada Jongin, di sana pasti ada Yunhee, begitulah kenyataannya. Dan gadis itu hanya mampu bergeming tatkala fakta pahit itu mengetuk hatinya. Sebab mau sampai kapan pun juga, cintanya tidak mungkin terbalaskan ‘kan?

Tentu saja. Bohong kalau kau berkata tidak.

***

Nyatanya siang itu matahari bersinar terlampau terik, membuat peluh membasahi seragam kemeja Jongin yang kini benar-benar berantakan. Rambut coklatnya yang tidak tertata, pelipisnya yang dipenuhi keringat, ditambah lagi napasnya yang terengah-engah seperti orang gila.

“Yang jelas kondisinya benar-benar buruk.”

Perkataan Sehun kembali melintas di benaknya. Sudah berkali-kali Jongin mencoba menenangkan dirinya serta detak jantungnya yang berpacu abnormal, tapi apa daya, ia benar-benar tidak bisa tenang jika ini menyangkut Yunhee.

“Ny-Nyonya Jung!” panggil Jongin heboh seraya mengetuk pintu rumah Yunhee. “Nyonya Jung, ini Jong—”

“Jongin?”

Tersentak, Jongin merasa jantungnya berhenti berdetak begitu iris coklat teduh itu yang menyabutnya. “Yunhee?”

“Kim Jongin apa yang—”

Tidak sempat berkata-kata.

Bahkan Yunhee belum selesai dengan kalimatnya ketika tiba-tiba saja Jongin jatuh terduduk di hadapannya dengan napas terengah. Lutut lelaki itu terasa lemas akibat berlari layaknya orang gila sepanjang berpuluh-puluh meter, dan sekarang apa yang dicarinya sudah berdiri di depan wajahnya, menatapnya dengan alis bertaut heran.

“Ada apa.. Jongin? Kau baik-baik saja?” Yunhee membungkuk mencoba menyejajarkan wajahnya dengan Jongin. “Kau habis lari marathon?”

“Si-sialan,” desis Jongin gusar. Lelaki itu menghentakkan kepalan tangannya ke atas lantai kayu halaman rumah Yunhee dan mengerang frustasi.

Shit! Sehun sialan!”

“Kau ini kenapa Jong?”

Mata coklat milik lelaki itu menatap Yunhee dengan tajam, “Kau…—ugh.” Apanya yang buruk? Kondisi gadis itu bahkan lebih dari kata baik. Kau tolol sekali, Kim Jongin.

***

Sudah pukul 12 siang, sia-sia bagi Jongin untuk kembali ke sekolah sebab waktu sudah nyaris menunjukkan jam pulang. Maka ia mengambil keputusan untuk menetap di sini, berdua dengan Yunhee di kamarnya yang berpetak 4×4 meter dan tenggelam dalam keadaan canggung yang mendesak.

Selama beberapa saat Jongin hanya menatap lurus ke arah Yunhee yang tengah membereskan baju-bajunya, mengambil semua pakaiannya dari dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper besar berwarna biru tua.

“Sebenarnya kau mau ke mana?” tanya lelaki itu dengan alis terangkat tinggi.

Yunhee tidak lekas menjawab, gadis itu malah tersenyum simpul dan menutup kopernya dengan perlahan. Iris coklatnya bergulir ke luar jendela seraya menghela napas panjang.

“Aku harus pindah rumah, kalau kau mau tahu.”

“Eh?” Mata Jongin sukses membelalak sempurna. Dalam batin ia berusaha menyangkal apa yang baru didengarnya hanyalah ilusi belaka lantaran terlalu lelah, tapi nyatanya Yunhee malah mengulang pernyataan itu seakan berusaha menegaskan pada Jongin.

“Aku tidak bisa terus menerus tinggal di sini, dan kebetulan Ibuku sudah menemukan apartemen sederhana di—”

“Kau tidak sedang bercanda ‘kan?”

Yunhee mengangkat bahunya enteng lalu duduk di samping Jongin, merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal dan kembali mengulas senyum. “Tentu saja tidak. Tenang saja, kita akan tetap sering berhubungan kok. Oh atau jika kau ingin menginap di apartemenku juga boleh.”

Jongin mengerutkan kening dan menggeleng tidak mengerti. “Tapi kenapa kau harus pindah?” Lelaki itu menghela napas kecewa. “Mau sampai kapan kau terus menyembunyikan masalahmu dariku, hm?”

Terdiam, selama beberapa saat Yunhee hanya mampu menatap seprai ranjangnya, tidak berani membalas tatapan Jongin yang serasa menusuknya dengan telak.

“Aku…—” Yunhee kembali terdiam, lagi-lagi kalimatnya buyar.

“Aku kecewa padamu, Yun.”

Mata bulat coklat itu beralih menatap Jongin dengan sedikit sayu. “Jongin aku—”

“Sampai jumpa.”

