Shadow [Chapter 9-END]

shadow cover

 

Rainy, cloudy, no light, darkness, day and night
Ever since you left, maybe my existence itself disappeared
Back in the day, there were sunny days, there were flashing lights
I was always by your side, I was there
Cause I’m shadow

 

 

Story Before / Other Story : click here

 

 

 

 

Bau khas obat obatan dan peralatan medis, simpang siur menggelitik setiap hidung para manusia yang sedang berlalu lalang di antara lorong lorong ruangan.

 

Gedung bercat putih dengan para pekerja yang menggunakan pakaian sewarna terlihat begitu mati di antara gedung gedung lain.

 

Ya. Itu sebuah rumah sakit.

 

 

 

 

Seorang bocah belia sedang berlarian, melewati orang dewasa yang menghalangi jalannya dengan gesit. Wajah polos dan tulus khas seorang bocah turut menghiasi senyum dan pekikan girangnya.

 

 

 BRUK.

 

“Ah, appeu.”

 

 

Satu orang di hadapan bocah itu, luput dari pandangannya dan bocah itu berhasil terpental ke belakang dengan bokong yang mencium lantai. Sempurna.

 

 

“Gwaenchana?”

 

Seseorang lain berusia tak jauh dari bocah itu berjongkok selangkah di depannya.

 

 

Bocah kecil itu mengelus bokongnya sambil merintih sakit lalu mencoba berdiri.

 

 

 

“Ah, gwaenchana eonni. Hanya terbentur biasa. Hanya saja lantainya dingin, brrr,” celoteh bocah itu.

 

 

 

“Aigoo, kau pasti sedang kehilangan orang tuamu, benarkan?”

 

 

“Aniyeo eonni,” gerutu bocah itu lagi.

 

Wanita yang dipanggil eonni itu meneliti pakaian bocah itu, “Eh, kau juga pasien di sini?”

 

“Ck. Pasti eonni akan mengembalikanku ke kamar jika aku berkata ya.”

 

“Tentu saja. Tidak baik anak manis sepertimu berlama lama di rumah sakit. Kau ingin sembuh kan?”

 

 

“Aish. Semua orang selalu berkata seperti itu. Aku tak akan pernah bisa sembuh, eonni! Dari aku lahir, rumah sakit ini adalah rumahku. Jadi, ada baiknya eonnie membelikanku kopi! Di sini dingin.”

 

 

“aish. Tidak baik berkata seperti itu.”

 

“Ck. Eonni satu ini benar benar banyak bicara.”

 

“Aih, bocah satu ini benar benar pandai berbicara. Siapa namamu? Berapa umurmu?”

 

“Belikan aku kopi dulu, baru aku akan mengatakannya,” tawar bocah itu.

 

“Arrasseo. Kajja,” orang dewasa itu tersenyum dengan wajah pucatnya dan menggandeng bocah itu menuju kafetaria rumah sakit.

 

 

***

 

 

“Eum… Ireumi mwoyo?”

 

“Na?” Bocah itu mengerjap lucu sambil memainkan kakinya yang menggantung karna tak sampai lantai dari atas kursi.

 

“Eung.”

 

“Minah. Bang Minah imnida,” bocah itu menyesap kopinya untuk yang pertama kalinya.

 

“Minah?”

 

“Ne. Bukankah nama itu sangat cantik?” bocah itu menaik turunkan alisnya.

 

“Heol, Mi-nah. Aku mengenal orang lain bernama Minah.”

 

“Jinjja? Apa dia cantik?”

 

Orang dewasa itu menatap kosong kopinya, “Ne. Sangat cantik. Bahkan aku dibuat cemas karna kecantikannya.”

 

“Woah! Daebak!”

 

 

Orang dewasa itu berhenti menanggapi celoteh bocah itu dan pergi ke alam bawah sadarnya dalam keadaan mata yang menatap kosong ke satu arah, kopinya.

 

 

 

Drrt… Drrrt…

 

Ponselnya bergetar.

 

Sebuah pemberitahuan yang muncul, menunjukan sebuah pesan singkat telah diterima.

 

Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

 

 

‘From: Suho sunbae

To: Eunie

Joo Eun-ah, aku turut sedih mendengar soal Baekhyun.

Mianhae aku tak bisa menjenguknya atau menguatkanmu.

Kurasa sejauh ini kau masih dapat bertahan sendiri. Tapi, jika kau benar benar membutuhkanku, maka saat itu juga telpon aku , aku akan ada di sampingmu. Arrachi?’

 

 

Tanpa ekspresi, Joo Eun membaca pesan singkat itu. Joo Eun bahkan masih menamai kontak seniornya itu dengan ‘Suho’? Pelindung? Siapa pelindung dan siapa yang akan dilindungi?

 

Dan lagi,

 

Kenapa terlalu banyak Minah di dunia ini?

 

 

 

“Eonni! Eonni!”

 

“Ah-ya?”

Joo Eun tergopoh mengembalikan ponselnya dalam saku.

 

 

 

“Kenapa eonni melamun?”

 

“Aniyeo. Oh ya, kau sakit apa? Aku harap kau lekas sembuh dan kembali ke sekolah, kau pasti merindukan teman temanmu.”

 

“Ah eonni, sudah kubilang aku tak akan sembuh. Jangan berkata seperti orang pamer yang memiliki hidup lebih panjang dariku. Aku tidak bersekolah.”

 

“Eih? Mana bisa begitu?”

 

Bocah itu mendecak, “untuk memikirkan seberapa lama hidupku saja aku malas. Apalagi harus bersekolah. Jantungku bocor. Tidak seperti yang kau pikirkan. Jantungku bocor dan itu tidak bisa ditambal dengan perekat apapun, kelainan dari lahir, kau tau? Dan eomma selalu menguatkanku soal itu. Padahal kau lihat sendiri aku tak apa, ya kan? Mereka saja yang selalu meremehkanku.”

 

Orang dewasa itu terdiam.

 

Bocah itu benar benar berkata tanpa beban seperti ia sedang mendongeng tentang tiga babi dan seekor serigala.

 

 

“Eonni…”

 

“Ye?”

 

“Ireumi mwoyo?”

 

“Nan ireumi… Geum-Ani-Byun Joo Eun.”

 

“Byun?” bocah itu mengerenyitkan keningnya.

 

 

 

 

“Minah-yya!”

 

 

Bocah itu mendelik kaget dan enggan menoleh.

 

“Seseorang memanggilmu?” Bocah itu menggeleng.

 

 

Benar saja.

 

Wanita yang berumur kurang lebih tiga puluh tahun sedang membelah kerumunan pengunjung kafetaria dengan peluh membanjiri pelipisnya. Digigitnya bibir bawahnya yang tak bersalah, menahan kekesalan. Sesekali jubah putihnya yang berkibar karna kecepatan larinya tersangkut pada orang lain atau hanya sekedar menabrak. Stetoskopnya beberapa kali membentur meja kafetaria dan ia mengucap maaf karna telah mengganggu pada pengunjung maupun pelayan. Wajahnya benar benar kacau.

 

 

“Minah-yya!” Pekiknya sekali lagi.

 

Bocah itu mendorong kopinya mendekati Joo Eun dan melompat turun dari kursinya.

 

“Aaa! Eomma! Appeu!”

 

Telinga bocah itu tertarik perlahan ke atas, kakinya tergeret menjauh beberapa langkah dan Joo Eun hanya menatapnya bimbang.

 

“Minum kopi lagi?! Kau ingin cepat cepat mati, huh? Kopi bisa menyebabkan detak jantung berlebihan! Kau tau itu tak baik, kenapa kau tetap melakukannya?”

 

Hebat. digertak seperti itu, bocah itu tak menangis.

 

 

Kring…kring…kring…

 

 

Wanita dewasa itu tak fokus sekarang. Pandangannya mengalih pada sirine yang berbunyi keras, tanda panggilan bagi para pekerja medis yang sedang bertugas.

 

 

Bocah itu mendadak mengerti situasi dan memandang takut ibunya.

 

 

Wanita berjas putih itu segera berlari menuju telpon terdekat yang ada di kafe dan menekan speed dial ruangan tim dokter.

 

 

“Yeoboseyo, Kim uisa, musun iriya? Ye ye. Bang Seonmi wasseo.”

(Doctor Kim, What’s going on? Bang Seonmi here.)

Dokter itu terdiam sebentar.

 

 

 

“MWOYO?! Isib-sa? Yeye. Call!”

(What?! Twenty-four? Okay!)

 

 

 

Wanita berjas putih itu berjalan menuju bocah kecil tadi dan berjongkok di depannya.

 

 

“Minah-yya, kau tau ini keadaan mendesak? Kau ingat cerita eomma tentang seseorang dengan nama Byun di ruangan nomor 24 yang tertembak dua bulan yang lalu? Tiba tiba ia tersadar dan jantungnya lebih lemah daripada milikmu. Jadi eomma harus kembali secepatnya. Kau jaga diri ya, jangan minum kopi lagi, dan kembali ke kamarmu secepatnya, ini darurat,” wanita itu mencubit dua pipi bocah kecil itu dan mencium kedua pipinya.

 

 

Bocah itu mengangguk patuh dan berbalik berjalan menuju kursi yang tadi ditempatinya.

 

 

“Eonni!”

 

“Eh? Kenapa kau kembali?”

 

“Aniyeo, bantu aku duduk. Eomma ada pasien darurat,” bocah itu menggapai gapai kursinya yang setinggi dengannya.

 

“Ah… Eommamu seorang dokter, ne?”

 

“Ye. Eomma seorang dokter! Dia sangat hebat! Sayangnya, sehebat apapun dia, ia tak bisa menyembuhkanku.”

 

“Jangan seperti itu. Kopimu?”

 

“Andwae, eomma melarangku meminum cairan itu.”

 

“Tapi tadi kau yang minta.”

 

“Hanya sampai perhatian eomma teralih.”

 

“Ya! bocah nakal!”

 

“Hehe—Oh-ya, eonni. Kata eomma, pasien di ruangan dua puluh empat dalam keadaan darurat. Dia seorang Byun. Apa kau mengenalnya?”

 

 

Byun?

 

 

Separuh kopi panas di cup yang digenggam Joo Eun, menumpahi tangannya. Asap panas mulai muncul dari sana.

 

“Astaga! Eonni!”

 

 

 

 

Setitik air mata tiba tiba jatuh di sudut matanya.

 

 

 

“B-Byun?”

 

 

“Ne, dia tertembak dua bulan yang lalu dan hingga sekarang dia belum bangun. Ah! Semoga dia lekas sembuh.”

 

 

Joo Eun memaksakan senyumnya, senyum pahit. Bukankah itu sudah biasa? dengan air mata yang masih belum berhenti mengalir di lengkung pipinya, bukankah senyum palsunya itu memang benar benar palsu?

 

 

Beberapa detik kemudian, otak sadarnya menyadari sebab ia menangis.

 

 

Drrrt….Drrrt…

 

Joo Eun mengeluarkan ponselnya dan menggeser tombol hijau ke kanan guna menerima panggilan untuknya.

 

 

“Yeoboseyo?”

“Ne. Waeyo?”

 

 

 

Ponsel tipis berbentuk persegi panjang keluaran baru di genggaman Joo Eun, terjatuh begitu saja tanpa hambatan.

 

Beberapa garis retakan terlihat di permukaan layar sentuh ponsel itu. Sayang sekali.

 

 

 

 

 

 

Joo Eun meninggalkan tempat, berlari sekuat tenaga. Bukan tanpa arah, tapi satu tujuannya, ruang dua puluh empat.

 

 

 

 

Bibir Joo Eun terkatup penuh dengan telapak tangan yang menutup di depannya. Baru saja tempat tidur beroda yang ditempati Baekhyun melewatinya, menuju lorong lain berseberangan dengan ruangannya yang sebelumnya. Joo Eun mengikuti arah kemana roda itu bergulir, hingga pintu ruang ICU tertutup memisahkan dua insan itu.

 

 

 

“Jweosonghamnida, agassi,” larang salah satu perawat.

 

 

Joo Eun berhenti sebentar dan menahan erangannya. Lampu sinyal ICU yang awalnya mati berubah menjadi warna merah, pertanda bahwa mereka dalam keadaan sedang bekerja dan memaksimalkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa dugaan.

 

 

Hidup atau mati.

 

 

Joo Eun menggigit bibir bawahnya, isakkan sama sekali tak lolos dari tubuhnya.

 

Ia benar benar hebat.

 

 

 

“Byunie…”

 

 

“Ya! Cepatlah! Akan terjadi badai!”

 

“Byunie! Chankaman, aku tak dapat berlari!”

 

“Ayolah! Kau ingin angin topan menelanmu?”

 

“Byunie! Akh!”

 

“Astaga! Berlari seperti itu saja sampai tersungkur.”

 

“Byunie, appeu! Eomma, appa, appeu! Hiks”

 

“Lihatlah! Langit bertambah mendung! palli, naik ke punggungku!”

 

Dar!

 

“Byunie aku takut.hiks.”

 

“Sudahlah, ayo cepat.”

 

 

 

“Byunie… Bertahanlah… Untukku…”

 

 

Dan seketika, tubuh Joo Eun tersungkur tak sadarkan diri.

 

 

 

 

***

 

 

 

Embun pagi mulai menitik dari daun satu ke daun yang lain. Burung burung mulai berterbangan, terusik akan suara deru mobil aktif di pagi hari kota Seoul. Kicauan burung yang semula bercicit dengan lembut berganti menjadi gema koak-an burung gagak hitam pemakan bangkai yang tersesat di kawasan dingin dan jauh dari hutan.

 

Namun sosok lain, wanita yang tak bisa dibilang dewasa sedang tertidur dengan pulasnya, tak menyadari bahwa deru banyak mobil yang terdengar itu berhenti di depan rumahnya secara bergantian.