Dan bagi Yunhee semuanya nampak benar-benar sudah hancur. Dunianya tidak lagi sama seperti yang kemarin, ia sadar akan hal itu. Tapi setidaknya, berikan ia kesempatan untuk—

“Kim Jongin,” panggil Yunhee tepat ketika Jongin hendak memutar kenop pintu kamar Yunhee. Lelaki itu terdiam, tapi tidak berniat berbalik.

“Kau… meninggalkanku sebanyak dua kali. Dalam sehari,” bisiknya pelan, mencoba menahan kristal bening yang mulai mengusik penglihatannya. Namun untung baginya bahwa Jongin tidak sempat melihat tetesnya yang sempat meluruh membasahi pipi.

Jongin terhenyak. Benar, kini ia berniat meninggalkan gadis itu—lagi. Ia terlalu egois, bukan?

Menghela napas panjang, pelipis lelaki itu terasa berdenyut. Tapi gadis itu lebih egois, benar begitu? Ia menggigit bibir bawahnya. Katakan bahwa ini semua benar, katakan bahwa langkah yang kuambil untuk meninggalkannya lagi adalah pilihan terbaik.

“Kau tahu…, memendam perasaan itu sakit loh, Jong. Dan setiap hari yang kurasakan hanya rasa pilu, di sini; di ulu hatiku.” Yunhee menunduk, menyembunyikan wajahnya. Ia tidak mau terlihat lemah, terutama di hadapan Jongin. Terdengar bodoh ya?

Dan dalam hitungan detik, Jongin melangkahkan kakinya menjauh, memantapkan langkah tegasnya yang berlalu meninggalkan Yunhee.

“Aku… memang terlampau egois….” Yunhee tersenyum pahit.

***

“Yunhee-ya? Kau sudah siap?” Ibu berjalan menghampiri putrinya yang tengah bersender di kusen jendela. Cahaya matahari bersinar cerah menyapa helaian rambut coklatnya, membentuk sebuah rim light berwarna keemasan.

“Sayang, kau sudah membereskan semua—” Tercekat, seperti dihantam balok batu, melihat anaknya menangis bukanlah hal yang diinginkannya. Dengan lembut disentuhnya bahu gadis itu dan berujar pelan, “Kau kenapa, Yun?”

“Ibu…” Yunhee beralih menatap mata teduh Ibunya yang menyorot penuh khawatir.

“Yunhee, Ibu minta maaf, Ibu tidak—”

“Tidak, ini semua bukan salah Ibu,” Yunhee mengelak halus. Tangannya menurunkan tangan Ibu yang semula mencengkram pundaknya. “Aku baik-baik saja kok, Bu. Hanya sedang sedikit bernostalgia.”

“Yunhee, kamu—”

“Eh, sudah jam 1 siang. Ayo berangkat, Bu,” sela Yunhee cepat. Ditariknya lengan Ibu seraya menyeret koper biru tuanya. “Aku tidak sabar melihat rumah baru kita.”

“Kau ini ada-ada saja Yun.” Ibu melepas dengan lembut genggaman tangan Yunhee lalu terdiam. “Kau berangkat sendiri saja, tidak apa-apa? Masih ada beberapa hal yang harus kuurus.”

Terdiam sejenak, Yunhee menghela napas panjang. “Mengenai surat tanah itu, ya?”

“Hmm.” Ibu tersenyum dan mengusap lembut puncak kepala Yunhee. Menaruh tangannya di bahu gadis itu dan menepuknya pelan. “Ini kuncinya, nomor 104 di lantai dua sebelah kiri, oke?”

Yunhee mengangguk menurut. “Oke, Bu. Sampai jumpa nanti.” Ia melangkah lambat menuju daun pintu kamarnya, menoleh sedikit ke Ibu yang masih menatapnya seraya mengulas senyum kecil.

“Hati-hati Bu.”

“Ya, hati-hati, Nak. Ibu akan menyusul nanti malam, ya?”

“Eh? Nanti malam?”

Ibu mengangguk dengan sedikit ragu. “Ya, kau bisa mejaga diri ‘kan?”

“T-Tentu….” Yunhee mengangguk lagi, walau sebenarnya ada rasa ragu yang menghampirinya mengingat lingkungan baru yang akan ditinggalinya nanti, mana lagi ia tidak mungkin menghubungi Jongin. “Baiklah.. sampai jumpa besok, Bu.”

***

Sinar mentari kini berwarna oranye, diam-diam pancarannya menyelinap masuk melalui jendela besar di ujung ruangan.

Ternyata apartemen barunya tidak seburuk yang dibayangkan. Gedung berlapis cat krem cerah itu hanya memiliki dua tingkat dan empat kamar. Dua di bawah dan dua di atas.

Cukup nyaman, bukan? Kau tidak harus repot-repot menaiki berpuluh-puluh anak tangga atau memperkenalkan diri ke berpuluh-puluh manusia. Sebab jumlah totalnya penghuninya hanya ada delapan orang termasuk dirinya dan Ibu.

Yunhee membiarkan kopernya teronggok di samping sofa sedangkan ia hanya duduk sambil merenggangkan tubuh. Selama beberapa jam ke depan hanya akan dia di ruangan ini.

Dan itu tandanya ia akan kesepian.

Tanpa Jongin semuanya berbeda, hidupnya yang ramai berubah menjadi sunyi. Berkali-kali Yunhee mengetik beberapa kalimat untuk Jongin, tapi selalu tidak jadi.

Matanya terpaku pada pesan terakhir yang dikirim Jongin, sampai saat ini belum dibalasnya tanpa alasan yang jelas.

To : Yunhee

Hey, bagaimana bus-nya? Kau tidak ketinggalan ‘kan? Atau masih berdiri di halte?

Yunhee menghela napas panjang. Pikirannya melayang ke kejadian memalukan waktu itu, ketika ia jatuh ke pangkuan Sehun dan—blussh. Wajahnya kembali memerah, oh sial.

Ia menggeleng-gelengkan kepala dan mencoba mengusir pikiran kacaunya ketika telinganya menangkap suara bising di luar.

Oh, ada orang di sana! Dengan semangat Yunhee melompat dari atas sofa, beranjak ke pintu apartemennya dan melongok ke luar. Sepertinya berasal dari bawah. Dengan hati-hati ia berjalan menuruni tangga.

Seorang wanita berambut pendek sebahu dengan anting di kedua telinganya. Wanita itu sibuk bercakap dengan wanita paruh baya di sampingnya yang tengah mengenggam sapu ijuk.

“Iya, kecoaknya banyak sekali, Injung-ah!” kata si Nenek itu.

Sedang si wanita terkekeh, ada seorang bocah laki-laki dengan rambut cepaknya berlarian kecil menghampiri Injung. “Eomma cudah pulang?”

Wanita itu beralih menatap si bocah. “Wah, Bamju sudah tidur siang, sayang?”

Si Nenek terkekeh. “Injung-ah, anakmu rewel sekali soal kecoak. Dia tidak sempat tidur siang tadi. Dan—hey gadis muda! Kau pasti penempat apartemen 104 itu ya?”

Yunhee tekejut sedikit akan ketelitian Nenek itu dalam mengamati keadaan sekitarnya, bahkan Yunhee hanya melongokkan kepalanya sedikit dari lantai atas.

Segera saja ia turun ke lantai bawah, menyapa tiga orang itu dengan perkenalan singkat. “Hai, namaku Jung Yunhee, penghuni baru kamar nomor 104.” Ia tersenyum manis.

“Wah, hai Yunhee-ssi, saya Im Injung, dan ini anak saya, namanya Im Bamju,” sahut si Injung dengan senyum cerahnya. Sama sekali tidak terlihat seperti wanita yang sudah berumah tangga.

“Ah, dan… panggil saja Nenek Cha, kamar 102 tempatku bernaung.”

Yunhee tersenyum lagi. “Salam kenal Nyonya Im, Nenek Cha. Oh ya dan Tuan Muda Im.”

“Ahaha, tidak usah seformal itu pada kami. Panggil aku Eonni saja, aku masih muda.”

Terkekeh, Yunhee mengangguk setuju. “Ehm, Eonni memang masih muda, benar.”

Tapi tiba-tiba Nenek Cha menyeletuk, “Dia itu operasi plastik, Yun. Jangan percayai dia.”

“Ah! Nenek Cha apaan sih, aku tidak operasi! Nenek iri saja dengan kulitku yang awet muda.”

“Cih, siapa yang iri denganmu? Walau kulitku kendur begini yang penting jiwanya berjiwa muda,” sahut Nenek lalu menjulurkan lidahnya.

Oh well, sepertinya Yunhee akan senang tinggal di sini.

“Omong-omong berapa umurmu, Nak?” tanya Nenek Cha.

“Aku? 15 tahun, Nek.”

“15 tahun? Wah, lihat! Kau beda 10 tahun dengannya, Jung-ah!”

“Tapi kami terlihat sepantaran kan? Lihat wajahku, Yun! Kita terlihat seumuran ‘kan?”

Lagi-lagi Yunhee hanya bisa tertawa melihat tingkah dua manusia ini.

“Hm, kalau begitu kau seumuran ya dengan lelaki yang tinggal di depan apartemenmu itu.”

“Eh? Benarkah?”

“Ya, namanya…. Sehan.”

Alis Yunhee bertaut heran. Sehan? Namanya mirip dengan Sehun.

“Bukan Sehan, Nek! Tapi Sehun.”

“Sehun?”