 

“Hoamp,” ia terduduk, merenggangkan tubuhnya sebentar.

 

Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya membulat, menyadari sesuatu yang dianggapnya aneh.

 

 

Meja, lemari, sofa kecil, meja belajar, bahkan pintu tempat di mana Baekhyun menyimpan foto foto mereka bersama tertutup kain putih selayaknya ia akan pindah dari rumah itu.

 

 

Tunggu…

 

Ia mengingatnya…

 

 

Tiga foto yang terjajar rapi di dalam ruangan itu. Fotonya dan Baekhyun.

 

 

 

Napas Joo Eun menderu, takut akan sekelebat pikirannya yang datang tiba tiba. Ia menurunkan kakinya satu persatu dan memberanikan diri untuk melangkah keluar.

 

Hanya untuk sekedar bertanya, ‘apa yang terjadi?’

 

 

 

Dengan tangan gemetar, ia memutar kenop pintu kamarnya dan berjalan tanpa memperdulikan dinginnya lantai yang terasa. Bahkan ia tak ingat bahwa musim dingin kali ini sudah berganti menjadi musim semi.

 

 

Perlahan kebingungannya semakin menjadi saat ia semakin menuruni anak tangga menuju ruang tengah. Banyak isak tangis tertangkap telinganya dan dahinya sama sekali tak dapat menahan kerutan.

 

 

Ia melihat nyonya Byun duduk di kursi ruang tamu dengan hanbok hitam sedang menggenggam lipatan kain dan rangkaian bunga yang berbentuk seperti kalung sambil menahan isakan. Tentu saja dengan Tuan Byun yang dengan setia mendampingi di sampingnya.

 

 

“Eommonim,” lirih Joo Eun.

 

Nyonya Byun menoleh dengan air mata berlinang.

 

“Eunie…” Nyonya Byun mendekat, menyodorkan hanbok hitam di tangannya.

 

“Yeogi…”

 

“Pakailah, lalu temui dia di ruang kerjanya.”

 

“Ruang kerja? Nugu?”

 

“Baekhyun.”

 

Joo Eun berganti menatap hanbok yang kali ini berpindah di genggamannya.

 

Kristal bening meleleh dari matanya.

 

“Euni! Hiks” Nyonya Byun tiba tiba mendekap erat Joo Eun, “Baekie! Baekie-ku!” Erangnya entah pada siapa.

 

 

Joo Eun terdiam. Tak membalas dekapan ibu mertuanya itu, ataupun membuka mulutnya untuk berkata sepatah katapun.

 

Hanya air matanya yang dapat berbicara. Dan Tuan Byun hanya menunduk dengan setelan serba hitam yang ia kenakan.

 

 

 

 

***

 

 

 

Joo Eun keluar dari kamarnya, usai berganti pakaian.

 

 

Ia mencoba untuk berjalan ke ruang kerja Baekhyun. Sesuatu yang tak ingin dilihatnya tapi mengharuskannya untuk dilihat.

 

 

Joo Eun berjalan perlahan. Betapa terkejutnya ia melihat Chanyeol dan Chen yang sedang berwajah muram dan beberapa kolega ayah Baekhyun yang menatapnya kasihan, tak lupa ayahnya—Tuan Geum— yang seperti ingin memeluknya.

 

 

Joo eun membuka ruangan yang sebelumnya menjadi kamar tempat suaminya itu mempelajari grafik grafik saham. Ruang itu kini sudah berubah sedemikian rupa. Kosong.

 

Namun, paling tidak hanya satu yang bisa dilihatnya, sepaket perlengkapan kematian, dengan guci emas dan foto seseorang di belakangnya.

 

Baekhyun. Byun Baekhyun.

 

 

Joo Eun jatuh berlutut, menutup wajahnya. Memohon ampun dan keajaiban pada dewa yang masih mau berbelas kasih padanya yang tak memiliki kepercayaan dan keyakinan apapun.

 

 

Ia hanya bisa menangis. Abu Baekhyun tak akan kembali menjadi sosok Baekhyun yang ia rindukan, yang semula terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, atau yang berjanji mengajarinya menggunakan sumpit. Ia tak bisa.

 

 

 BLAK.

 

seseorang membuka kasar pitunya

 

“Baekie!!!”

 

Dengan histerisnya, ia memasuki ruangan itu.

 

Joo Eun tak ingin melihatnya. Ia terlalu muak. Ia tak ingin dirinya menjadi jahat karna ia tahu ia akan menjadi pembunuh saat ini juga, andai ia tak dapat mengontrol dirinya.

 

Suara itu, Seo Minah.

 

 

“Kau lihat, Jackson?! Kau puas sekarang?!” Pekik gadis itu.

 

Joo Eun mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya.

 

“Joo Eun-ssi,” panggilnya lirih, “jweosonghamnida… Aku—maksudku, aku tak berniat membunuhnya, Ah-Ani, bukan membunuh, waktu itu aku hanya ingin menembak di bagian kakinya, dan tiba tiba saja semua terjadi begitu saja, aku bahkan tak—”

 

 

“Cukup. Pergi dari sini, Jackson-ssi, Wang-ssi atau siapapun namamu, dan bawa jalang itu keluar dari sini,” geram Joo Eun masih tak ingin melepas wajahnya dari kedua telapak tangannya.

 

 

“Ini semua gara gara kau Jackson! Kau pembunuh!”

 

“Kajja kita pulang, Minah.”

 

“Aku tak ingin pulang bersama pembunuh!”

 

“Minah…”

 

“Shirreo!”

 

“MINAH! Pulang sekarang!”

 

 

Blam. Pintu tertutup.

 

 

Isakkan Joo Eun mulai bertambah keras. Hatinya seakan berontak untuk mempercayai pikirannya soal ini.

 

 

Joo Eun bangkit dari tempatnya bersimpuh dan berjalan perlahan menuju mimbar dimana guci emas itu berada.

 

 

 

Dua—

 

 

 

Tali hanbok Joo Eun terlepas dan dahinya berhasil mencium lantai karena benda itu menjerat dua kakinya mendadak.

 

 

 

***

 

 

“BYUNIE!”

 

 

 

 

Joo Eun menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia menyentuh dahinya. Ia baik baik saja?

 

 

“Astaga.”

 

Eh tidak. Ia tidak baik baik saja. Ada satu jerawat tumbuh di sana. Ah itu tidak baik. Tidak baik. Tidak baik. Tidak baik.

 

 

Bibir Joo Eun mengerucut. Apa itu tadi?

 

Wajahnya menoleh, dan senyumnya seketika merekah.

 

Ia masih di rumah sakit, mengenakan pakaian pasien, dan baru saja ia tertidur dengan posisi terduduk. Posisi yang sangat tak nyaman walau, ya… Perlu ia sadari bahwa ia benar benar senang sekarang karna yang baru saja terjadi benar benar mimpi. Mimpi yang mengerikan.

 

 

 

Hanya mimpi.

 

 

 

 

 

Tapi jika dipikir pikir, mimpi Joo Eun yang baru saja benar benar tak masuk akal. Walau Baekhyun belum terjaga dari dua bulan yang lalu, Baekhyun kan masih ada di ruang rawat biasa walau tentu saja di kamar VIP. Bahkan nomer kamarnya saja bukan dua puluh empat. Tapi bagaimana bisa Joo Eun tak menyadarinya?

 

 

Joo Eun berdiri, berniat mengambil camilan rumah sakit yang tak seberapa enak. Joo Eun benar benar kelaparan.

 

Joo Eun tersenyum jahil dan mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Baekhyun.

 

Cup!

 

Bibir mereka bertemu. Hanya sebuah pertemuan biasa, kecupan, bukan suatu yang istimewa, kk.

 

“Aku senang kau kembali,” senyumnya kembali terlihat.

 

“Ireona… Kau tau? Aku sudah ingat semuanya. Semua tentang kita. Joo dan Byun. Byunie-ku”

 

Joo Eun menyentuh ujung hidung Baekhyun gemas.

 

 

Sebuah amplop coklat melayang perlahan menyentuh lantai.

 

Joo Eun menatap aneh amplop itu. Sejak kapan ada amplop di pahanya?

 

Joo Eun memungut amplop itu dan membukanya.

 

 

‘Joo Eun Byun , positif hamil.”

 

 

Woah! Chukkae Joo Eun-ssi!

 

 

Eh—chankaman.

 

Joo Eun? Byun?

 

 

“Aku… Hamil?” Gumamnya.

 

 

Wajah ceria Joo Eun jatuh seketika.

Kenapa ini terlalu tiba tiba?

 

“Eugh—Eugh—” Joo Eun menyentuh mulutnya. Mual.

 

 

 

Kenapa banyak hal terjadi setiap saat?

 

“Aegi? Wasseo?” Joo Eun mengelus perlahan perutnya yang masih datar.

 

 

 

 

 

Joo Eun terisak.

 

 

“Kenapa sehabis mimpi buruk, aku harus mendapatkanmu, Aegi-yya? Apa setelah ini Byunie akan meninggalkanku lagi? Apa aku harus meninggalkannya dulu supaya ia tak meninggalkanku? Tapi—”

 

 

Tangan dingin menyentuh lengan Joo Eun.

 

Joo Eun mendelik. Ia menelusuri si pemilik tangan itu.

 

 

“B-Byunie—”

 

“Kau lakukan itu, maka aku akan menghamilimu untuk yang kedua kalinya.”

 

 

 

“K-kau, s-sejak k-kapan, t-tapi—”

 

“Kalau tidak salah, ada seseorang menciumku beberapa menit yang lalu dan berkata ia mengingat segalanya? Mengingat soal apa?”

 

 

“Ah-Ani, aku tak mengingat apapun. A-aku tak tau siapa kau s-sebenarnya. A-Ani maksudku. Siapa kau? A-apa yang kau lakukan? A-aku—”

 

 

 

 

Baekhyun terduduk di ranjangnya dan memeluk Joo Eun erat.

 

 

“Jangan sekali kali berpikir untuk meninggalkanku, Joo-yya. Kau tau, aku bisa mencarimu sampai ke ujung bumiku, kau ingat saat kau bilang Byun Joo Eun adalah matahariku dan aku bayangannya?” Baekhyun menghembuskan napasnya di leher Joo Eun, “Jadilah ibu dari anak anakku kelak. Dan jangan kau ulangi perbuatanmu kali ini, karna aku tak akan meninggalkanmu. Arrachi?”

 

Joo Eun mengangguk patuh dan sedikit bergidik karna Baekhyun tak berhenti menghembuskan napasnya di ceruk lehernya.

 

“Ya! Hentikan! Kau mau punggungmu patah karna kaku setelah kau tak bangun dua bulan lebih, hm?!”

 

“Shirreo.”

 

 

 

 

***

 

 

Bau peralatan medis kembali melayang layang di sekitar indera penciuman Joo Eun, tapi tentu saja berbeda dengan segala kisah yang terukhir di mimpinya. Ia tak lagi berjalan sendirian di sepanjang koridor dingin itu, tetapi seseorang dengan senyum yang sama mendampingi di sampingnya.

 

“Tunggu di sini, aku akan kembali dengan kopi di tanganku.”

 

 

Joo Eun tersadar dari bayangannya dan menoleh.

 

“Andwae!” Dengan gerakan cepat Joo Eun menahan tangan Baekhyun.

 

Kening Baekhyun mengerut, menatapnya bingung.

 

“Waeyo?”

 

“Bersama!” Pekik Joo Eun tiba tiba.

 

Baekhyun tertawa kecil, menatap Joo Eun dengan tatapan meledek.

 

Joo Eun menggembungkan pipinya kesal.

 

“Aigoo. Darawa! (Follow me)” Baekhyun tersenyum dan menarik tangan Joo Eun.

 

 

Baekhyun menarik kursi kafe dan mempersilahkan Joo Eun duduk terlebih dahulu, setelah itu ia mengambil tempat di hadapan Joo Eun. Ia mulai membuka buku menu yang tersedia di meja pengunjung.

 

“Pesan apa?” Tanya Baekhyun menatap wajah Joo Eun.

 

“Bukankah kita kemari hanya untuk dua buah cup kopi?”

 

“Geurae? Hanya dua cup?”

 

“Hm.”

 

Baekhyun memundurkan kursinya, “Baiklah, aku akan memesannya dan kembali ke sini.”

 

“Aniyo, biar pelayan yang datang kemari,” Joo Eun mengangkat tangannya, memberi sinyal.

 

Tak butuh waktu lama seorang pelayan dengan apron hitam datang menghampirinya, “Ye agassi?”

 

“Naneun Chococcino, neol?” Joo Eun menoleh pada Baekhyun yang menatapnya tanpa ekspresi sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

 

“Arraseo, 2 Chococcino” putus Joo Eun.

 

Pelayan itu segera meninggalkan tempat dan hilang dibalik pantry.

 

 

 

Beberapa menit terbuang percuma, Joo Eun yang sedari tadi bosan hanya bermain dengan tutup wadah gula kubus yang disediakan kafe.

 

Buka

 

Tutup

 

Buka

 

Tutup

 

 

 

“Waeyo?” Tanya Joo Eun merasa tak nyaman dengan suasana kaku yang tiba tiba menyelimuti mereka.

 

 

Tanpa melihat wajah Baekhyun, Joo Eun masih tetap membuka dan menutup wadah gula kubus di hadapannya.

 

“Mwoyo?” balas Baekhyun.

 

 

“Kenapa kau memandangku seperti itu?”

 

“Aniyeo. Hanya saja kau aneh semenjak terbangun dari tidurmu.”

 

“Huk? Jinjjaro? Aniyeo, mungkin aku hanya sedikit bersemangat mengetahui bahwa kau telah siuman sekarang. Aku juga sedikit bingung. Kenapa mereka cepat sekali melepas cairan infusmu sesaat setelah kau siuman. Padahal kau kan belum pulih benar.”