“Eh bukan Sehun, sepertinya… Sehon?”

“Sehon? Kau mengigau Injung! Bukannya nama pemuda itu Senpai?”

“Yak! Macam-macam saja, Senpai itu sebutan untuk senior dalam bahasa Jepang! Oh astaga kepalaku bisa botak bicara denganmu, Nek.”

“Mwo? Dasar anak kurang ajar! Siapa orangtuamu sih?”

Perut Yunhee terasa sakit akibat tertawa tanpa henti mendengar pertengkaran kecil keduanya. Sehan? Sehun? Sehon? Senpai? Kepalanya sakit mendengarnya. Yang mana yang benar? Tidak mungkin ‘kan Sehun tinggal di sini? Aneh-aneh saja.

“Hm, kalau begitu saya naik duluan ya, ada beberapa hal yang harus kuurus.”

Nenek Cha yang tengah mendamprat Injung terdiam sejenak lalu tersenyum ramah. “Ya, siahkan Yunhee-ya. Hati-hati Nak!”

“Apa-apaan itu! Kau bersikap manis hanya kepada anak muda.”

Yak! Itu karena kau kurang ajar, Injung! Berikan nomor ponsel Ibumu, biar kuajarkan cara mendidik anak yang benar!”

Oh, perutnya keram. Yunhee terus tertawa sepanjang anak tangga, pipinya sakit tapi ia tidak bisa berhenti. Tidak salah Ibunya memilih apartemenna di sini, setidaknya ia tidak perlu Jongin untuk membuat hari-harinya berisik. Iya ‘kan?

Tapi kenapa rasanya masih hampa?

Sebenarnya sejak kapan kehadiran laki-laki itu menjadi prioritas utamanya? Yunhee juga tidak tahu.

***

Matahari sudah beranjak pergi, digantikan dengan sinar rembulan yang menyorot lembut ke atas tirai sutra berwarna peraknya. Yunhee sibuk mengganti channel televisi, mencoba mencari tontonan menarik di balik layar kaca tersebut.

Bibirnya mengerucut kesal, dengan jengah ditekannya tombol off dengan kasar dan beranjak menuju luar apartemen. Keadaan jauh lebih tenang dibanding tadi sore. Suami Injung sudah pulang, begitu juga suami Nenek Cha. Semuanya sibuk menjalanan aktifitas di kamar masing-masing, kecuali penghuni apartemen di seberangnya yang tak kunjung pulang.

Penasaran menunggu orang yang katanya bernama Sehan atau Sehun atau Sehon atau Senpai—ah, yang terakhir sepertinya tidak mungkin—itu pulang. Pikirannya sibuk berdebat dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan perlahan di taruhnya lipatan tangannya di atas kusen jendela yang berada di antara dua kamar apartemen tersebut. Berdiri bertopan dagu.

Matanya terfokus menatap cahaya bintang yang meramaikan malam di hari ini bersama dengan sang rembulan. Dari sini ia bisa melihat keindahan kota Seoul dari atas, melihat bagaimana sinar lampu kendaraan yang melaju dengan lincah sepanjang jalan raya, juga bagaimana indahnya sinar lampu gedung-gedung pencakar langit itu mengisi kegelapan malam.

Tersenyum lagi.

Di sini ia juga mampu melupakan masalahnya sejenak. Suasana baru memang memudahkan semuanya. Yunhee memejamkan mata dan merasakkan angin malam membelai wajahnya dengan lembut, memberikan gadis itu ketenangan sementara.

Dan tepat ketika ia hendak membuka pejaman matanya, suara pintu yang tertutup dengan agak kasar menyentaknya dari lamunan.

Ada siapa?

Pandangannya melesat cepat ke arah sumber suara dan mendapati pintu apartemen di seberangnya sudah tertutup rapat.

Mendesah kecewa, bagaimana mungkin ia tidak mendengar langkah kaki si pemilik apartemen itu. Yunhee membuang napas panjang dan berbalik hendak masuk lagi ke apartemennya.

Memutar kenop dengan ragu ketika tiba-tiba lampu yang menerangi ruangan itu mengerjap-ngerjap beberapa kali. Meredup-menyala-meredup-menyala. Membuat Yunhee mendelik curiga.

Satu, dua, tiga.

Mati listrik?

Yunhee meraskan tubuhnya menegang dan dengan panik ia meraba sekitar berusaha mencari pegangan tangga. Di mana ujungnya? Di mana temboknya?

Kakinya lemas, ia terlalu takut hingga langkahnya menjadi tidak mantap dan—

Tubuhnya terjatuh, berguling selama beberapa kali di atas anak-anak tangga hingga rasanya semua tubuhnya sakit sekali. Punggungnya ngilu akibat terbentur dan kepalanya pusing karena berputar-putar selama beberapa kali.

Ringisan menahan sakit meluncur dari bibirnya.