 

“Kau tau? sejujurnya aku sudah siuman sejak kemarin. Aniyeo, beberapa saat setelah kau terlelap. Dan aku cukup terkejut kau bisa tidur lebih dari dua belas jam.”

 

“Jinjjaro?! Aku tidur lebih dua belas jam?”

 

“Majjayo. Mungkin kau terlalu asik dengan mimpimu.”

 

“Hm. Karna mimpi itu aku mengingat siapa kau sekarang dan di masa lampau. Tapi mimpiku itu benar benar jauh dari kenyataan yang sedang kuhadapi sekarang bersama Byun Baekhyun, Byunieku.”

 

“Waeyo? Kau bermimpi?”

 

“Byun Baekhyun yang ada dalam mimpiku hanya berupa abu dalam guci. Bukankah itu lucu?”

 

“YA!”

 

“Aish. Jangan menyela dulu!”

 

“Di mimpiku aku bertemu dengan bocah cilik yang memiliki kelainan di jantungnya. Tapi dia benar benar lucu.”

 

 

“Chogiyo,” Pelayan meletakkan dua cup kopi di meja mereka kemudian ia mundur beberapa langkah.

 

 

Baekhyun tersenyum ramah pada pelayan itu dan langsung meraih cup kopinya.

 

“Aku jadi membayangkan, andai anak kita kelak berwajah sepertinya,” Joo Eun melirik sinis pelayan yang mendapat senyum manis suaminya.

 

“Uhuk!” Baekhyun tersedak.

 

“Waeyo? Apa aku salah?”

 

“Aniyeo. Hanya saja kau sudah berpikir terlalu jauh.”

 

“Molla. Ck. Sayangnya nama bocah itu Minah.”

 

“Minah?”

 

“Ye. Bang Minah.”

 

Baekhyun membulatkan matanya, “BANG MINAH?!”

 

“Aish! Jangan berlebihan!”

 

 

“Ini hanya aku, atau kita memang memiliki mimpi yang sama?”

 

“Mwoga?”

 

“Bang Minah, juga ada dalam mimpiku saat aku belum siuman, mungkin. Tapi dia bukan bocah seperti yang ada dalam mimpimu. Bang Minah di mimpiku…”

 

 

 

 

***

 

 

 

“Agassi! Agassi! Hajima!!!”

 

Gaun putih dengan desain elegan menjuntai ke belakang beberapa meter panjangnya. Tak mempedulikan jalan yang becek sehabis hujan pertama di musim semi, langkah besar hak tinggi putih senada tak kunjung berhenti. Gadis rupawan dengan makep up yang terbubuh di wajahnya, menggenggam sedikit potongan gaun bagian depannya guna mempermudah langkahnya.

 

 

Brak!

 

 

Kaleng kaleng makanan cepat saji menggelinding di atas aspal basah sisa hujan.

 

“Ya! Agassi! Semua barang barangku terjatuh!”

 

“Jweosonghamnida!” Gadis itu membungkuk.

 

 

 

 

 

“Agassi! Kajja ikut kami, mempelai prianya sudah menunggu,” dua orang dengan pakaian serba hitam dan juga kacamata hitam menarik masing masing satu lengan gadis itu.

 

 

“Lepas!”

 

“Agassi! Kami mohon ikut dengan kami! Ini perintah tuan.”

 

“Lepaskan aku!”

 

“Agassi! Kami mohon bantuannya, menurutlah pada kami sebelum kami menindak dengan cara kasar.”

 

“Lepas! Aku tak peduli pada pria yang kalian sebut tuan itu!”

 

 

 

“Ya! Ya! Kalian berdua! Apa kalian tak malu dengan otot kalian? Seorang wanita lemah melawan kalian berdua, cih!” Ledek pria yang baru saja ditabrak gadis itu, Baekhyun.

 

 

 

 

“Hey kau anak muda. Siapa namamu? tak usah ikut campur!”

 

 

 

“Ya! Tuan Go! Kau tak boleh bersikap seperti itu! Sopan sedikit dengan ayah dari anak yang kukandung.”

 

 

 

“MWOYA?” Baekhyun mendelik seolah kehilangan jiwanya di tempat.

 

“Tuan, apakah benar kau yang melakukannya pada Nona Bang?”

 

“Mwoya?

 

 

 

Byun Baekhyun-ssi, kau melakukan apa?

 

 

Salah satu pria berkacamata hitam itu menarik ke belakang dua lengan bawah Baekhyun, “Jeoyo?! Aku melakukan apa?!”

“Tuan Shim, kau bawa bocah ini, biar aku bawa Nona Bang.”

 

“Bang nuguseyo? Lepaskan aku! ”

 

“Jadi kau berpura pura tak tau setelah kau meniduri anak gadis orang?”

 

“ANAK GADIS?! Siapa yang meniduri siapa?! Aku tak mengerti!”

 

“Tuan, tolong jangan mengelak.”

 

“YA YA! Kalian ini kenapa?! Aku tak mengerti! Lepaskan aku! Aku ini Byun Baekhyun, dan aku tak meniduri siapapun—maksudku orang lain selain istriku. Ah ya, aku juga sudah memiliki istri di rumah, jadi kalian jangan menuduhku sembarangan!”

 

 

“Dan kau Nona Bang! Ada apa denganmu?! Apa aku pernah berbuat salah padamu? Aku sudah beristri, Byun Joo Eun! bukan kau ! Maaf aku harus pergi dari sini!”

 

 

Baekhyun mengibaskan kuat kedua tangannya yang dikekang dua orang bodyguard di belakangnya.

 

Baekhyun menuding kening Minah tepat di tengah tengahnya, “Aku muak!”

 

Namun yang ditunjuk hanya terkikik geli, tapi kikikannya tiba tiba berhenti dan wajahnya berubah serius.

 

Nona Bang mengeluarkan jari telunjuknya dan mendorong tepat di tengah tengah kening Baekhyun.

 

“Babocheorom!” Nona Bang mendorong kening Baekhyun dan tiba tiba Baekhyun tersungkur ke depan. Samar samar Baekhyun mencoba membuka matanya, ia menatap benci wajah Minah.

 

 

“Jweosonghamnida Baekhyun-ssi, misi Bang Minah terselesaikan. Chukkae Baekhyun-ssi, kau bisa kembali ke duniamu yang sebenarnya.”

 

 

Dan…

 

 

 

***

 

 

“Begitu.”

 

 

“Pffffuahahahahahahaha!”

 

“Ya!”

 

“Mimpimu benar benar tak logis Byun Baekhyun-ssi.”

 

“Mana kutahu. Semuanya berjalan begitu saja. Kau pikir milikmu logis?”

 

“Tidak. ”

 

Joo Eun memperagakan pose berpikir.

 

“Mimpimu jahat sekali. Setidaknya kau muncul di mimpiku sebagai abu, sedangkan aku? Aku tak muncul sama sekali. Ah-ya, yang kutau Bang Minah-ssi cilik sangat cantik. Kenapa kau tidak jadi menikahinya? Pasti dia sangat cantik juga ketika dewasa.”

 

“Andwae,” Baekhyun menyentuh ujung hidung Joo Eun, “bukankah istriku lebih cantik darinya?”

 

 

 

Wajah Joo Eun memerah.

 

Joo Eun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

 

“Ya! Byunie jinjja—ish!”

 

 

***

 

 

 

Hachiw!

 

Gadis cilik berusia tak lebih dari lima tahun sedang mengusap ingusnya kasar. Pasir putih di bawah perusutan sekolahnya, cukup membuat hidungnya gatal dan menyemburkan isinya.

 

“Igeo,” Ia menoleh.

 

Seseorang bocah lain menyodorkan sapu tangan padanya.

 

“Byeo-Byunie?” Ejanya menyorot pada bordiran di ujung sapu tangan yang ada di tangannya itu.

 

“Ne. Byun Seokjin imnida.”

 

 

 

 

Seokjin, bocah laki laki berumur satu tahun di atas gadis cilik itu bergidik ngeri mendengar ingus gadis cilik itu yang keluar begitu banyak dan… Kental? Oh tidak. Apa jadinya bocah itu setelah ini. Ia sendiri tau bahwa sapu tangan itu milik ayahnya.

 

 

“Ireumi?”

 

“Ne?”

 

“Ireumi mwoyo?”

 

“Oh! Kim Seungmi imnida!” Gadis cilik itu menyodorkan sapu tangan Seokjin dan senyum palsu Seokjin benar benar nampak.

 

“Seungmi, Bangapta.”

 

 

 

 

Huhuhuhu, huhuhuhu.

 

 

Dua bocah yang baru saja berkenalan itu, menoleh secara bersamaan.

 

 

“Omo!” Pekik si gadis cilik dan langsung berlari mendekati bocah yang tersungkur tak jauh dari sana.

 

 

Tas sailor moon yang di kenakannya bergerak naik turun seolah melambai pada Seokjin yang semula menatapnya bingung namun ikut menyusulnya.

 

 

“Neo gwaenchana?”

 

“Angwaenchana! You can look at my knees! Its bleeding!”

 

“Mwoyo?” Bocah lelaki yang baru saja datang itu ciut akan serentet kalimat yang asing di telinganya.

 

“Ya! It just small incident, you acted really well!” Balas gadis cilik yang tak terima akan protes tiba tiba gadis cilik lain yang baru saja terjatuh itu.

 

“Ya! Ige mwoya! Molla!” Seokjin yang kesal karna tak mengerti apapun, mengeratkan tasnya dan berbalik.

 

“Seokjin oppa!”

 

Seokjin melotot. “Oppa?” Ia berbalik.

 

“Dia terjatuh! Kau laki laki! Kenapa kau tak menolongnya?”

 

“Aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan! Jadi untuk apa aku menolongnya? Aish!”

 

“Dia bilang dia baru saja terjatuh dan lututnya berdarah.”

 

“Kenapa tak bilang dari tadi?”

Seokjin berlutut dan mengeluarkan sekotak peralatan pertolongan pertama, juga alkohol dan obat merah.

 

Untung ibunya selalu meletakkan ini dalam tasnya.

 

“Cha! Selesai!” Seokjin merekatkan plester sebagai sentuhan terakhir, dan luka itu sekarang tak terlihat lagi.

 

 

“Aigoo! Michelle! I’m looking for you,baby and you’re here. Aish, this girl!”

Seorang pria dewasa tiba tiba menggendongnya.

 

 

“Appa, I fell down just now.”

 

Seokjin dan Seungmi saling berpandangan. Tak mengerti apa yang mereka bicarakan kali ini. Mereka berbicara terlalu cepat.

 

“Did they push you?”

 

“Aniyeo, they helped me before.”

 

“Jinjja? Did you say thanks and introduce yourself?”

 

Bocah di gendongan pria dewasa itu menggeleng.

 

“Okay, let introduce youself.”

 

Pria itu menurunkan bocah itu, dan bocah itu membungkukkan badannya sopan.

 

“Gomawo ne. Annyeong haseyo jeoneun Michelle Wang imnida. Bangapseumnida.”

 

Seokjin dan Seungmi seketika menahan tawa.

 

Apa yang lucu?

 

“Michelle-ssi, your dialect is really something,” ejek Seungmi.

 

“Ya! Hangukeo motaeyo!”

(I can’t speak Korea)

 

“Ani, gwaenchana. Jeoyo, Byun Seokjin imnida. Bangapseumnida,” ramah Seokjin.

 

“Jeoneun Kim Seungmi imnida,” Seungmi membungkuk menghormati.

 

 

“Jinnie-ya!”

 

 

Seokjin mengerutkan keningnya, “seseorang memanggilku. Kau mendengarnya Seungmi-ssi?”

 

“Ye. Suaranya terdengar mengerikan oppa.”

 

“Hey, kenapa kau memanggilku oppa? Kau harusnya memanggilku sunbae.”

 

“Aniyeo aku lebih suka memanggilmu oppa.”

 

“Mana boleh sem—Akh Ah appeu! Appeu!” cubitan di lengan Seokjin saat ini, ia yakin bakal membekas.

 

“Byun Seokjin-ssi, bukankah ibumu menyuruhmu untuk menunggu di taman bermain? Lalu apa yang sedang kau lakukan di sini bersama para gadis cilik?”

 

“Ya! Ya! Eommaya! Appeu! Eomma!”

 

Joo Eun mengerutkan keningnya melihat sepasang sepatu vantouvel yang menapak di atas tanah tepat di hadapannya. Joo Eun menyadari, itu bisa saja wali salah satu dari dua gadis cilik yang ada di sana.

 

 

Pelan pelan, Joo Eun menengadahkan wajahnya.

 

“Annyeong haseyo,” Joo Eun membungkuk sedikit memberi salam dan keduanya sama sama berjengit kaget saat mengetahui siapa yang ada di hadapan mereka masing masing.

 

 

“Joo Eun-ssi—”

 

 

“Jackson-ssi—”

 

 

***

 

Cafe. 03.45 PM

 

 

“Oppa! Yang ini bagaimana caranya?” gadis cilik bernama Seungmi menyodorkan buku kotak kotak besarnya pada bocah lelaki cilik yang ada di sebrang mejanya.

 

 

“Aish! Sudah kubilang aku bukan oppamu! Aku sunbaemu!” gertak bocah itu risih akan rengekan yang tak penting dari Seungmi.

 

 

“Ah-molla! Pokoknya yang ini bagaimana caranya?” kekeuh Seungmi.

 

 

Di sisi lain, gadis cilik bermarga Wang hanya meringkuk di pelukan ayahnya. Takut akan apa yang dihadapinya sekarang, semacam phobia terhadap…. orang asing?

 

Seolah ada banyak potongan potongan hangul di kepalanya yang menari menari, suatu hal asing yang baru ditemuinya karna ia memang tak terbiasa dengan tata kehidupan orang asia yang baru ditemuinya… sekitar dua atau tiga bulan lalu. Maklumi saja, dulu kehidupannya di states benar benar berbeda dengan apa yang ditemuinya sekarang.