Ia tidak konsen lagi dengan apa yang sedang dilakukannya, sebab tiba-tiba saja ia melihat Nenek Cha yang berlari panik ke arahnya, disusul Injung.

“Kau tidak apa-apa Yunhee-ya?” Ini suara Nenek Cha. “Hei! Wonhee! Ya! Cha Wonhee!” wanita paruh baya itu sepertinya memanggil si suami.

“Ada yang sakit, Nak? Kakimu terkilir?” Nenek Cha mengulurkan tangannya dan mendudukkan tubuh Yunhee.

Meringis lagi, Yunhee mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa Nek, hanya sedikit sa—akhh!”

“Astaga, jangan banyak bergerak nanti menjadi fatal! Oh Tuhan, di mana si Wonhee itu, hah?” Nenek Cha berganti menatap Injung yang tengah menggendong Bamju.

“Para lelaki sedang pergi keluar mencoba mengecek keadaan, sepertinya gardu listrik meledak.”

“Apa? Meledak? Jadi mati listrik ini akan bertahan lama?” Mengumpat sebentar, Nenek Cha mendengus kesal. “Kau jangan banyak bergerak nanti—”

“Ada apa ini?”

Lelaki berubuh semampai dengan rambut hitam kelamnya berjalan hati-hati menuruni tangga, cahaya lilin di tangannya menerangi wajah si lelaki.

“Oh Sehun?” Yunhee mengerjap beberapa kali dan mencoba menggerakan kakinya. “Akkh—sial.”

“Yunhee-ya! Kubilang jangan banyak bergerak, nanti ada yang patah,” tegur Nenek Cha yang memasang tampang khawatir. “Oh ya siapa namamu? Sehan? Ah siapa pun namamu, bisa kau angkat dia?”

“Ehh?” Mata Yunhee membelalak kaget.

“Tidak usah malu-malu begitu Yunhee, kalian sepantaran ‘kan?” Injung sempat-sempatnya tersenyum menggoda lalu bangkit berdiri. “Bawa saja ke apartemenku.”

“Tapi ‘kan gelap, Injung.” Nenek Cha mengingatkan.

“Setidaknya ada cahaya lilin yang—”

Tiba-tiba lampu kembali menyala, seruan para lelaki dari luar terdengar sampai sini. Injung terkekeh pelan, “Lihat, para suami berhasil menghidupkan listirknya. Mungkin gardunya tidak meledak, hanya sedikit korslet.”

Nenek Cha menghela napas lega.

“Omong-omong, aku memiliki P3K,” ujar Sehun datar. “Ada di apartemenku.”

“Ya sudah kalau begitu bawa gadis ini ke apartemenmu, kau lamban sekali anak muda?”

Lagi-lagi Injung tertawa terbahak. “Itu namanya malu-malu kucing, Nek. Wajar saja, Yunhee ‘kan gadis cantik.”

“Hey! Siapa yang bilang—” ujaran Yunhee terpotong, tepat ketika Sehun tiba-tiba saja membungkuk, menyelipkan tangannya ke balik leher Yunhee dan ke belakang lututnya. Dengan mudah Sehun mengangkat tubuh Yunhee dan melirik Nenek Cha serta Injung sekilas.

“Kalian ikut ‘kan?”

Lantas keduanya mengangguk lalu mengikuti Sehun yang membopong Yunhee ke kamar lelaki itu.

Entah sudah seberapa merah wajah Yunhee saat ini, sebab sepertinya otak gadis itu lumpuh total begitu tangan Sehun menyentuh kulitnya. Dada lelaki itu sangat dekat dengan wajahnya, ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak normal.

Jelas lelaki itu merasa tidak masalah untuk menggendong seorang gadis. Jadi, mengapa hanya dirinya yang segugup ini?

Yunhee menggigir bibir bawahnya ketika Sehun meletakkanya ke atas sofa kulit berwarna coklat. Untung lampu sudah menyala sehingga mereka dapat melihat dengan jelas.

Dengan sedikit hati-hati Sehun menyentuh pergelangan kaki gadis itu. “Di mana yang sakit?”

Akh, y—ya, di sana. Jangan dipegang!”

Sehun mengangguk. “Sepertinya hanya terkilir, Yun.”

Apa katanya? Yun? Yun? Yun?! Lelaki itu menyebut namanya? Dengan tidak formal? Tanpa embel-embel –ssi? Yunhee tercekat.

Ia tidak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya, pikirannya melayang entah kemana dan tiba-tiba saja ia mendapati dirinya tengah meneguk secangkir teh di samping Sehun. Menatap kosong televisi yang dinyalakan di hadapannya seakan jiwanya tidak sedang di raganya.

Berdua di satu ruangan bersama Sehun membuatnya terlihat tolol. Injung dan Nenek Cha sudah pulang sedari tadi.

“Mau pulang?” Sehun bertanya dengan datar.

“Eh?”

“Kau mau pulang?”

“Hm.”

“Mau kuantar? Rumahmu di mana?”

Dia tidak waras. Dia benar-benar sedang tidak waras. Yunhee dengan susah payah menelan tegukkannya lalu beralih menatap Sehun ragu-ragu. “Lelaki sepertimu mau mengantarku pulang?”

Ya! Aku ini sudah menolongmu tiga kali.”

Keningnya berkerut heran. “Tiga kali?”

Hampir saja Sehun keceplosan mengenai kegiatannya mengikuti Yunhee tadi pagi. Segera saja ia membuang tatapan dari wajah Yunhee dan berdeham, “Maksudku, dua kali.”

“Kau ini perhitungan sekali.”

“Jarang-jarang aku menolong orang.”

Oke, hampir saja Yunhee memuncratkan teh itu dari mulutnya. “Jarang? Jadi maksudmu, aku ini spesial? Oh, haruskah aku merasa bersyukur sudah ditolong olehmu?”

Sialan, ia salah bicara lagi. Sehun mendengus lalu berlalu, berjalan ke kamarnya dan kembali dengan kunci mobil di tangannya. “Mau kuantar tidak?”

Dia benar-benar mau mengantarku? Gila. “Hm, boleh.”

Sehun mengangguk kecil lalu mematikan televisi, berjalan duluan keluar apartemen dan menunggu gadis itu keluar dari kamar apartemennya.

Tapi yang ditunggu tidak lekas datang. Tentu saja, seharusnya ia ingat, gadis itu terkilir dan kini kesusahan bahkan hanya untuk berjalan saja terlihat sangat menderita.

Mau tak mau Sehun berjalan mendekat, meraih pundak gadis itu dan menuntunnya jalan dengan sedikit ogah-ogahan. Tatapannya datar, sama sekali tanpa ekspresi.

Ya! Kalau tidak mau membantu lebih baik tidak usah!” sergah Yunhee yang terlihat agak muak dengan sikap sok dingin Sehun.

“Aku tidak mau menghabiskan waktuku hanya untuk menunggumu yang berjalan dengan kecepatan orang mengesot.”

“Kalau begitu tidak usah mengantarku!”

“Kau mau jalan terus seperti ini sampai rumahmu?”

“Rumahku dekat, Oh Sehun!”

“Dekat? Oh ya? Kalau begitu silahkan pulang sendiri!”

Yunhee mendengus kesal, Sehun melepaskan genggamannya dari pundak Yunhee.

Sialan dia. Mana mungkin juga orang seperti dia mau mengantar seorang gadis pulang, kau terlalu berharap Jung Yunhee.

Dengan kesal Yunhee berjalan tertatih, mengabaikan tatapan mengejek Sehun yang mengekorinya terus sampai gadis itu berada di luar apartemen. Bukannya berinisiatif menolong lagi, Sehun malah melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar di ambang pintu, mengamati gerak-geris si gadis.

Yunhee memutar bola mata gusar. Sedikit lagi ia akan sampai di pintu apartemennya dan—ya! Akhirnya tangannya menyentuh kenop pintu, dengan perlahan dimasukkanya kunci apartemen dan memutarnya.

Sedangkan Sehun menatanya dengan mata membelalak kaget.

“K-Kau tinggal di—”

“Ya, benar. Mau apa kau?”

Tercengang tidak percaya, Sehun mengerjapkan matanya beberapa kali seperti orang tolol, dan Yunhee menikmati saat-saat ini. Saat-saat di mana ia menang telak dari Sehun.

Senyumnya mengembang bangga, “Kau kaget?”

“Sejak kapan kau tinggal di sana?!”

“Sejak hari ini.”

“Kau mau memata-mataiku?” Kini Sehun menatapnya dengan mata memicing curiga.

“Yak! Yang benar saja!” Cih, memangnya sebodoh apa ia hingga mau memata-matai orang semacam Oh Sehun? Oh hell.

“Terserah saja,” dengus Sehun kesal lalu masuk ke apartemennya dengan sentakan kasar.

Tersenyum lagi, Yunhee merasa puas.

***

Sudah larut malam, tapi Ibu belum kunjung datang.

Yunhee menghela napas panjang, tangannya meraih susu botolan yang sempat dibelinya tadi di supermarket. Dengan ganas diteguknya hingga habis.

Terdengar suara ketukan di pintu.

Eomma?”

“Yunhee, ini Ibu.”

Eomma!” Yunhee tersenyum senang dan menghampiri Ibunya yang terlihat kesusahan membawa beberapa berkas. Ia segera membantu dengan senang hati, menaruhnya di atas meja dengan rapi.

Tapi tepat ketika matanya menemukan amplop putih itu, tubuhnya terasa menegang. Bibirnya kelu. Amplop itu amplop yang sama seperti kemarin, yang sempat dibacanya ketika Ibu menangis di pelukannya.