 

“Joo Eun-ssi, jweosonghamnida” gadis cilik itu mendongak menatap ayahnya yang tiba tiba berbicara.

 

“Hm? Waeyo? Kenapa kau meminta maaf?” Joo Eun yang baru saja memesan Caramel Macchiato segera menyesap jenis kopi manis itu.

 

“Soal yang lampau—“

 

“Ah-itu. Jangan dipikirkan.Aku tau kau tak sengaja kan? Kau ingin menembak kaki Baekhyun tapi ternyata kau salah sasaran.” Joo Eun tersenyum manis menimpali.

 

“Bagaimana bisa k—“

 

“sudah kubilang, tak perlu dipikirkan. Aku dan Baekhyun sudah memaafkanmu. Mungkin saat itu kau sedang mengalami masa pubertas kedua karna tak bisa membedakan mana yang baik atau yang buruk hahaha” Joo Eun tertawa kecil menanggapi kata kata Jackson yang tersekat, lalu ia menghembuskan napas, ”Tapi, bagaimana pun juga, kau bersalah di mata hukum. Bagaimana bisa anak seusia sekolah menengah atas bisa mendapat barang berbahaya semacam itu.”

 

“Jweosonghamnida” Jackson menunduk, mengintrospeksi dirinya.

 

 

“Seungmi-ya!”

Terdengar gemelatuk sol sepatu tak jauh dari sana, mengingat ini tempat umum, itu merupakan hal yang biasa.

 

“Appa! yeogi!” salah satu dari dua bocah yang duduk berseberangan itu, menebar wajah gembira sambil melambai riang. Kedua orang dewasa yang sedang berbincang bincang itupun menoleh bersamaan ke arah di mana bocah kecil itu berteriak.

 

 

“S-sunbae?” Joo Eun membesarkan bola matanya sedikit terkejut.

 

 

Pria dewasa itu menghampiri bocah yang dipanggilnya Seungmi dan mendudukkannya di pangkuannya.

 

“Oh-Annyeong haseyo Joo Eun-ssi? Apa aku tak salah mengenali?” ucapnya sedikit kaget namun ada unsur gurau di dalamnya.

 

“Eiy…Sunbae” Joo Eun memukul bahu seniornya itu dengan wajah kesal yang dibuat buat.

 

 

Sunbaenya, Kim Joonmyun.

 

 

“Annyeong haseyo! Wang Jackson imnida, bangawayo,” refleks pria dewasa lain di sana yang membungkuk sopan.

 

“Igeoneun—“

 

“dia orang yang menarik Minah promnite waktu itu,” jelas Joo Eun

 

“eo? Jinjjaro? aish, kau ini, seenaknya saja menarik anggota pengurusku keluar panggung waktu itu,” guraunya lagi. sejak kapan Joonmyun jadi orang yang sok humoris seperti itu?

 

“Jweosonghamnida, aku memang salah waktu itu,” sesal Jackson lagi.

 

“Aigoo, masalah itu sudah lama sekali, lihatlah bahkan anakku sudah sebesar ini. Ah-ya, mana Baekhyun? Sebelum kau memberitau pria ini ada hubungan dengan Minah, kupikir kau menemukan yang baru.”

 

 PLETAK.

 

 

Tangan Joo Eun berhasil mendarat di kening Joonmyun.

 

“Ya! Sunbae! Kau pikir aku apa?! Lagipula kenapa kau jadi cerewet begini? Dulu kau tak seperti ini. Nyonya Kim benar benar merubahmu. Ckckck. Aku jadi penasaran dengan wajahnya, kau tak pernah mengikuti reuni, sunbae.”

 

 

Joonmyun menghela napas, “Mianhae, lain kali aku akan datang.”

 

 

“Ekhm—“Joo Eun membenarkan suaranya, “Minah-ssi?”

 

Jackson yang tadinya sibuk dengan Americanonya mengerenyit mendengar nama Minah disebut untuk yang kesekian kalinya.

 

“Minah waeyo?”

 

“Kenapa dia tak pernah datang ke reuni tahunan?—hanya jika aku boleh tau,” tanya Joo Eun perlahan.

 

“Hm? Apa kalian ada acara seperti itu? Minah tak pernah memberitauku.”

 

“Apa?! Dia tak pernah memberitaumu? Pantas saja. Kupikir dia kau kurung” celetuk Joonmyun.

 

“Sunbae…” Joo Eun memutar bola matanya “Tapi bukankah dia mengidap—“

 

“Aniyo. Sudah tidak. Dia sekarang ada di rumah, baik baik saja,” Jackson menghembuskan napasnya, “tapi setiap hari bisa menjadi hari terakhirnya. Mungkin itu alasannya tak ingin menghadiri acara acara yang membuatnya mengenang masa lalu. Ya dia pikir setiap orang hidup untuk mati, di memang sembuh tapi…”

 

“Mian, aku tak bermaksud—“

 

“gwaenchana,” Jackson mengangguk maklum

 

 

“Chagiya!”

 

 

“YA!”

Seseorang merengkuh Joo Eun dari belakang.

 

BRUK.

 

 

Joonmyun dan Jackson meringis ngeri melihat orang itu kini terkapar di atas lantai kayu kafe.

 

Hanya dengan satu gerakan, Joo Eun membalik tubuh pria itu begitu saja.

 

“oops…jweosonghae Byun Baekhyun-ssi, sepertinya kau perlu berlatih hapkido lebih giat lagi.”

Joo Eun menutup mulutnya dengan tangannya meledek.

 

“YA! Byun Joo Eun!”

 

 

 

Dan semua yang ada di sana tertawa lepas kecuali seorang gadis cilik yang sedari tadi mengerucut karna berpikir.

 

 

“Appa!”

 

“Ye seungmi-yya?”

 

“Aku mau menikah dengan oppa ini!”

 

“MWO?!” pekik mereka.

 

 

 

-fin-

 

 

 

 

 

 

yeheeeee selesai selesai yosh! hekekekek, maaf ya pendek, tak sesuai yang diharapkan, nyeleweng dari judulnya, dan lain lain, aku minta maaf lagi.

 

terima kasih udah mau baca! hoho. exo comeback, so do I kkk. maaf telat ngepost T.T aku harap kalian gak kecewa. hihi

 

daaah.

 

other story : click here

 

salanghe.

127 tanggapan untuk “Shadow [Chapter 9-END]”

  1. Seneng.y happy ending, tdi.y aq udh drop paz bca part baekki.y jdi abu. Dah b’kca” mta qu *so’drama, v untung.y cman mimpi 😀 sempet ketipu thor 😀 inti.y Ff in daebak abis^^ keep writing ya..