Eomma… surat perceraian itu—”

.

.

— TBC —

.

[A/N] : Hai! This is the thrid chapter! Uwa! Senengnya bisa ngelanjut sampe chapter 3 😀 Udah pada tahu ‘kan isi amplopnya apa? Heheuw, ada yang tebakannya bener? Ciyee, yang bener ntar kukasih ketjup manis dari Bang Kai deh XD /lol/ Yang ini masih terlalu pendek kah? Ini udah 20 halaman loh ‘-‘  Dan oh ya, buat chapter selanjutnya mungkin aku gak bisa update secepet tiga chapter pertama ini, soalnya besok udah masuk ke hari sekolah jadi… ya gitu deh. Pasti bakal sibuk lagi sama tugas dan pekerjaan sekolah lainnya. Tapi akan ku-post as fast as possible kok ^_^

Dan satu lagi, ehmm.. jujur aku agak kecewa karena ternyata masih banyak silent readers :”” Aku gak gigit kok, kalian bebas ngungkapin pendapat kalian di kolom komentar di bawah. (Apa iya aku harus ngancem untuk mem-password chapter selanjutnya? Enggak ‘kan ya? 🙂 )

Dan buat semua readers yang udah baca sampai paragraf ini, aku ucapin banyak terimakasih buat kalian! Karena tanpa kalian aku gak akan ngelanjutin sampe chaper ini! Saran dan komentar kalian sangat berarti loh, apalagi kemaren kalian juga sharing tentang tebakan kalian tentang isi amplop itu, jujur aku sampe ngakak bacanya XD

Haha oke ini kebanyakan bacot emang, maaf maaf. Aku emang banyak omong orangnya :”) (Yang kesel boleh nabok aku pake raket nyamuk kok) Yang mau hubungin aku bisa kontak twitter @eun_ryi atau LINE ID euntheana. Selalu terbuka buat kalian yang mau sokab atau cuap-cuap tentang abang-abang EXO! (?) Okeee, sekian dan terimakasih!

291 tanggapan untuk “Everything Has Changed (Chapter 3)”

  1. yunhee dan kai sama2 gak mau mengakui huhu, mereka jdi begitu. Sehun jutek banget ahahah. Oh ya seblumnya aku bilang surat itu surai perceraiannya tenyata itu surat tanah ya? Ahahha salah. Tapi itu di akhir surat perceraian maksudnya apa? Untung yunhee se-apartemen sama sehun setidaknya sehun bisa terus bantu yunhee ahahah.

  2. Sehun–>>Senpai? wkwkwk Nenek Cha ada2 aja :”’v
    EkhmmSehunYunhee-tetanggaan-ekhmm.. Entah knp lebih suka ama Sehun-Yunhee..
    STAY COOL SEHUN!! tapi sering2 nunjukin sikap MANIS leh ugha ^^ ..Lapyuuu!! >o<

  3. Tebakan aku salah 😦 dikira tadi surat fonisan dokter kalo Yunhee kena penyakit apa gitu :/ *abaikan*
    Hihi btw aku seneng banget thor, sampe chapter ini alur ceritanya mulus gak ada yang mengecewakan 😀

  4. Astaga gw kira itu surat vonis penyakit ganas
    Twnya surat cerai
    Eh? Surat cerai!!!? Ibunya yunhee cerai?? Jadi dia nangis smaleman karna tw bonyoknya cerai!!!
    Pantes ajaaa
    Trus mreka pindah knapa? Harta gono gini bukan wkwkwkw 😀

  5. Tebakannya salah besar, itu surat tanah toh -.-
    Trus apa hubungannya sm perceraian? A aku tau, kayaknya ortunya yunhee ini mau cerai, dan yg punya tanahnya itu ayahnya yunhee, jdi kalo mereka cerai otomatis tanahnya itu bukan punya ibunya yunhee hehehe bener gak?
    Pengen lanjut ni , jdi gak bisa komen banyak2

  6. ohh ak paham…
    itu surat kemaren ternyata surat perceraian orang tua nya Yunhee tohh..
    kena Yunhee gak bilang aj atau curhat sama Kai..
    ini malah mendam aj yang aada nanti akan merenggangkan hububgan persahabatan mereka..
    Kai sama Yunhee sama-sama egois menurutku…
    hahahahha ak gak nyangka masa siSehun mau ngantar Yunhee padahal rumah nya Yunhee ada didepan pintu apertemen nya wkwkkwwk..
    Yunhee kamu ceroboh banget sihh..
    sampai jatuh dari tangga..
    ijin baca kelanjutannya dulu ya…

  7. Aduh sumpah seneng banget kalo punya tetangga kayak nenek cha sama injung yg kocak abis apalagi ditambah sehun, wuuu jadi lengkap deh.