  2. yeeeeyyy…
    daebaaakkk…
    Q fikir sad ternyataaaa….
    HAPPY ENDING…
    joaaahyyooo…
    authornya daebakkkk… XD XD XD
    ↖(^ω^)↗↖(^ω^)↗↖(^ω^)↗↖(^ω^)↗↖(^ω^)↗

  3. INI FF YANG PALING GILA SEPANJANG MASA. Gila gila, masa iya memikirkan alurnya saja bagaikan kapal yang terombang-ambing di antara badai di tengah samudera:( tega ih aku berapa kali teriak gara-gara gemez banget sama momen-momen yang super ngagetin:( tapi daebak! Storylinenya bener2 unik! ♥

  4. Pas baca mimpi Eun-ie udah mau jantungan-_-
    Syukur cuman mimpi-_-
    Lu beneran bikin gue jantungan ><
    Tapi setidaknya akhirnya Baek-ie tetap hidup dan bahagian bersama Eun-ie selamanya (?)
    Pokoknya Good FF!
    Happy Ending!

  5. yak!!! boleh.aku protesss???!!! siapa.nih authornya??? huh… jahatnya dirimu udah bikin aku kya irang gila waktu baca ini… humff… –”

    tapi keren thor!! ini ff kdua yg bikin hati w potek setelah sekian ff yg w baca… daebak banget deh!!!^^

    ditunggu yg laennya ya^_^

  6. Di saat saat terakhirnya seru. Aku kira ini bakalan jadi sad ending. Ternyata happy ending. Wang jackson terlalu jahat sampai harus nembak baekyun.
    Tapi chukaee, author berhasil bikin ff ini menarik. Maaf di chapter sebelumnya aku nggak comment, aku terlalu penasaran

  7. Ahkk~ finally! This ff is really daebak, sorry for not comment for a longgg time:( this ff is the one that i’ve waiting for long time. Perfect fanfiction! Keep writing, thor(?) i mean author:D

  8. Haaah! Finaly..selesai juga

    Mski pengennya joo eun ama sunbaenya /#ngarep/ tapi ga apa lah, endingnya juga ‘Happy ending semua’ ,
    jdi seneng :d haha

    Keep writing thor

    Penasaran sma ny.kim ,nugu? :/

  9. ah akhirnya selesai juga ff ini.. tp.. walau agk sdkit mngganjal msalah mreka semua yg udah pnya anak.. jd mreka semua nikah muda ya..
    but fine.. its good..
    sequel gpp lah.. hahaha
    keep writing ^^

  10. aku udah bca semua part. Maaf bru komen skarang. Aku bingung jika harus komen di setiap part. Ceritanya bgus. Dan menarik.

  11. wah.. aku udah deg”an.. ku pikir sad ending.. ternyata mimpi doang xD eh, tapi mimpinya baekhyun aneh gitu yah xD
    wah, bisa kebetulan gitu yah.. semuanya jadi satu.. xD sayang bukan minah tapi malah jackson..
    udah pada punya anak lagi xD
    seokjin anaknya baekhyun?? mwehehe.. kenapa bukan taehyung thor?? xD
    next ff nya di tunggu yah thor ^^

  12. Akhh ini yg aku tunggu2 udh keluar *telatlu!* meskipun telat banget bacanyaㅋㅋㅋㅋ
    Ya ampun aku kira baekhyun tu mati beneran eh ternyata cuma mimpi dan happy ending gini. Seneng deh^^

  13. Seneng…^^ akhirnya happy ending aku kira bakal sad ending.. wah…terus berkarya ya thor..
    화이팅!!

  14. Huwaaaaaaaa appa, aku ingib menikah dgn oppa ini..
    Hahaha polos banget
    Aaahhh bagus bgd ceritanya..
    Authornya hebat..
    Untung happy ending 😀
    terus berkarya 🙂

  15. Ya ampun thor ini ff bagus banget, akhirnya happy ending juga yah 🙂
    Aku seneng banget, dàri yang tadinya aku nangis kesel gara2 si mina, akhirnya endingnya happy juga 🙂
    sukses yah thor, lanjutin terus nulisnya 🙂

  16. haaa seok jin oppa jadi anaknya baekhyun XD
    eh siapa noh yang pengen dinikahin sama anaknya joomyun oppa? oppa yang baru dateng atau oppa yang daritadi sama dia?
    huooooooo daebak author! ayo sekuel sekuel sekuel 😀

  17. huaaaa aku udah nangis duluan dan ternyata cuma mimpi. author daebak bisa bikin cerita sedimikian rupa, bagus banget! walupun aku mesti baca berulang ulang kali biar ngerti alurnya hehe. keren deh 🙂

  18. Aaaaa Baekki-yya……
    Kirain aku dia beneran meninggal hikss T^T duuuh eonni bikin ceritanya kok makin gregett ya>< campur aduk(?) Antara sedih,kesel,bahagia, ckckck, aduh kasian sm Minah, dia sakit gitu ;"( woaaah chukkae ya, anak2 mereka pada akrab bgt, malahan si Seungmi minta dinikahin, sama siapa tuh yaa? Hahhah 😀 daebakk daebakk, sequel juseyoo?? Author jjang! 파이팅!!!
    Ditunggu ya karya2 ff selanjutnya^~^

  19. Eon, sori.. kedua kalinya nih comment disini
    Mau nanya lagi

    KAPAN OBLIVIATENYA DI POSTTTT? /banting hape/ T__________________T

    Eonni hwaiting hikseu

  20. Huaaa kirain baekhyun nya beneran meninggal. Trnyta cuma mimpi. Hoshh
    Bikin sequel thorrr, critain tntg anak’ mreka hahaha
    Good job thor, keep writting ne (งˆ▽ˆ)ง

  21. yaampun aku kirain baekhyun meninggal beneran udeh nangis duluan haha. ceritanya bagus kp thor
    mereka bisa engga sengaja ketemi gitu hiihii reunian yg tak terencana

  22. oh god… aku kira itu beneran yang baek meninggal..

    aduuuhhh seungmi ya ampun sumpah itu sesuatu bangett

    dihhh seokjin sumpah sok cool diihh sok gk peduli sok gk mau dipanggil oppa

    well.. nice ending

  23. Wah daebak! Pas mbaca mimpinya joo eun sedih bget 😦 eh trnyata cuma mmpi, syukurlah 😀 pas mbaca fellingnya dpet bget 🙂 seungmi gokil :v keep writing thor, fighting!! 🙂

  24. Wahh… Kirain tadi bakalan sad ending gt… Oh trnyata!
    Smpt bingung juga gegara alurnya maju mundur keg strikaan… Hehe *peace*
    owh maaf y thor dr chapter awal aq bru bisa ninggalin jejak dsni… Jeongmal mianhae… ^^
    keep writting!

  25. Yaaampuun aku udah sempat sesak napas wktu dibagian mimpinya joo eun ><
    Anyway, cerita ini keren

  26. Omonaaa udh nunggu chapt iniiii… pantesannn feeling ff ini dipost akhirnyaaaa…. uhhh kaget bgt waktu cerita di mimpinya jooeun… mana lg dgr moonlight lg. Kesannya… kirain sad ending. Ternyataaa !!! Gomawooo eon udh lnjutt… keceee abisss… gomawo jug udh bikin happy endingg…

Pip~ Pip~ Pip~