  8. aku suka banget FF ini 🙂
    hanna itu sebenernya iri ngeliat jongin sama yunhee
    terus sehun bilang cinta sama yunhee dan ngira dia bakalan jadi saudara tiri padahalkan sehun tau yunhee cuma anak pungut kan..
    padahal gak apa-apa kan :/
    oke daripada aku bingung. mending cepetinn next chapter selanjutnya aja thorr 😉
    FIGHTHING author 🙂
    maaf ya thor baru bisa comen sekarang. e-mail WP aku rusak jadi bikin lagi..

  9. ternyata isi amplopnya itu surat cerai ? kirain penyakit yunhee -,-
    astaga nenek cha sama injung bikin ngakak 😀

  10. Jiah jadi tetangga Sehun, kira kira nanti jadian ga ya sama Sehun? Dia bersikap dingin pasti ada alasannya. Tetangganya asik ya lucu terutama si nenek bisa menghidupkan suasana.
    Oh ternyata surat perceraian toh, pantas dampaknya sampai begitu, tapi mengapa cerai? Selingkuhkah ayah atau ibunya yunhee?

  11. jadi.. surat cerai
    yunhee tetangganya orang ganteng melulu ya kkkk
    belum sehari tinggal, udah jatuh aja :p

  12. Banyak kebetulannya ya ketemu sehun. Haha tapi aku sukaaa.
    Ohhhh jadi amplop itu surat cerai tohh
    Ok author aku next nih

  13. Well, sudah 9 chapter terlewatkan. Ternyata sudah chapter 11 ya? Yah, kalau gini pasrah saja. Mungkin sehari sechapter cepet rampungnya.

    Jujur sih, aku envy kamu bisa nulis sechapter 20 halaman sendiri. Kebayang nggak kalau ditotal kamu bisa bikin novel? Soal nulis kamu tuh nggak usah ditanya lagi, apalagi di umur kamu yang masih segini. 13 kan ya?

    Di sini rasanya demi apapun aku lebih ngerestuin Sehun-Yunhee. Si cewek charming, tegar nah si cowok -um- cool and cold (meski rasanya kok Sehun jaim -.-)

    Poin plus yang aku suka, ada humor yang nggak garing dan tetep ada hubungannya sama cerita. Nenek Cha dan Injung. Haha.. aku bener-bener nganggep mereka kaya ibu-anak gitu. Gimana ketika mereka saling ngeributin nama Sehun itu bikin ngakak.

    Poin minus. Typo! Nggak banyak sih XD

    Soal Sehun-Yunhee, ahh… betapa aku nggak bisa ngontrol diri untuk tidak tersenyum saat baca moment mereka. Mungkin saat itu aku nyaris diabetes (eh, nggak tahu ding XD)

    Mungkin ini dulu. Aku mau lanjut dulu soalnya. Seeya 😉

    Well, sialan banget kan tebakanku salah? dulu waktu tahu aku cuma bisa teriak keseeeeel banget -.-

    1. Astaga Kia aku gak nyangka kamu bakal beneran baca (…) Seriusan gak nyangka :”D /duh jadi terharu/

      Aduduh, novel? Percayalah mungkin ini bakal jadi novel yang terakhir dilirik di jejeran novel remaja lainnya :’) Iyaps, 13 tahun beranjak 14 tahun di Oktober nanti mueheheh XD Soal komedi yang gak garing itu, aku pun gak berniat nyelipin komedi sebenernya, entah kenapa ngalir gitu aja (lol)

      Dan soal poin minus, nah! Typo salah satu dari banyak kelemahanku. Sebenernya ada banyak poin minus di sini (yang aku sadari tapi susaaah banget buat perbaikinnya) Mulai dari karakteristik tokoh, plot yang agak ngawur, sampe soal latar tempat yang kurang aku deskripsiin dengan baik :’) Entahlah, bagiku susah banget buat nganuinnya/?

      Haha okeoke duh gak usah dipaksain ki, nanti muntah wkwkwk XD Duh pokoknya makasih banyak ya ki udah nyempetin baca :”D Terharu aku serius :”)

      PS: btw The Story of Peace kapan dilanjut? :3

  14. “Ya, namanya…. Sehan.”
    Alis Yunhee bertaut heran. Sehan? Namanya mirip dengan Sehun.
    “Bukan Sehan, Nek! Tapi Sehun.”
    “Sehun?”
    “Eh bukan Sehun, sepertinya… Sehon?”
    “Sehon? Kau mengigau Injung! Bukannya nama pemuda itu Senpai?”

    PERUTKU SAKIT GARAGARA NGAKAK THORRR xD

    yunhee udh gak tetanggan lagi sama jongin, tp tetanggan sama sehun /enakbeuddwkwk/ xD

Tinggalkan Balasan ke Nie juan Batalkan balasan